c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

KULTURA

24 Maret 2025

14:12 WIB

Perubahan Iklim Berimplikasi Pada Degradasi Situs Warisan Budaya

Perubahan iklim dan fenomena cuaca ekstrem yang terjadi beberapa tahun belakangan ini memberikan implikasi terhadap warisan budaya dan situs-situs arkeologi di Indonesia. 

Penulis: Andesta Herli Wijaya

<p>Perubahan Iklim Berimplikasi Pada Degradasi Situs Warisan Budaya</p>
<p>Perubahan Iklim Berimplikasi Pada Degradasi Situs Warisan Budaya</p>

Peneliti berada di depan lukisan gua bergambar babi kutil di Leang Tedongenge di Sulawesi Selatan. L ukisan diperkirakan merupakan tertua di dunia, berusia 45.500 tahun. (ANTARA/HO- Adhi Agus Oktaviana)

JAKARTA - Perubahan iklim dan fenomena cuacar ekstrem yang terjadi belakangan ini ternyata memberikan implikasi terhadap degradasi warisan budaya di Indonesia, termasuk situs-situs arkeologi.

Guru Besar Hidrometeorologi dari Departemen Geofisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Unhas, Prof. Halmar Halide mengupas dampak El Nino terhadap seni di Gua Prasejarah Maros-Pangkep.

Melalui presentasinya berjudul "The Impact of ENSO and Weather on Cave Art Exfoliation in the UNESCO Global Geopark Maros-Pangkep", Prof Halmar membahas bagaimana perubahan iklim, khususnya fenomena El Niño-Southern Oscillation (ENSO), berdampak pada pengelupasan seni cadas berusia lebih dari 50.000 tahun yang terdapat di kawasan Geopark Maros-Pangkep.

Penelitiannya menemukan bahwa perubahan suhu dan kelembaban akibat El-Nino mempercepat degradasi seni cadas di beberapa gua di Maros-Pangkep, seperti Leang Pettae, Leang Parewe, Leang Jing, dan Leang Jarie. Selain itu, ada faktor tambahan berupa aerosol sulfur, yang berasal dari aktivitas manusia seperti emisi kendaraan diesel, pembakaran jerami, dan industri, yang semakin mempercepat proses kerusakan lukisan gua.

Penelitian ini juga melibatkan pemanfaatan kecerdasan buatan atau artificial inteligence (AI) untuk memodelkan hubungan antara variabilitas iklim dan tingkat kerusakan lukisan gua. Data cuaca dari NASA dan indeks ENSO digunakan untuk membangun model prediksi yang dapat membantu memahami pola pengelupasan.

"Hasilnya menunjukkan bahwa perubahan iklim memiliki korelasi signifikan dengan tingkat kerusakan seni cadas tersebut,” kata Prof. Halmar.

Lebih jauh, dia menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor, termasuk keterlibatan kementerian dan komunitas peneliti dari berbagai disiplin ilmu, untuk mengembangkan strategi konservasi berbasis pemantauan iklim.

"Kita perlu menghindari kerja sendiri-sendiri yang bisa berujung pada tumpang tindih riset. Justru, dengan menghimpun para peneliti dan pihak terkait dalam satu kolaborasi besar, kita bisa menciptakan solusi yang lebih efektif," ujarnya.

Sebagai pakar hidrometeorologi, Prof. Halmar telah beberapa kali menjadi pembicara dalam webinar serupa di ITB, membahas topik terkait mitigasi bencana dan perubahan iklim. Namun, pada tahun ini ia memilih sudut pandang yang berbeda. Jika sebelumnya ia lebih banyak membahas tentang sistem peringatan dini, kali ini ia mengangkat warisan budaya sebagai salah satu aspek yang turut terdampak oleh perubahan iklim.

Melalui penelitian ini, Prof. Halmar ingin menyebarkan kesadaran bahwa konservasi seni gua bukan sekadar isu arkeologi atau sejarah, tetapi juga berkaitan erat dengan dinamika iklim global yang terus berubah. Selain itu, memberikan pengetahuan yang lebih luas tentang peran ilmu atmosfer tidak hanya dalam mitigasi bencana, tetapi juga dalam menjaga warisan budaya dunia. 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar