27 September 2025
14:18 WIB
Pentingnya Belajar Bantuan Hidup Dasar
Dalam kondisi darurat, misalnya mendapati adanya kejadian henti jantung, pertolongan pertama harus datang dari orang yang ada disekitarnya, yakni dengan Bantuan Hidup Dasar (BHD).
Penulis: Annisa Nur Jannah
Editor: Satrio Wicaksono
Salah satu keterampilan yang wajib dimiliki setiap orang adalah belajar bantuan hidup dasar (BHD) untuk keadaan urgensi. Foto: Validnews/Njenissa.
JAKARTA - Henti jantung bisa terjadi kapan saja, di mana saja, dan pada siapa saja. Peristiwa ini sering datang tiba-tiba tanpa tanda, membuat orang di sekitarnya panik dan bingung harus berbuat apa. Padahal, dalam situasi darurat seperti ini, setiap detik sangat berarti.
Salah satu contoh nyata datang dari dunia olahraga. Beberapa waktu lalu, seorang atlet bulutangkis asal China tiba-tiba kolaps saat bertanding.
Ribuan pasang mata menyaksikan momen itu, namun pertolongan medis baru dilakukan setelah empat menit ia terbaring di lapangan. Sayang, nyawanya tidak terselamatkan. Bila saja di sekitar arena ada orang yang paham Bantuan Hidup Dasar (BHD), pertolongan bisa segera dilakukan bahkan sebelum tenaga medis tiba.
Empat menit yang terbuang tanpa tindakan itulah yang membuat peluang hidup korban menurun drastis.
"Setiap menit tanpa pertolongan, peluang hidup turun 10%. Kalau empat menit tidak ada yang melakukan apa-apa, itu sudah turun 40%,” ujar dr. Guiddo Ilyasa Purba dari GP Arrhythmia, Interventional & Vascular Clinic Eka Hospital BSD, di Tangerang, Jumat (26/9).
Ia menekankan, tindakan sederhana yang cepat bisa menjadi pembeda antara seseorang bertahan hidup atau kehilangan nyawa. Menurut dr. Guiddo, pertolongan pertama tidak harus menunggu tenaga medis datang.
Justru, orang awam yang berada paling dekat dengan korbanlah yang memegang peran penting. Ia menggarisbawahi tiga prinsip utama dalam penanganan darurat yakni cepat, tepat, dan percaya diri.
Namun, prinsip ini hanya bisa dilakukan bila seseorang benar-benar paham dan terbiasa dengan teknik BHD. Dalam dunia medis, konsep ini dikenal sebagai chain of survival atau rantai keselamatan.
“Tiga langkah awal dalam rantai ini bukanlah tugas dokter atau tenaga medis, melainkan masyarakat umum. Kalau seseorang henti jantung, kita tahu tandanya saat sudah tidak ada nadinya. Itu harus dicek dulu,” terangnya.
Setelah memastikan, langkah berikutnya adalah melakukan kompresi dada. Prinsip kompresi itu kita sebagai penolong menjadi jantung pengganti.
"Karena jantungnya sudah tidak bekerja, kita yang menekan dari luar supaya darah tetap bisa terpompa ke seluruh tubuh. Jadi konsepnya, kita berubah jadi jantungnya,” jelas dr. Guiddo.
Sayangnya, banyak orang masih ragu atau bahkan takut ketika menghadapi situasi darurat. Beberapa memilih hanya menonton atau panik tanpa tahu apa yang harus dilakukan. Padahal, pengetahuan sederhana tentang BHD bisa mengubah seseorang dari penonton pasif menjadi penolong yang mampu menyelamatkan nyawa.
“Kalau tidak tahu, orang bisa salah pegang, salah tindakan. Itu yang sering terjadi. Makanya penting sekali untuk belajar dan berlatih. Dengan latihan, kita bisa melakukannya dengan benar dan percaya diri,” ungkap dr. Guiddo.
Selain keterampilan, ada beberapa alat bantu yang sebaiknya tersedia di ruang publik maupun fasilitas olahraga. Salah satunya adalah Automated External Defibrillator (AED), alat kejut jantung otomatis yang bisa digunakan siapa saja, bahkan orang awam.
“Harganya relatif murah jika dibandingkan dengan nyawa manusia,” ucap dr. Guiddo.
Di banyak negara, AED sudah menjadi standar perlengkapan di tempat umum seperti bandara, pusat perbelanjaan, kantor, hingga arena olahraga. Alat ini bekerja dengan memberi instruksi suara yang jelas kepada pengguna mulai dari menempelkan pad ke dada korban, hingga memberikan kejut listrik bila memang diperlukan.
Dengan begitu, orang awam pun bisa menolong dengan lebih efektif sambil menunggu tenaga medis datang. Selain AED, perlengkapan sederhana seperti masker CPR sekali pakai atau pocket mask juga penting.
Harganya sangat terjangkau dan mudah dibawa, bahkan bisa disimpan di tas atau kotak P3K di rumah maupun mobil. Alat ini berfungsi melindungi penolong ketika harus memberikan bantuan pernapasan mulut ke mulut, sehingga tetap aman dan higienis.
Menyiapkan perlengkapan BHD bukanlah sesuatu yang sulit atau mahal, yang dibutuhkan hanyalah kesadaran dan kepedulian. Sebab, di saat darurat, kombinasi antara keterampilan melakukan BHD dan ketersediaan alat sederhana ini bisa membuat perbedaan besar antara hidup dan mati.
“Cepat, tepat, dan percaya diri. Itu hanya bisa terjadi kalau kita tahu caranya," pungkasnya.