12 April 2025
14:41 WIB
Pengepungan Di Bukit Duri, Kekerasan dan Bayang Petaka Sosial Indonesia
Film ini adalah gambaran tentang Indonesia dalam realitas era ini yang menurut Joko Anwar kritis, terutama dalam hal sosial.
Penulis: Andesta Herli Wijaya
Editor: Rendi Widodo
Sesi konferensi pers film Pengepungan di Bukit Duri di Epicentrum XXI, Jakarta, Kami (10/4). Validnews/Andesta
JAKARTA - Joko Anwar mempersembahkan film terbaru, Pengepungan di Bukit Duri. Film yang diproduksi di bawah kerja sama Come and See Pictures dan Amazon MGM Studios ini akan tayang di bioskop Indonesia mulai 17 April mendatang.
Pengepungan di Bukit Duri yang menyajikan dunia cerita drama thriller, membawa sebuah distopia tentang Indonesia tahun 2027 yang penuh malapetaka. Kekerasan yang meluas terutama di kalangan pelajar atau remaja, menjadi budaya yang mengancam keberlangsungan sosial. Budaya itu pun pada akhirnya menjadi bensin yang menyulut api kekerasan massal, ketika kerusuhan pecah di penjuru kota Jakarta.
Joko Anwar yang menulis cerita Pengepungan di Bukit Duri pada 2007 silam, mengatakan kalau film ini adalah gambaran tentang Indonesia dalam realitas era ini yang menurutnya kritis, terutama dalam hal sosial.
Kekerasan yang digambarkan di dalam film, situasi sosial yang penuh konflik dan kebencian, menurutnya adalah realitas hari ini yang tidak banyak berubah dari hampir dua dekade silam. Jika tak ada perubahan besar, katanya, Indonesia akan berada dalam malapetaka sosial seperti yang digambarkannya di dalam film.
Dengan kata lain, Pengepungan di Bukit Duri menjadi sebuah pesan dari Joko Anwar dan rekan produsernya, Tia Hasibuan. Keduanya hendak memantik percakapan agar banyak orang memperhatikan betapa kritisnya situasi Indonesia saat ini.
“Yang kita tampilkan walaupun sifatnya adalah distopia, tapi itu kemungkinan yang akan terjadi dua tahun lagi, sesuatu yang memang kita sedang tuju sekarang kalau kita tidak berubah. Kita berusaha memantik percakapan sebagai bangsa,” ungkap Joko dalam sesi gala premier di Jakarta beberapa waktu lalu.
Pengepungan di Bukit Duri di satu sisi membicarakan kemungkinan perpecahan sosial yang luas di Indonesia masa depan. Di sisi lainnya, film ini juga mencoba menarik ingatan penonton pada peristiwa tahun 1998, peristiwa berdarah yang melahirkan reformasi dengan darah dan air mata banyak orang.
Menurut Joko, sejarah itu bisa terulang karena bangsa Indonesia hari ini cenderung enggan membicarakan trauma ataupun luka masa lalu itu. Karena mengabaikan sejarah, maka orang-orang pun bisa melupakan betapa besarnya kehancuran yang bisa terjadi jika peristiwa masa lalu itu terulang kembali.
Lewat filmnya, Joko maupun produser Tia Hasibuan mencoba memancing percakapan publik. Film ini bagi mereka untuk mengajak masyarakat memerhatikan realitas sosial hari ini, di mana kekerasan telah begitu lazim dipertontonkan.
Fokus utama ada pada dunia remaja atau anak muda, sebagai wajah utama era ini. Cerita film ini mengambil latar sekolah menengah atas, tempat anak-anak remaja tumbuh dengan segala kebobrokan sosialnya, dengan ketiadaan perhatian dari para orang tua, serta pengabaian dan pembiaran oleh banyak orang. Pada akhirnya, mereka tumbuh sebagai generasi yang melihat kekerasan sebagai jalan untuk mencapai tujuan, atau menyelesaikan suatu masalah.
“Di film ini diceritakan bukan hanya tentang kekacauan di masa lalu, tapi juga keresahan-keresahan di masa sekarang dan kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi di masa depan. Ceritanya tahun 2027, itu juga kita bawa di dalam film adalah sebagai peringatan untuk kita semua, peringatan yang sifatnya urgent karena tahun 2027 itu sebentar lagi,” kata produser Tia Hasibuan.
“Kami di Come and See Pictures, kami selalu berkomitmen untuk membuat karya yang jujur, yang berani, yang relevan secara sosial. Tapi kami juga selalu berusaha untuk mendorong batas-batas naratif perfilman indonesia. Karena kami percaya kalau film itu bukan hanya hiburan, tapi bisa juga untuk kita gunakan sebagai tempat untuk perenungan, untuk refkeksi,” tambahnya lagi.
Film Pengepungan di Bukit Duri menyajikan drama dengan ketegangan intens. Joko Anwar hendak merespons situasi terkini Indonesia yang amat relevan tentang isu kekerasan dan urgensi pembenahan pendidikan Indonesia, menyangkut masa depan remaja Indonesia yang terjebak dalam situasi terpuruk.
Kekerasan-kekerasan yang terjadi, direpresentasikan dalam aksi laga yang mengancam nyawa di dunia sekolah. Lewat latar yang dibangun oleh Dennis Susanto, dengan sinematografi yang diramu oleh kolaborator lama Joko Anwar, Jaisal Tanjung, serta musik yang digubah oleh Aghi Narottama, menjadikan dunia di Pengepungan di Bukit Duri layaknya sebuah negara yang salah urus.
Film ini mengikuti kisah Edwin (Morgan Oey). Sebelum kakaknya meninggal, Edwin berjanji untuk menemukan anak kakaknya yang hilang.
Pencarian Edwin membawanya menjadi guru di SMA Duri, sekolah untuk anak-anak bermasalah. Di sana, Edwin harus berhadapan dengan murid-murid paling beringas sambil mencari keponakannya. ketika akhirnya ia menemukan anak kakaknya, kerusuhan pecah di seluruh kota dan mereka terjebak di sekolah, melawan anak-anak brutal yang kini mengincar nyawa mereka.
Film ini turut dibintangi oleh Omara Esteghlal, Hana Pitrashata Malasan, Endy Arfian, Fatih Unru, Satine Zaneta, Dewa Dayana, Florian Rutters, serta Faris Fadjar Munggaran. Ada pula Sandy Pradana, Raihan Khan, Farandika, Millo Taslim, Sheila Kusnadi, Shindy Huang, Kiki Narendra, Lia Lukman, Emir Mahira, Bima Azriel, Natalius Chendana, dan Landung Simatupang.