c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

KULTURA

01 Desember 2022

18:40 WIB

Pasien HIV/AIDS Berpotensi 30 Kali Lipat Terserang TBC

Total, hingga Juni 2022, orang dengan HIV/AIDS-ODHIVA di seluruh provinsi Indonesia mencapai 519.158. Dari jumlah itu, sekitar 85% berada pada usia produktif antara usia 20 hingga 49 tahun.

Pasien HIV/AIDS Berpotensi 30 Kali Lipat Terserang TBC
Pasien HIV/AIDS Berpotensi 30 Kali Lipat Terserang TBC
Anggota komunitas Jaringan Lintas Isu (JATI) menunjukkan pita merah saat berunjuk rasa memperingati Hari AIDS sedunia di depan Balai kota Malang, Jawa Timur, Kamis (1/12). Antara Foto/Ari Bowo Sucipto

JAKARTA  - Pasien HIV/AIDS diketahui lebih rentan tersenag berbagai penyakit. Khusus untuk tuberkulosis (TB), risikonya menurut dokter spesialis penyakit dalam dr. Herikurniawan, Sp.PD, KP. 30 kali lipat lebih tinggi dibanding orang tanpa HIV/AIDS.

"Kalau bicara AIDS enggak afdol kalau enggak bicara TB. Kita perlu aware dengan TB ini karena pasien HIV berisiko 30 kali lipat lebih tinggi terkena TB," ujar dokter lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia itu dalam bincang-bincang media di Jakarta, Kamis (1/11).
 
Insidensi total penyakit TB tahun 2021 di Indonesia sebesar 354/100.000 populasi atau 969.000 kasus. Sedangkan, insidensi TB-HIV tahun 2021 sebesar 8,1/100.000 populasi atau 22.000 kasus.

Adapun kematian TB non-HIV pada tahun 2021 mencapai 52/100.000 populasi atau 144.000 kasus. Sedangkan kematian TB-HIV sebesar 2,4/100.000 populasi atau 6.500 kasus.
 
Ia menjelaskan, TB disebabkan oleh bakteri mycobacterium tuberculosis. Bila menginfeksi paru maka menyebabkan TB Paru. Namun, tak hanya paru, kuman ini ternyata juga mampu menginfeksi organ tubuh lainnya seperti hati, otak, mata hingga tulang.
 
Kuman ini bisa bertahan hingga suhu terendah -70 derajat. Namun mati dalam beberapa menit jika terkena sinar matahari atau suhu 30-37 derajat.
 
TB pada non-HIV dan HIV memiliki gejala yang sama seperti batuk lebih dari dua minggu, demam berkepanjangan, penurunan berat badan, keringat malam berlebih, nafsu makan menurun, lemah dan lelah. Namun, khusus untuk pasien HIV, keluhan batuk berapapun lamanya harus tetap melakukan pemeriksaan.
 
"Semua pasien yang terdiagnosa HIV positif wajib dilakukan pemeriksaan TB, kita periksa dahaknya," kata dr. Herikurniawan.
 
Lebih lanjut, ia mengatakan pengobatan TB pada pasien HIV harus didahulukan dengan pemberian obat OAT selama 6 bulan setiap hari. Kemudian, pada pasien HIV juga sering ditemukan infeksi hati sehingga mudah terjadi efek samping obat berupa gangguan hati pada beberapa obat OAT.
 
Selain itu, semua pasien TB-HIV positif akan diberikan antibiotik pencegahan Kotrimoksazol untuk mencegah infeksi oportunistik lain.
 
"Kalau baru ketahuan HIV itu harus langsung cek TB, kalau enggak ada TB tetap harus dikasih pencegahan," ujarnya.



Ilustrasi penderita TBC. dok.Shutterstock/Kangwans

 


Deteksi Dini
Sementara itu, dokter penyakit dalam konsultan alergi imunologi klinik Prof. Dr. dr. Heru Sundaru, Sp.PD, KAI mengatakan, sangat penting untuk melakukan pemeriksaan HIV sejak dini guna meningkatkan kualitas hidup dan mencegah kematian.

"Mengetahui HIV itu lebih penting, umur bisa lebih panjang, kualitas hidup lebih baik karena tidak sempat mengalami infeksi oportunistik dan tidak akan menjadi AIDS," ujar lulusan Universitas Indonesia itu dalam diskusi daring di Jakarta, Kamis.

Berdasarkan data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, kasus baru HIV tahun 2021 sebanyak 36.902. Angka ini mengalami penurunan dibandingkan tahun 2017 yang sebesar 48.300 kasus.

Secara total, hingga Juni 2022, orang dengan HIV/AIDS-ODHIVA di seluruh provinsi Indonesia mencapai 519.158. Dari jumlah itu, sekitar 85% berada pada usia produktif antara usia 20 hingga 49 tahun.

Lebih lanjut, Prof. Heru menjelaskan, HIV atau human immunodeficiency virus adalah virus yang merusak sistem kekebalan tubuh dengan menginfeksi dan menghancurkan sel CD4. Beberapa gejala umum yang kerap muncul pada penderita HIV adalah demam berkepanjangan, nyeri otot, sakit tenggorokan, ruam, mudah lelah, berat badan menurun secara drastis terus menerus, kemunculan bercak-bercak putih pada lidah hingga diare panjang.

Menurut Prof. Heru, masih banyak masyarakat yang tidak berani untuk memeriksa darah untuk mengetahui kemungkinan adanya HIV. Padahal, adanya deteksi dini terhadap HIV dapat mencegah penularan terhadap orang-orang di sekitar.

"Kalau tahu dari awal akan lebih baik. Kadang-kadang kita butuh 6-7 tahun baru gejala muncul. Insya Allah tidak akan meninggal dan bahkan kalau ketahuan dari awal bisa berkeluarga, bisa punya anak makanya kita kendalikan," cetusnya.

Prof. Heru juga mengatakan wanita yang sedang merencanakan kehamilan sebaiknya melakukan pemeriksaan darah untuk HIV, sehingga jika memang ditemukan adanya virus bisa dicegah agar tidak menular terhadap bayinya.

Untuk diketahui, penularan HIV bisa terjadi melalui transfusi darah, cairan mani atau sperma, cairan vagina dan ASI. Selain itu, bergantian jarum suntik hingga hubungan sesama jenis juga dapat menyebabkan HIV.

"Transfusi darah itu sangat besar penularannya 90%, hubungan seksual yang tidak aman, homoseksual, tusukan jarum. Petugas kesehatan juga berisiko ya, kemungkinan kenanya 1:1.000," ujar Prof. Heru.

"Penularan dari ibu dan anak juga tinggi makanya sebelum hamil periksa dulu, waktu melahirkan makanya disarankan sesar bagi yang sudah HIV dan menyusui," lanjutnya.

Tes Mandiri
Senada, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengajak masyarakat untuk berani melakukan tes HIV/AIDS yang saat ini bisa dilakukan secara mandiri dengan oral fluid tes (OFT). Moeldoko menyampaikan hal tersebut saat mengecek ketersediaan obat dan layanan untuk HIV di Puskesmas Jatinegara, Jakarta, Kamis, sebagaimana siaran pers yang diterima.

Sebagai informasi, cara kerja skrining HIV mandiri dengan OFT dilakukan dengan metode swab atau usap, yakni dengan memasukkan alat ke bagian dalam mulut dan mengusapkan nya pada gusi. Tes cepat HIV ini disebut mampu mendiagnosa infeksi HIV dengan tingkat akurasi 99,3% menggunakan cairan mukosa pada gusi (air liur gusi), dan hasilnya bisa diketahui dalam waktu 20 hingga 40 menit.

"Dengan alat ini masyarakat bisa melakukan tes HIV dengan mudah, murah, dan sangat terjaga kerahasiaannya," ujar Moeldoko.

Moeldoko mengungkapkan, selama ini salah satu hambatan untuk meningkatkan cakupan tes dan pengobatan adalah ketersediaan dan keterjangkauan layanan tes HIV. Termasuk kekhawatiran kurangnya kerahasiaan dan privasi, serta biaya yang harus dikeluarkan oleh pasien.

Hal itu, menurut dia, menyebabkan penanganan HIV di Indonesia belum bisa dilakukan dengan cepat, karena jumlah orang yang mengetahui status HIV-nya masih rendah.

"Ini penting, karena setelah mengetahui statusnya maka mereka diharapkan akan segera datang ke layanan untuk mendapatkan pengobatan ARV (Antiretroviral)," ucapnya.

Dia mengatakan, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan berkomitmen untuk mengeliminasi HIV pada 2030 melalui strategi “Triple 95”, yaitu 95% ODHIV mengetahui statusnya, 95% mendapatkan obat ARV, dan 95%yang diobati mengalami supresi virus.

Selain itu, imbuh dia, Kemenkes juga telah mencantumkan strategi pengendalian HIV-AIDS dalam bagian Standar Pelayanan Minimum di Fasilitas Layanan Kesehatan.

"Saya mengapresiasi kesiapan puskesmas Jatinegara dalam memberikan layanan HIV. Saya harap layanan ini harus semakin ditingkatkan," tandasnya.

Pada kesempatan itu, Moeldoko juga mengimbau masyarakat berhenti memberikan stigma negatif dan diskriminasi terhadap ODHIV. Menurutnya, lingkungan yang suportif dan inklusif akan memberikan keamanan dan kenyamanan pada ODHIV, sehingga mereka bisa menjalani terapi tanpa ada tekanan.

Sekadar mengingatkan, tanggal 1 Desember diperingati sebagai hari AIDS Sedunia, di mana pada tahun ini peringatan Hari AIDS Sedunia mengusung tema “Equalize” yang menyerukan kesetaraan bagi semua, khususnya perempuan, anak, dan remaja.

 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar