c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

KULTURA

03 Juni 2025

15:58 WIB

Pentingnya Membangun Koridor Satwa Liar Demi Kelangsungan Orang Utan

Perubahan tutupan hutan secara langsung mengancam kelangsungan satwa-satwa liar di Indonesia. Perlu solusi kongkrit untuk melestarikannya, salah satunya koridor satwa liar. 

<p>Pentingnya Membangun Koridor Satwa Liar Demi Kelangsungan Orang Utan</p>
<p>Pentingnya Membangun Koridor Satwa Liar Demi Kelangsungan Orang Utan</p>

Bayi orang utan. Sumber foto: Antara foto

JAKARTA - Perubahan tutupan hutan yang terus terjadi mengakibatkan ancaman bagi kelangsungan satwa liar. Kawasan habitat dan jelajahnya menurun, belum lagi soal ketersediaan pakan alami untuk kelangsungan hidup individu satwa.

Tak hanya itu, kondisi tersebut ternyata juga menimbulkan stres serta meningkatkan potensi konflik dengan manusia. Keterbatasan area kehidupan juga berdampak pada penurunan dan kematian populasi.

Dilansir dari laman brin.go.id, data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat, kehilangan tutupan hutan terutama di luar kawasan hutan periode 2022-2023 masih terjadi dan mencapai sekitar 121.000 hektar. Ini akan memengaruhi penurunan daya dukung satwa liar di dalamnya.

Seperti halnya kondisi habitat orang utan di Tapanuli, yang saat ini hanya tersisa pada ekosistem Batang Toru. Sebagai spesies ketiga di bagian selatan pulau Sumatera hanya ada di sana, luas habitatnya sangat terbatas, sekitar 138,435 hektar.

"Artinya, jika kawasan itu rusak maka orang utan tersebut akan punah," ungkap Peneliti Pusat Riset Zoologi Terapan (PRZT) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Wanda Kuswanda.

Dirinya mengatakan, pada kawasan hutan sebagai habitat satwa liar, pembukaan areal hutan untuk berbagai kepentingan masih sering terjadi. "Penebangan liar dan begitu banyaknya perubahan tutupan lahan menjadi perkebunan sawit, pertanian, serta lainnya dapat memicu meningkatnya laju penurunan satwa liar tersebut,” terang Wanda.

Dengan kondisi ini, program konservasi alam perlu menjadi prioritas, salah satunya membangun koridor satwa liar. "Bagaimana memfasilitasi pergerakan individu atau meta populasi orang utan yang terpisah pada blok-blok habitat tersebut," tambahnya.

Wanda menjelaskan, koridor satwa merupakan areal atau jalur bervegetasi - alami atau buatan, sarana terjadinya pergerakan atau pertukaran individu antarpopulasi, sehingga aliran genetik masih terjadi.

Tujuan koridor ini dalam upaya perlindungan dan pengawetan satwa liar di luar Kawasan Pelestarian Alam (KPA) dan Kawasan Suaka Alam (KSA). “Dengan adanya amandemen UU No. 5 Tahun 1990 menjadi UU No. 23 Tahun 2024 merupakan dasar hukum yang lebih konkret, karena koridor menjadi bagian dari area preservasi,” jelasnya.

Fungsi koridor ini adalah sebagai jalur penghubung habitat terfragmentasi, menjaga perkawinan silang antarpopulasi, mencegah inbreeding, fasilitas migrasi satwa, meminimalkan konflik satwa, menjaga ketahanan ekosistem, dan membantu adaptasi satwa reintroduksi.

Dia mengatakan, riset koridor orang utan tapanuli didukung Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Ekosistem (KSDAE) Sumatera Utara, Yayasan Ekosistem Lestari, dan Yayasan Konservasi Indonesia. “Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis kesesuaian habitat dan merancang area koridor yang efektif,” terang Wanda.

Dari hasil riset yang dilakukan, telah dibuat rekomendasi solusi pembangunan koridor. Pertama, perlu desain ulang area koridor sebagai area preservasi. Beberapa syarat koridor yaitu tutupan hutan yang masih utuh, minimal lebar koridor 100 meter, meminimalkan gangguan dan potensi konflik, dan apabila memotong area perusahaan maka pilih potensi area pembukaan hutannya yang minim.

Kedua, pembangunan koridor artifisial/buatan (melintasi jalan dan sungai). Ketiga, melakukan pemulihan area koridor yang terdegradasi.

"Harapannya, dengan pemulihan area koridor, selain akan memperluas pergerakan orang utan juga tentunya menambah ketersediaan daya dukung habitatnya. Salah satunya dengan penanaman pohon pakan. Tetapi catatannya adalah yang pemanfaatan oleh manusia dan orang utan itu berbeda, misalnya pengembangan pohon kemenyan yang juga sudah dikembangkan oleh masyarakat di Tapanuli Utara," ucap Wanda.

Keempat, pembangunan skema kompensasi non-tunai dan kolaborasi manajemen. “Semoga bisa membangun suatu kelembagaan yang memberikan kompensasi non-tunai sebagai pengganti. Di mana, lahan yang masyarakat miliki tersebut dialihkan fungsinya untuk men-support konservasi orang utan,” harapnya.

Wanda menyebut, hasil riset telah berkontribusi pada kebijakan daerah, seperti Peraturan Bupati Tapanuli Selatan untuk pengembangan koridor dan konservasi orang utan.

"Dari hasil riset ini, selain menghasilkan publikasi juga menghasilkan kebijakan. Salah satu riset kita ini sudah menjadi dasar peraturan Bupati Tapanuli Selatan, karena Bupati Tapanuli Selatan sangat men-support konservasi orang utan. Semoga hasil riset di tahun 2025 ini dapat didorong juga menjadi sebuah peraturan seperti ini," tuturnya.

Kepala PRZT BRIN, Delicia Yunita Rachman berharap, kegiatan ini tidak hanya memberikan wawasan baru, tetapi juga menginspirasi untuk semakin aktif berkontribusi dalam konservasi satwa liar dan lingkungan.

Pindi Patana dari Universitas Sumatera Utara membahas tentang membangun ko-eksistensi manusia dan harimau sumatera, termasuk tantangan deforestasi, fragmentasi habitat dan konflik manusia dan harimau.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar