03 Mei 2024
14:38 WIB
Pelestarian Bahasa Daerah Dimulai Dari Rumah
Pembiasaan bahasa daerah dari rumah bukan sekadar sebagai upaya pelestarian, tapi ada riset yang menunjukkan hal itu berdampak positif pada kemampuan kognitif anak.
Penulis: Andesta Herli Wijaya
Editor: Satrio Wicaksono
Ketua Umum Dharma Wanita Persatuan Pusat, Franka Makarim dalam forum Festival Tunas Bahasa Ibu Tahun 2024 di Jakarta, Kamis (2/5). Sumber foto: Kemendikbudristek.
JAKARTA - Indonesia adalah negara dengan keragaman bahasa yang tinggi. Ada setidaknya 718 bahasa yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, menjadikan sebagai negara dengan bahasa terbanyak kedua di dunia setelah Papua Nugini.
Sayangnya, kekayaan bahasa itu terancam dari waktu ke waktu, seiring meluasnya penyebaran masyarakat penuturnya. Ditambah globalisasi, peran bahasa internasional sebagai media komunikasi membuat masyarakat hari ini semakin berjarak dari bahasa ibu mereka.
Akibatnya, banyak bahasa daerah kini dalam fase krisis atau terancam punah karena kehilangan penuturnya.
Pemerintah, melalui Badan Bahasa sejak beberapa tahun terakhir gencar menggalakkan revitalisasi bahasa. Program-program revitalisasi bergulir, mulai dari yang berbentuk inventarisasi, pengayaan hingga perayaan bahasa daerah dalam bentuk festival-festival bahasa.
Namun upaya itu belum cukup untuk menyelamatkan bahasa daerah dari kemungkinan kepunahan. Diperlukan upaya semua pihak untuk melestarikan bahasa, didahului dengan kesadaran akan pentingnya bahasa ibu sebagai bagian dari identitas.
Ketua Umum Dharma Wanita Persatuan Pusat, Franka Makarim mengatakan dalam forum Festival Tunas Bahasa Ibu (FTBI) Tahun 2024 di Jakarta, Kamis (2/5), bahwa upaya pelestarian bahasa daerah perlu dilakukan oleh semua orang. Dimulai dari lingkungan terkecil mereka, yakni keluarga.
Dalam hal ini orang tua, khususnya ibu, menjalankan peran yang sangat penting dalam menciptakan lingkungan rumah yang menghargai bahasa daerah.
Pembiasaan bahasa daerah di lingkungan keluarga bukan saja berguna untuk pelestarian bahasa, namun juga memberi manfaat bagi anak-anak. Penelitian ilmiah telah membuktikan bahwa anak-anak yang fasih berbahasa ibu menunjukkan perkembangan kognitif dan peningkatan intelektual yang lebih cepat.
Selain itu, kecakapan berbahasa daerah juga erat kaitannya dengan perkembangan kemampuan literasi dan keterampilan berkomunikasi.
“Keduanya merupakan kemampuan pondasi yang perlu ditumbuhkan sejak usia dini. Pada saat yang sama, berkomunikasi dalam bahasa daerah juga dapat menguatkan ikatan kekeluargaan dan kebersamaan di lingkungan rumah,” ungkap Franka sebagaimana dikutip dari siaran pers, Jumat (03/5).
Di tengah era globalisasi dan perkembangan teknologi yang semakin cepat, bahasa daerah seakan semakin kehilangan tempatnya, karena bahasa asing sering dianggap lebih penting dan lebih tinggi derajatnya.
Perspektif seperti itulah, kata Franka, yang perlu diubah. Bahasa daerah perlu terus lestari dan dikembangkan karena merupakan bagian penting dari identitas budaya yang kita miliki.
Sebab, jika bahasa daerah tidak digunakan lagi, berarti warisan pengetahuan lokal telah hilang. Padahal, pengetahuan lokal menyimpan gagasan-gagasan yang relevan dengan kehidupan saat ini, seperti misalnya bergotong royong sesama manusia, atau hidup berdampingan secara harmonis dengan alam sekitar.
“Adik-adik para penutur bahasa daerah muda adalah harapan Indonesia untuk terus menjadi bangsa yang besar karena warisan budayanya, karena kearifan lokalnya yang beragam,” tambah Franca.
Atas dasar itu, Franka mengajak semua pihak untuk mengupayakan pelestarian bahasa daerah melalui peran keluarga. Ada beragam cara yang bisa dilakukan, misalnya dengan membiasakan penggunaan bahasa daerah di rumah, mengajarkan bahasa daerah melalui permainan atau lagu, hingga melibatkan anak-anak pada peringatan hari besar atau acara budaya.
Orang tua juga bisa mengajarkan pengetahuan lokal melalui cerita rakyat kepada anak, mendorong anak-anak mengekspresikan diri menggunakan bahasa daerah misalnya dengan menulis sastra, hingga melibatkan anak dalam kegiatan komunitas penggerak bahasa daerah.
Potret Keterancaman Bahasa Daerah
Kepala Badan Bahasa, Aminudin Aziz mengungkapkan bahwa Indonesia sebagai negara dengan kebinekaan bahasa terbesar kedua di dunia, menghadapi tantangan serius dalam pelestarian bahasa daerah. Tren kepunahan terus meningkat dari tahun ke tahun.
Hal itu terjadi akibat munculnya sikap negatif penutur jati terhadap bahasa daerahnya, meningkatnya perkawinan silang antar penutur bahasa daerah, globalisasi, dan urbanisasi serta kebijakan yang tidak selalu berpihak kepada pelestarian bahasa daerah.
Faktor-faktor tersebut mengancam keberadaan 718 bahasa daerah yang ada di Indonesia. Data terkini menunjukkan penurunan signifikan dalam vitalitas beberapa bahasa daerah, yang berarti jumlah bahasa yang mengalami kemunduran terus meningkat.
“Oleh sebab itu, pemerintah, baik pusat maupun daerah, harus bersinergi untuk menekan penurunan vitalitas bahasa daerah melalui upaya revitalisasi,” tegasnya dalam pembukaan Rapat Koordinasi Penguatan Revitalisasi Bahasa Daerah Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di Jakarta, Kamis (2/5).
Aziz menekankan, revitalisasi bahasa daerah perlu partisipasi masyarakat secara keseluruhan. Termasuk partisipasi orang tua yang memastikan terjadinya regenerasi penutur bahasa ibu di lingkup keluarga masing-masing.