17 April 2025
15:49 WIB
Pengembangan Inovasi Obat Herbal Dengan Nanoteknologi
Guna meningkatkan efektivitas obat-obatan berbasis herbal dalam mengatasi berbagai permasalahan, dapat dilakukan dengan inovasi nanoteknologi.
Perajin mengemas serbuk jamu siap seduh ke dalam kantong plastik di Toga Wahyu Alam, Kelurahan Banar an, Kota Kediri, Jawa Timur. ANTARA FOTO/Prasetia Fauzani
JAKARTA - Pengembangan teknologi penghantar obat berbasis nanoteknologi penting untuk meningkatkan efektivitas sediaan obat-obatan berbasis herbal. Sistem penghantaran ini berpotensi meningkatkan aktivitas biologis dan mengatasi berbagai permasalahan.
Hal itu diungkapkan oleh Guru Besar Tetap Bidang Teknologi Sediaan Herbal di Fakultas Farmasi Universitas Indonesia (UI), Prof. Mahdi Jufri. Dirinya mengatakan, sistem penghantaran obat tersebut dikenal dengan Novel Drug Delivery System (NDDS) yang dapat dimanfaatkan sebagai sistem penghantaran produk sediaan herbal dalam bentuk sediaan farmasi maupun kosmetik.
Aplikasi NDDS pada produk herbal memiliki beberapa keuntungan antara lain meningkatkan kelarutan, bioavailabilitas, aktivitas farmakologi, serta penghantaran yang diperlambat mampu melindungi dari pH ekstrim dalam lambung.
Selain itu, kata dia, sistem tersebut dapat meningkatkan stabilitas, memperbaiki biodistribusi, mencegah terjadinya degradasi fisik ataupun kimia, serta mengurangi toksisitas.
Ia mengatakan, pembuatan sediaan berbasis teknologi NDDS dapat menjadi alternatif dalam pembuatan produk sediaan herbal.
Dilansir dari Antara, Prof. Mahdi menyebut, pengembangan ini perlu dilakukan karena meski memiliki potensi keanekaragaman hayati yang luar biasa, Indonesia hanya menguasai kurang dari satu persen pasar herbal dunia.
Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI, terdapat 19.871 tanaman obat yang digunakan sebagai ramuan tradisional. Sebanyak 16.218 telah diidentifikasi, namun baru sekitar 9.600 spesies yang diketahui memiliki khasiat obat.
Untuk itu, kata dia, dibutuhkan pendekatan industrialisasi fitofarmaka dan modernisasi pengolahan obat herbal.
Menurutnya, pengembangan obat herbal di Indonesia memerlukan fasilitas uji praklinis dan uji klinis agar sediaan obat herbal Indonesia bisa diakui di pasar global. Fasilitas uji tersebut harus dikembangkan di berbagai daerah, tidak hanya terpusat di Jakarta ataupun Jawa.
Hal ini bisa dilakukan lewat berkolaborasi dengan perguruan tinggi, kementerian teknis, dan pemerintah daerah, baik dari sisi riset dan pengembangan maupun pengujian obat.
Pengembangan inovasi dan teknologi di bidang obat herbal, terutama fitofarmaka, kata dia, harus berujung pada industrialisasi, sehingga Indonesia bisa mengurangi, bahkan lepas dari ketergantungan terhadap bahan baku obat yang saat ini 90 persen masih diimpor.
"Jika industri farmasi berbasis fitofarmaka lokal dikembangkan, Indonesia tidak hanya melepaskan diri dari ketergantungan impor bahan baku, tetapi juga bisa menjadi salah satu eksportir sediaan obat herbal terbesar di dunia,” kata Prof. Mahdi.