c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

KULTURA

13 November 2025

12:03 WIB

Pahami Faktor Risiko Dan Gejala Antisipasi Kematian Jantung Mendadak

Kematian jantung mendadak menyumbang 15% kematian secara global setiap tahunnya. Kenali tanda-tanda gangguan irama jantung yang sering tidak terdeteksi.

<p>Pahami Faktor Risiko Dan Gejala Antisipasi Kematian Jantung Mendadak</p>
<p>Pahami Faktor Risiko Dan Gejala Antisipasi Kematian Jantung Mendadak</p>

Ilustrasi serangan jantung. Shutterstock/dok

JAKARTA - Jangan pernah menganggap remeh pemeriksaan kesehatan rutin. Pasalnya, ini menjadi cara paling efektif sebagai upaya deteksi dini dari berbagai silent killer, misalnya kematian jantung mendadak. 

"Periksa tekanan darah, kadar gula, dan kolesterol minimal setahun sekali. Bila ada riwayat keluarga meninggal mendadak di usia muda, jantung berdebar, atau pingsan tanpa sebab jelas, maka orang tersebut harus segera konsultasi ke dokter jantung," Sekretaris Jenderal Perhimpunan Aritmia Indonesia (PERITMI)/Indonesian Heart Rhythm Society (InaHRS), dr. Agung Fabian Chandranegara.

Ia mengatakan, fenomena Sudden Cardiac Death (SCD) atau kematian jantung mendadak menjadi salah satu masalah kardiovaskular serius. SCD menyumbang sekitar 10%-15% dari seluruh kematian global setiap tahunnya, akibat gangguan irama jantung yang sering tidak terdeteksi sebelumnya.

Secara global, insiden SCD pada populasi umum diperkirakan mencapai 40–100 kasus per 100.000 orang per tahun. Meski angka kematian sempat menurun antara tahun 1999 hingga 2018, data terbaru menunjukkan peningkatan signifikan sejak 2018, menandakan bahwa tantangan ini masih jauh dari selesai.

"Laki-laki tercatat memiliki risiko lebih tinggi dibanding perempuan, dengan perbandingan angka mortalitas 5,23 berbanding 2,71," ujar dr. Agung.

Agung menambahkan, mengenali tanda-tanda gangguan irama jantung sangat penting diketahui seperti nyeri dada, sesak, mudah lelah, atau detak jantung yang tidak teratur. Jika merasa ada kelainan, maka pemeriksaan lanjutan seperti EKG, ekokardiografi, atau Holter monitoring mungkin perlu juga dilakukan.

Ia juga menekankan melakukan gaya hidup sehat tetap menjadi kunci, seperti berhenti merokok, rutin berolahraga, tidur cukup, dan mengelola stres bisa menurunkan risiko secara signifikan.

Tindakan Awal Kasus Henti Jantung
Berdasarkan jaringan Pan-Asian Resuscitation Outcome Study (PAROS), tingkat kelangsungan hidup henti jantung di luar rumah sakit (Out-of-hospital cardiac arrest/OHCA) di kawasan Asia rata-rata hanya sekitar 4%–6%, jauh di bawah angka di negara-negara Barat.

Ini menunjukkan pentingnya sistem tanggap darurat yang kuat dan edukasi publik, agar masyarakat tahu apa yang harus dilakukan ketika seseorang mengalami henti jantung. Salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah pentingnya pemahaman masyarakat mengenai Bantuan Hidup Dasar (BHD), seperti resusitasi jantung paru (RJP, atau Cardiopulmonary resuscitation/CPR).

"Pada kasus henti jantung di luar rumah sakit/OHCA, setiap menit tanpa CPR menurunkan peluang hidup secara signifikan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa CPR oleh bystander CPR (penolong/orang di sekitar pasien) dapat meningkatkan peluang hidup tiga hingga empat kali lipat, sedangkan penggunaan AED (Automated External Defibrillator) oleh masyarakat bisa meningkatkan peluang hidup hingga lima kali lipat,” kata dr. Agung.

Ia pun memberikan beberapa langkah praktis yang bisa diingat masyarakat ketika menemui seseorang dengan henti jantung seperti kenali tanda henti jantung yaitu korban tidak responsif dan tidak bernapas normal, segera hubungi 112 atau 119.

Sambil menunggu bisa mulai kompresi dada di bagian tengah, keras dan cepat dengan hitungan 100–120 kali per menit dan kedalaman 5–6 cm, jika tersedia gunakan AED dan ikuti instruksi alat, lanjutkan sampai petugas medis datang atau korban kembali sadar.

“Bantuan sederhana yang dilakukan dengan cepat bisa menentukan antara hidup dan mati pasien tersebut,” jelas dr. Agung.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar