c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

KULTURA

04 April 2023

20:45 WIB

Para Pencari ‘Harta Karun’ Di Balik Tren Thrifting

Ada kelompok tertentu di balik tren thrifting. Yang dicari bukan sekadar pakaian bekas dengan brand-brand tertentu

Penulis: Annisa Nur Jannah

Editor: Satrio Wicaksono

Para Pencari ‘Harta Karun’ Di Balik Tren Thrifting
Para Pencari ‘Harta Karun’ Di Balik Tren Thrifting
Pedagang menunjukkan koleksi kaos vintage yang dijual di Woodstock Corner Shop, Pasar Santa, Jakarta, Sabtu (1/4/2023). ValidNewsID/Fikhri Fathoni

JAKARTA - Thrifting, seakan menjadi sebuah budaya populer di kalangan anak muda beberapa tahun belakangan ini. Entah apa penyebabnya, yang jelas pelakonnya semakin menjamur. Anak-anak muda di kampung-kampung pun fasih betul mengucapkannya.

Padahal sesungguhnya, praktik jual-beli barang bekas ini, khususnya pakaian, sudah ada sejak lama. Di Pasar Senen, misalnya, kawasan itu sangat terkenal sebagai salah satu ekosistem pakaian bekas terbesar di Indonesia.

Dulu, peminatnya belum sebanyak kini. Sebutan thrifting sendiri memang baru beberapa tahun kerap digunakan. Sebelumnya, warga biasa melihat jual-beli barang bekas ini sebagai jual-beli barang ‘loak’. Kini dengan sebutan ‘thrifting’, kesan barang second sebagai barang tak berkelas, justru ada kelasnya.

Tak hanya di Jakarta, bisnis itu juga sudah lama merebak di berbagi daerah, dengan keunikan namanya masing-masing. Kalau di Yogyakarta, Solo dan sekitarnya, sebutannya "awul-awul".

Awul-awul sendiri booming pada era 2000-an. Tempat penjualannya menjadi pilihan tempat berbelanja anak-anak perantau yang sekolah dan kuliah di sana. Wajar. Dengan kocek hanya belasan ribu, pada waktu itu, mereka sudah bisa mendapatkan pakaian-pakaian bermerek, meski bekas dari negara-negara tetangga.

Dengan harga murah, orang-orang sudah bisa memiliki pakaian orisinal. Yang sudah barang tentu, menambah penampilan pemakainya semakin ‘kece’.
 
Hal inilah yang kemudian disorot oleh seorang fashion expert, Franka Soeria. Dia berpendapat, pelaku thrifting pasti berpikir bahwa pakaian bekas yang dibeli dan dikenakan bisa menunjang penampilan mereka menjadi 'naik kelas'. Tentunya, ini terjadi pada mereka yang sengaja memberi produk fesyen branded .
 
“Di Indonesia kebanyakan orang membeli baju thrifting lebih mengarah ke mereknya. Mereka yang tidak mampu membeli, mencari barang bekas untuk mengenakan baju branded,” kata Franka Soeria kepada Validnews, Senin (3/4).
 
Karena adanya kebutuhan dan permintaan, terjadilah pasar. Ini pada akhirnya membuat fenomena thrifting semakin menggeliat. Ditambah lagi, banyaknya konten kreator yang menyajikan tontonan bagaimana mereka berburu thrifting-an. Apa yang didapat, lengkap dengan tempat dan harganya.
 
Fenomena ini dipotret lewat sebuah survei Goodstat, yang dilakukan untuk melihat preferensi gaya fesyen anak muda Indonesia. 

Dari survei yang dilakukan dengan 261 responden di 5-16 Agustus 2022, 49,4% responden mengaku pernah membeli barang fesyen bekas dari hasil thrifting. 34,5% belum pernah, dan 16,1% tidak akan mencoba membeli barang thrifting.
 
Meski tidak melebih setengah dari jumlah responden, hasilnya cukup memberikan gambaran kalau lebih banyak orang yang suka melakukan thrifting.
 

Bukan Barang 'Murahan'
Tingginya minat orang-orang berburu barang bekas bermerek, jelas menggelorakan semangat para pencari cuan. Bagi mereka yang punya otak dagang, geliat ini dilihat sebagai potensi besar.
 
Tentunya hal itu membuat banyak pelaku bisnis lantas membuka usaha thrift. 

Gea Pratiwi adalah salah satunya yang mencoba peruntungan itu. Sederhana saja. Dia sadar thrifting dapat menghasilkan pundi-pundi rupiah dengan membuka @predatorbarangsecond. Sejak tahun 2010-an, dia mulai menjajaki bisnis ini.
 
“Jadi, aku basically menjual semua barang bekas nggak ada spesialisnya. Aku jual apa saja mulai dari kaus, jaket, celana, jam, koper, poster, koin," ujar Gea Pratiwi kepada Validnews, Kamis (30/3).

Bedanya, apa yang dijual Gea bukan ecek-ecek. Tidak seperti barang bekas pada umumnya, kios dan online shop-nya menjajakan barang berkelas. Harganya pun tidak murah.
 
Apa yang dijual, punya nilai jual tinggi. Barang yang langka dengan nilai sejarahnya sendiri-sendiri. "Dari barang-barang itu aku cari tahu di google mana yang mempunyai value-nya,” tuturnya.
 
Untuk menemukan barang yang punya ‘bernilai’, Gea dibantu oleh sang suami, Riva, selaku kurator. Riva mengkurasi barang berdasarkan pencariannya di internet atau marketplace dengan mencari jenis barang, merek, dan tipe.
 
“Setelah mendapat hasil surveinya, saya tinggal compate ke harga pasaran di marketplace. Misalnya, aku dapat item dengan harga Rp 500rb, sementara valuenya di marketplace katakan Rp3,5 juta. Aku bakal jual below market price, mungkin sekitar Rp2.5 jutaan saja,” ungkap Riva.

Bagi Gea, bisnis seperti ini sangat memungkinkan mendapatkan untung besar. Karena, barang yang mungkin dibeli dengan modal puluhan atau ratusan ribu bisa melambung tinggi hingga puluhan juta.

“Kalau melihat banyaknya lapak baru berjualan barang bekas, dari segi bisnis pastinya negatif karena itu jatuhnya kompetitorku. Mungkin mereka juga tahu bahwa bisnis ini sangat profitable,” ucap Gea.

Dalam sebuah tayangan di kanal YouTube USS Feed, Riva menunjukkan salah satu item yang memiliki nilai tinggi, yakni sebuah koper kayu yang didapat dari sebuah lelang. Koper itu bernama Louis Vuitton Streamer Trunk. Diperkirakan koper tersebut buatan tahun 1940, lengkap dengan sertifikatnya.
 
Ada pula suvenir jaket tentara. Sebuah jaket yang sengaja dibuat sebagai kenangan-kenangan para tentara pada zaman perang dahulu kala. Jaket itu bukanlah jaket komersil, melainkan jaket pesanan dengan desain yang berbeda-beda.

Buruan Para Kolektor
Dengan menghadirkan jualan bernilai sejarah dan langka, tentu pasar barang bekas juga menjadi buruan para kolektor. Soal harga, tentu bukan masalah.

Selain soal harga, dari segi penamaan pun berbeda. Untuk aktivitas jual beli barang bekas kelas tinggi ini, biasanya disebut dengan preloved. Agak lebih halus memang.
 
Di sini, para pelakon agaknya punya cara tersendiri untuk mendapatkan barang-barang incarannya. Setidaknya, mereka harus memiliki jaringan langsung kepada pemilik yang ingin menjual barang-barangnya. Atau bisa juga menunggu sebuah proses lelang.
 
Bagi para kolektor, berburu barang di pasar 'loak' justru menguntungkan. Enggak percaya? Salah satu kolektor kaus band vintage, Ash Soundworld mengaku tidak mempersoalkan harga. Karena kaus band yang dikoleksinya memiliki nilai yang berbeda.
 
"Mengoleksi kaus band itu susah-susah gampang, karena nggak semua orang dan setiap waktu bisa kita dapatin, meski punya uang," ujar Ash Soundworld kepada Validnews, Jumat (31/3).
 
Baginya, hobi mengoleksi kaus band bisa sangat menguntungkan. Selain bisa memiliki apa yang disuka, barang-barang koleksinya bisa menjadi sesuatu yang jauh lebih berharga.

"Saya punya Soundgarden-Black Hole Sun. Baju ini sebenarnya didapetin lumayan murah dan pernah ditawar Rp10 juta. Tapi kenapa enggak dijual, karena dapetin kaus ini pakai lelang dan nggak yakin akan dapat lagi, sebutnya.
 
Dia bercerita, butuh banyak trik yang dilakukan untuk 'merayu' para penjual yang juga kolektor.

“Kalau dia enggak mau jual, kita beli hatinya. Karena biasanya mereka yang pedagang juga ikut mengoleksi. Saya pernah rela beli 2 barang yang lumayan, setelah beli barang itu baru penjualnya kasih. Padahal, 2 kaus band yang saya beli lebih mahal dari kaus incaran saya,” ungkap Soundworld.

Soundworld sendiri mengaku, rela begadang demi mendapatkan kaus incarannya dengan memantau lelang kaus band di platform e-commerce luar negeri.

Mengancam Produk Lokal?
Seperti yang kita ketahui, fenomena thrifting tengah menjadi perbincangan. Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan telah melarang impor pakaian bekas melalui Permendag No 18 Tahun 2021 tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor.
 
Franka pun memberikan pandangannya soal ini. Baginya, adanya pelaku thrift shop belum tentu membuat produk dalam negeri hancur. Karena faktanya, masih marak produk dari negara lain dan barang-barang di marketplace dengan harga sangat murah. Inilah yang justru mengkhawatirkan dan menjadi pesaing UMKM.
 
"Sebenarnya, yang betul adalah memperkuat produk lokal itu sendiri, kita bisa menerapkan konsep introspeksi. Kalau pemerintah sudah semangat banget, dari lokalnya harus memperbaiki kualitasnya, kira-kira apa yang orang suka dari gaya thrifting,” tuturnya.

Dia mengaku tidak setuju dengan adanya narasi tersebut. Menurut Franka, semua pecinta fesyen berhak memilih apa yang mereka suka. Dengan begitu, tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
 
"Jadi, tidak perlu khawatir karena akan selalu akan ada produk-produk lain. Makanya, produk lokal harus ada pride-nya sendiri. Kalau produk itu bagus kita juga bisa bangga, kok,” kata Franka.
 
Di persepsinya, tidak ada jaminan ketika thrift shop ditutup, produk lokal akan maju 100%.

Thrifting vs Fast Fashion
Di balik isu fesyen, tren thrift punya dampak positif bagi lingkungan. Prinsip reuse merupakan salah satu bentuk menjaga lingkungan. Ini dijadikan alasan oleh mereka yang menyokong isu lingkungan, mengingat industri fast fashion menjadi penyebab menumpuknya limbah tekstil dan pencemaran air.
 
Dengan kata lain, membeli pakaian bekas pakai dari orang lain dapat mengurangi dampak negatif dari fast fashion.

Data United Nations Environment Programme (UNEP) menyokong gaya hidup ini. Bahwa industri fesyen bertanggung jawab atas 10% emisi karbon global tahunan dan diprediksi akan melonjak hingga lebih dari 50% pada tahun 2030.
 
"Jadi, dengan adanya tren thrifting ini membuat orang menjadi lebih berpikir tidak harus membeli baju baru. Dengan membeli pakaian bekas dari orang lain membuat umur baju itu bisa lebih panjang," ungkap Franka.
 
Namun, masih sangat disayangkan di Indonesia sendiri budaya fast fashion masih belum hilang. Akan tetapi, tak bisa dimungkiri juga, terlepas dari manfaat terhadap lingkungan, tren ini punya dampak negatif yang cukup besar bagi seseorang. 

Bagi Franka, sangat penting untuk memahami keburukan dari siklus berbelanja pakaian bekas.
 
"Kalau di Indonesia, barang-barang bekas yang didapat kebanyakan impor yang dikirim secara bal-balan dengan barang tanpa disortir dengan baik. Misalnya, tercampur dengan barang yang tidak layak, sehingga akan menimbulkan sampah baru," sebutnya.
 
Tidak hanya itu saja. Dia juga sepakat ada risiko lainnya. Produk yang dikirim dari luar negeri dengan jangka waktu pengiriman lama, memicu berkembangkan bakteri di pakaian. 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar