08 April 2022
15:13 WIB
Penulis: Tristania Dyah Astuti
Editor: Rendi Widodo
JAKARTA – Pada awal maret lalu Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengeluarkan rekomendasi agar semakin banyak negara yang melegalkan aborsi. Tujuannya agar anak dan perempuan bisa mendapatkan layanan aborsi yang legal dan aman.
Melihat hal tersebut, Kepala Divisi Pengawasan Monitoring dan Evaluasi Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Jasra Putra menilai rekomendasi yang dikeluarkan WHO menitik beratkan pada upaya anak dan perempuan menghadapi kehamilan yang diakibatkan trauma seperti pemerkosaan.
Di Indonesia, kata dia, aborsi sudah diatur melalui Undang-Undang Dasar Nomor 39 Tahun 2009 Tentang Kesehatan (selanjutnya disebut UU Kesehatan).
Termasuk di dalamnya aturan aborsi terhadap kehamilan tidak diinginkan akibat kekerasan seksual, pemerkosaan atau rudapaksa.
“Dalam pasal 75 ayat (2) UU Kesehatan bahwa adanya larangan terhadap tindakan aborsi dapat dikecualikan dengan berdasarkan pada: (salah satunya) adanya kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan,” kata Jasra dihubungi Validnews, Kamis (6/4).
Lebih rinci ia menjelaskan dalam pasal 75 ayat (1) dalam UU Kesehatan memang menyebutkan bahwa setiap orang dilarang untuk melakukan aborsi.
Namun, pada ayat (2) UU Kesehatan tersebut disebutkan adanya larangan terhadap tindakan aborsi dapat dikecualikan pada kondisi tertentu.
Seperti, terdapatnya indikasi darurat medis yang telah dideteksi pada usia dini sebuah kehamilan, kehamilan tersebut mengancam nyawa dari ibu dan juga janin; Terdapat penyakit genetik/cacat bawaan maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga dapat menyulitkan kehidupan bayi ketika hidup di luar kandungan.
Dan terakhir mengatur bahwa kehamilan akibat kekerasan seksual dan pemaksaan bisa mengakses aborsi legal yang aman.
Selain itu, aborsi juga perbolehkan apabila korban pemerkosaan yang sedang mengandung mengalami trauma berat, hingga depresi dan mengalami gangguan mental.
Dalam pelaksanaannya, syarat aborsi selanjutnya juga diatur dalam pasal 76 UU Kesehatan. Dalam pasal itu dijelaskan syarat pelaksanannya harus dilakukan oleh tenaga medis profesional dan klinik rekomendasi pemerintah.
Termasuk pula terkait perizinan aborsi bagi korban pemerkosaan yang hanya membutuhkan persetujuan korban atau ibu hamil tersebut.
“Lengkapnya diatur dalam pasal 76 UU Kesehatan; (tindakan aborsi) Mendapatkan persetujuan dari ibu hamil yang bersangkutan juga Mendapatkan izin dari pihak suami, dalam hal ini kecuali korban perkosaan,” terang Jasra.
Namun, ia tidak menjelaskan apakah korban pemerkosaan kategori anak harus dengan persetujuan orang tua atau tidak untuk melakukan aborsi.
Yang jelas, Jasra menekankan bahwa praktik aborsi ini memiliki risiko yang sangat tinggi. Untuk itu dalam pelaksanaannya terdapat standardisasi yang telah diatur secara jelas dan rinci melalui Undang-Undang.