06 November 2024
13:08 WIB
Pemerataan Bioskop Jadi Harapan Berantas Pembajakan Film
Banyak alasan mengapa pembajakan film sampai dengan hari ini masih saja marak terjadi, salah satunya karena akses dan minimnya jumlah layar dan bioskop. Pemerataan bioskop diharap bisa jadi solusi.
Penulis: Andesta Herli Wijaya
Editor: Satrio Wicaksono
Pengunjung menunggu jadwal tayang film bioskop di CGV, Dmall, Depok, Jawa Barat. ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha
JAKARTA – Indonesia adalah salah satu negara dengan pasar film terbesar di dunia. Ada 280 juta penduduk, di mana setengahnya adalah kalangan anak muda dan dewasa yang merupakan kelompok usia utama sebagai penonton film Indonesia.
Sayangnya, jumlah penonton potensial itu tak sebanding dengan ketersediaan infrastruktur yang ada saat ini. Jumlah layar juga bioskop masih sangat terbatas, dan cenderung terpusat di Jawa atau kota-kota besar.
Merujuk data Badan Perfilman Indonesia tahun 2023, jumlah layar di Indonesia sebanyak 2.145 layar yang tersebar di 517 lokasi bioskop, di 115 kabupaten/kota. Angka-angka itu tak setara dengan jumlah kabupaten/kota di Indonesia yang pada tahun ini mencapai 514 kabupaten/kota, menurut data Badan Pusat Statistik. Secara sebaran saja, kurang dari sepertiga wilayah Indonesia yang terakses jaringan bioskop.
Kondisi itu menjadi perhatian bagi para pelaku perfilman tanah air. Salah satunya adalah produser dari Imajinari, Dipa Andika yang menyorot kurangnya jumlah layar dan bioskop sebagai permasalahan krusial bagi industri perfilman nasional.
Dipa bertolak dari pengalamannya memproduseri film drama komedi Ngeri-Ngeri Sedap yang sukses mencetak box office pada tahun 2022 silam, serta Agak Laen yang tahun ini menjadi film Indonesia terlaris. Menurutnya, potensi dua film yang kental nuansa budaya Batak ini untuk ditonton cukup besar, terutama di kawasan Sumatra Utara. Sayangnya, tak banyak bioskop tersedia di daerah tersebut.
"Perhatian kita, waktu bikin dua film itu, penonton salah satu yang terbanyak tentu lahir dari Sumatra, Tapi masalahnya bioskop di sana nggak banyak. Waktu Ngeri-Ngeri Sedap, mungkin ada puluhan ribu orang dari Balige, butuh tiga jam untuk datang ke bioskop di Pematang Siantar. Mungkin bisa dibilang juga ribuan orang pertama kali ke bioskop kala itu,” ungkap Dipa saat sesi “Ngopi Bareng Bersama Kementerian Kebudayaan dan Insan Perfilman” di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Dipa memandang persoalan infrastruktur itu pada akhirnya juga berkaitan dengan isu pembajakan yang tak kunjung bisa dituntaskan di industri perfilman. Dia berkaca pada fenomena di sekitar Kaka Bos (2024), film lainnya yang diproduksi Imajinari. Jika dua film sebelumnya berlatar budaya Batak, maka Kaka Bos mengambil latar masyarakat Indonesia bagian Timur.
Pada kasus film Kaka Bos, Dipa justru menemukan banyaknya pembajakan terjadi. Terutama terkait penonton di wilayah Indonesia Timur yang masih minim bioskop. Hal ini akhirnya membuat para penonton di sana mencari jalan lain untuk menonton film, termasuk salah satunya dengan berlangganan film bajakan via Telegram.
Menurut riset yang dilakukan Dika dan tim, ada tren berlangganan link film bajakan via aplikasi Telegram yang berekembang saat ini, terutama di wilayah dengan sebaran bioskop terbatas. Dalam praktiknya, para penikmat film membayar biaya berlangganan Rp50 ribu per bulan untuk mendapatkan link menonton dengan katalog yang terus diperbarui setiap minggunya.
Praktik menonton film lewat akses ilegal akhirnya menjadi alternatif masuk akal, di tengah kondisi sulitnya mengakses bioskop di daerah-daerah tertentu. Ditambah pula, dengan biaya setara satu kali menonton di bioskop, penggunanya dapat menonton banyak judul film.
"Jadi setiap minggu mereka dikasih link, ada film-film baru dengan kualitas kamera yang ditaruh di bioskop untuk direkam. Nah, biasanya kalau untuk film yang sudah lahir di OTT, hanya butuh waktu kurang dari 24 jam sudah ada di sana,” ujar Dipa.
“Jadi bayangkan penonton-penonton kita yang harusnya bisa datang ke bioskop, jangan-jangan bisa lebih banyak lagi,” tambahnya lagi.
Dipa berharap masalah pembajakan bisa ditangani, salah satunya dengan pemerataan akses bioskop di seluruh Indonesia. Harapan itu disampaikan langsung kepada Menteri Kebudayaan, Fadli Zon dalam sesi dialog pertama antara Kementerian Kebudayaan dengan insan perfilman di Jakarta baru-baru ini.
Pemerintah sendiri menjanjikan tindak lanjut atas sejumlah isu industri perfilman saat ini, termasuk akan mengupayakan pemerataan layar sebagaimana yang disorot Dipa Andika.