25 September 2025
15:52 WIB
Peneliti Undip Kembangkan AI Deteksi Kesalahan Desain Aplikasi
Untuk memudahkan pembuatan tampilan sebuah aplikasi yang ramah pengguna, peneliti Undip mengembangkan AI yang diberi nama EfficientNet-B1.
Penulis: Arief Tirtana
Editor: Satrio Wicaksono
Ilustrasi AI yang dikembangkan peneliti Undip untuk mendeteksi kesalahan dalam pengembangan tampilan aplikasi. Sumber foto: laman undip.ac.id.
JAKARTA - Di era serba digital ini, tampilan antarmuka pengguna atau user interface (UI) menjadi sesuatu yang sangat penting. Sebab tampilan UI menjadi gerbang penentukan apakah penguna aplika akan merasa nyaman menggunakan teknologi atau justru enggan kembali menggunakannya.
Namun, untuk memastikan tampilan UI benar-benar ramah pengguna memang bukan pekerjaan mudah. Selama ini, pengujian UI masih banyak dilakukan secara manual dengan memeriksa satu per satu tampilan layar. Cara tersebut relatif lambat, mahal, dan juga rawan kesalahan, karena bergantung penuh pada ketelitian manusia.
Dengan cara itu, sering kali terjadi kesalahan atau kurang perhatian terhadap detail-detail kecil. Misalnya, tombol yang terlalu kecil, teks yang bertabrakan, atau ikon yang membingungkan, lolos dari pengawasan. Sesuatu yang meski kecil, akan sangat mengganggu pengalaman pengguna.
Adanya kondisi tersebut, membuat sejumlah peneliti dari Universitas Diponegoro (UNDIP) mengembangkan teknologi Artificial Intelligence (AI) berbasis few-shot learning, yang bisa digunakan untuk mengotomatisasi pengujian UI dengan lebih cepat dan akurat.
Dipimpin oleh Dr. Aris Puji Widodo, yang merupakan dosen Departemen Informatika Fakultas Sains dan Matematika (FSM) sekaligus Direktur Sistem dan Teknologi Informasi UNDIP, pengembangan AI ini dilakukan dengan menggunakan dua dataset utama.
Pertama, Enrico Dataset yang berisi 1.460 tampilan UI dari berbagai aplikasi dan dikelompokkan ke dalam 20 tipe desain, mulai dari layar login, chat, pemutar media, hingga peta. Kedua, Mistake Dataset yang dikembangkan sendiri oleh tim UNDIP, berisi 200 tampilan dengan 10 jenis kesalahan umum, seperti kontras rendah, ikon tidak jelas, atau tipografi buruk.
Hasilnya, AI yang mereka latih dengan nama EfficientNet-B1, menunjukkan performa menjanjikan. Hanya dengan five-shot learning atau lima contoh per kategori, model ini mampu mencapai akurasi hingga 76,05%. Bahkan pada dataset yang lebih sulit, tingkat akurasi masih menyentuh 42,6% di mana angka yang tergolong tinggi mengingat data latih yang digunakan sangat terbatas.
"Dengan hanya lima contoh per kategori, model kami sudah bisa mengenali jenis layar sekaligus mendeteksi kesalahan desain secara otomatis," ungkap Dr. Aris Puji, seperti dilansir laman undip.ac.id.
Dirinya mengatakan, efisiensi dan akurasi merupakan kabar baik, terutama bagi startup atau tim pengembang kecil yang tidak memiliki akses ke data besar. Menurutnya, teknologi ini bisa memangkas waktu pengujian dan biaya produksi secara signifikan, sehingga tim bisa lebih fokus pada inovasi kreatif.
Di sisi industri, otomatisasi pengujian UI dengan AI ini diyakini akan membawa dampak besar. Sebab dalam era pengembangan perangkat lunak modern yang mengedepankan continuous integration dan continuous delivery (CI/CD), kecepatan dan ketepatan menjadi keharusan. Integrasi AI dengan pipeline DevOps memungkinkan pengujian UI dilakukan otomatis setiap kali ada perubahan desain.
"Bayangkan, setiap kali ada revisi, sistem langsung memberi evaluasi dan rekomendasi perbaikan secara instan. Ini revolusi dalam cara kerja," kata Aris.
Aplikasi Ramah Pengguna
Manfaat langsung juga diyakini akan terasa bagi masyarakat umum, setidaknya dalam tiga aspek utama. Pertama, aplikasi menjadi lebih ramah pengguna. Semisal, masalah kecil seperti tombol ‘kirim’ yang sulit ditekan atau teks instruksi yang saling menimpa dapat diatasi lebih cepat, sehingga pengguna merasa nyaman.
Kedua, teknologi ini mendukung inklusi digital, karena mampu mendeteksi desain yang tidak ramah bagi kelompok rentan, seperti lansia, penyandang disabilitas netra, atau pengguna dengan keterbatasan motorik. Ketiga, layanan digital dapat hadir lebih cepat, baik di sektor publik maupun swasta, tanpa mengorbankan kualitas.
"Dengan demikian, inovasi ini bukan hanya tentang teknologi, tetapi juga soal keadilan dan aksesibilitas. Semua orang berhak menikmati aplikasi yang mudah digunakan," yakinnya.
Walau banyak manfaat yang bisa dihadirkan, Meski begitu, tim yang juga beranggotakan Dr. Eng. Adi Wibowo dan Dr. Kabul Kurniawan ini menyadari, masih ada tantangan dalam praktik penggunaan teknologi AI kembangan mereka nantinya.
Utamanya terkait keberagaman data dan interpretasi hasil AI. Karena bagaimanapun, AI yang cerdas tetap membutuhkan bimbingan manusia, terutama dalam konteks etika desain dan pengalaman pengguna yang kompleks. Oleh karena itu, riset selanjutnya akan diarahkan pada pengembangan dataset yang lebih luas, melibatkan pengguna akhir dalam proses pelatihan, serta memperluas cakupan deteksi ke aspek UI lain, termasuk navigasi dan animasi.
Selain itu, temuan yang sudah dipublikasikan di International Journal of Advanced Computer Science and Applications (2023) ini diyakini tidak akan menggantikan peran desainer atau penguji, justru sebagai pelengkap yang bisa mempermudah pekerjaan, dan berujung pada hasil yang lebih baik.
"Kami optimistis. AI bukan untuk menggantikan peran desainer atau penguji, melainkan sebagai mitra yang mempercepat sekaligus memperkuat inovasi," tegas Aris.