c

Selamat

Senin, 17 November 2025

KULTURA

09 Januari 2024

21:00 WIB

Orang Muda Dan Wirausaha, Perkara Mental Atau Modal?

Memiliki bisnis merupakan impian banyak orang muda hari ini. Slogan jadi bos atas diri sendiri terdengar menyenangkan. Realitasnya, tak banyak yang tak demikian.

Penulis: Andesta Herli Wijaya

Editor: Rendi Widodo

Orang Muda Dan Wirausaha, Perkara Mental Atau Modal?
Orang Muda Dan Wirausaha, Perkara Mental Atau Modal?
Seorang pekerja membungkus paket rotan untuk dikirim kepada konsumen di Sentra Rotan Grogol, Jakarta Timur, Selasa (28/11/2023). Antara Foto/Nadia Putri Rahmani

JAKARTA - Jaya (29 tahun), seorang milenial kelas pekerja di Jakarta, pada tahun 2020 silam mencoba menguak peruntungannya di dunia usaha. Dia menjalankan bisnis kebun dengan produk sayuran hidroponik, sesuatu yang seksi pada masa pandemi itu.

Jauh dari kata coba-coba, Jaya menyelam penuh ke dalam usaha tersebut. Dia pun memilih menetap di Bogor, menyewa rumah dan lahan yang cukup luas. Kebunnya cukup besar, dengan kapasitas 2.000 lebih lubang tanam atau sekitar 300-400 kilogram sayuran per putaran panen. Kapasitas yang cukup untuk sebuah kebun skala industri.

Jaya berniat jadi petani. Dia belajar ke sana kemari hingga bisa menjalankan kebun dengan cukup baik dan hasil yang optimal.

Malangnya, Jaya terlambat tahu kalau pemasaran sayuran hasil kebun hidroponik tak semudah menjual sayur konvensional di pasar-pasar. Bagaimanapun, ada pasar yang berbeda.

Maka Jaya harus berjibaku. Merangkap jadi sales, mengelola kebun di pagi hari, lalu bepergian ke sana kemari pada sore harinya untuk menembus peluang pasar. Dia membidik hotel, restoran, hingga swalayan-swalayan. 

Akan tetapi, semuanya nihil. Setiap tempat yang disambangi ternyata sudah punya jaringan pasokannya sendiri.

Jaya tak patah arang. Pikirnya, pasti ada jalan agar sayurannya tak berakhir dijual ‘karungan’ dengan harga rendah di pasar-pasar rakyat. Maka harapan terakhir tertuju pada tengkulak.

Mendekati masa panen pertama, Jaya bekerja sama dengan dua tengkulak yang mau mengambil hasil kebun secara rutin dalam jumlah tertentu, dengan harga yang dirasa masuk akal. Namun, itu ternyata belum cukup, perlu lebih banyak tengkulak agar semua sayurnya bisa terjual habis.

Otaknya kembali berputar. Jaya mencari rekanan dari kalangan pengecer sayuran hidroponik di marketplace. Dia berhasil mendapatkan beberapa rekanan yang mau menerima sayurnya secara reguler.

Ternyata, itu pun belum cukup. Masih ada sebagian hasil panen tak terserap. Kondisi ini membuat Jaya akhirnya harus ikut turun sebagai pengecer langsung. Dia memilih ‘mode’ jualan sayur keliling, mengantarkan sayur langsung ke tangan konsumen.

“Selama setahun, begitulah skemanya. Sayuran hasil kebun saya bisa terjual semua dengan kombinasi kerja sama tengkulak, pengecer di online shop, dan ketika di masa panen tertentu masih ada sayur yang belum ada yang ambil, maka saya turun langsung sebagai penjual sayur keliling,” ungkap Jaya kepada Validnews, beberapa waktu lalu.

Meski sayuran bisa terjual habis, Jaya mengaku usaha itu terlalu sulit untuk dijalaninya. Dia kesulitan bertahan karena hasil penjualan sayuran sekadar bisa menutup operasional, tak kunjung berbuah untung. 

Pengembalian modal investasi yang turut melibatkan dana milik seorang rekannya, terasa semakin sulit.

Jaya bertahan dengan kondisi tersebut setahun lebih. Sementara dia sendiri merasa sudah amat capai hanya di tahun pertama itu. Otak sudah buntu untuk memikirkan jalan mengembangkan usahanya, di sisi lain tabungan dana untuk ‘mode bertahan’ sudah setipis kertas. 

Jaya ingin menyerah dan pergi, tapi malu jika harus gagal, sekali lagi.

Jaya sendiri sudah punya banyak catatan kegagalan dalam dunia wiraswasta. Sebelum kebun hidroponik, semasa kuliah, dia juga telah menjajal beberapa usaha, mulai dari mengecer flashdisk hingga membuka kedai fotokopi yang menelan modal puluhan juta. Semuanya berakhir dengan kegagalan, gulung tikar sebelum mekar.

Maka itu, dia tak mau gagal lagi. Sementara itu, ajaran ‘orang Padang pintar berdagang’ terus terngiang-ngiang di benaknya. Jaya berpikir, mengapa seolah tak ada peruntungan baginya di sana?

Lalu terjadi insiden di tahun kedua usaha hidroponik itu. Badai hebat merusak fasilitas utama kebun seperti greenhouse hingga instalasi hidroponik. Seketika itu juga, Jaya merasa mendapatkan ‘restu alam’ untuk menyatakan niatnya menyerah.

“Sekarang saya bekerja lagi di sebuah perusahaan, jadi karyawan lagi. Sepertinya, tak ingin berusaha lagi, kecuali kalau nanti saya benar-benar yakin bahwa mental saya saat itu sudah jauh lebih siap dari kemarin-kemarin itu,” ucap Jaya.

Berhitung Sebelum Melangkah
Memiliki bisnis telah menjadi keinginan banyak orang muda hari ini. Slogan jadi bos atas diri sendiri terdengar menyenangkan, dan juga menjanjikan masa depan lebih nyaman dibanding selamanya menjadi pekerja atau karyawan di sebuah perusahaan.

Akan tetapi, tak mudah untuk menjalankan sebuah usaha. Ada yang berhasil, namun banyak pula cerita gagalnya. Banyak aral yang harus dihadapi untuk berwirausaha, mulai dari soal mental, strategi hingga modal.

Apa yang kurang pada kasus Jaya di atas, barangkali adalah perhitungan. Dia mengaku baru menyadari kalau usaha kebun hidroponik yang didirikan itu, terpicu karena tren sayur hidroponik yang cukup seksi di masa pandemi. 

Menurut Jaya, tren itu telah menutup matanya, sehingga ia memulai kebun dengan perhitungan yang tidak benar-benar matang.

Pentingnya berhitung di awal, itulah yang menjadi perhatian bagi Gunawan, seorang pekerja milenial lainnya di Jakarta. Gunawan juga punya keinginan untuk memiliki usaha sendiri, agar tak selamanya jadi karyawan. Yang dia pikirkan adalah membuka usaha warung kopi alias warkop.

“Karena berhubungan dengan perut, potensinya menurutku bagus, ya. Tapi memang belum mulai karena rasanya modal belum cukup, di samping aku harus punya strategi yang masuk akal. Skemanya bisa sampingan atau utama jika penghasilannya lebih besar ketimbang pekerjaan tetapku,” ungkap Gunawan membeber bayangannya, saat bercerita kepada Validnews, Senin (8/1) lalu.

Gunawan saat ini masih bekerja, sembari terus mencari celah peluang untuk merealisasikan warkop miliknya. Dia tak punya rencana lain, hanya warkop.

Dia sudah memiliki separuh dari total modal yang dibutuhkan untuk membuka warkop. Tinggal mencari tambahan sebagian lagi agar rencana itu bisa segera terealisasi. Selebihnya, Gunawan telah berhitung dengan menyeluruh, terkait potensi, operasional, hingga kemungkinan tantangan yang akan muncul di usahanya nanti.

Gunawan mengaku telah mempelajari segala hal terkait operasional warkop. Bahkan karena sudah yakin, dia hampir meminjam modal ke pihak bank. Namun itu urung dilakukannya, karena terkendala kurangnya pemahaman soal kredit bank. Juga, dia terkendala syarat untuk meminjam menurut pihak bank yang dituju.

Jika jadi terealisasi, warkop tersebut akan menjadi monumen bisnis pertama bagi Gunawan yang belum pernah punya pengalaman usaha apapun selama ini.

“Sekarang aku masih menghitung-hitung, harus berhati-hati. Pengennya tahun ini bisa segera terealisasi. Tapi aku harus memastikan dulu semuanya ‘matang’. Aku enggak mau juga nekat tapi ternyata bunuh diri. Aku harus mikirin, jika dana yang ada aku gunakan untuk usaha itu, maka bagaimana cara aku bertahan nanti sambil mengembangkan warkop,” sambungnya lagi.

Soal Modal atau Mental?
Dari kasus Jaya, mental agaknya menjadi soal utama. Dia tak punya cukup keberanian untuk bertahan lebih lama, sehingga buru-buru menyerah berusaha. 

Sementara bagi Gunawan, yang baru hendak memulai usaha, modal menjadi soal pertama yang menjadi perhatiannya, sekaligus yang menghambat ia mulai bergerak.

Jadi, modal ataukah mental yang membuat orang-orang muda hari ini sulit untuk sukses menjalankan usaha?

Validnews bertanya kepada business maximiser coach dari Duta Sukses Group, Yudi Candra tentang hal ini. Perspektif pelatih bisnis bisa sangat berguna untuk menilik situasi bisnis secara umum, ataupun menjelaskan faktor-faktor yang menghadang pelaku bisnis, terutama orang-orang muda yang hendak memulai atau merintis usahanya.

Menurut Yudi, modal yang dikira jadi masalah utama oleh banyak orang, sebenarnya hanyalah faktor kesekian dalam menjalankan bisnis. Yang utama adalah mental, berkaitan dengan kemauan seseorang untuk berusaha, dan upaya kerasnya untuk menemukan jalan. Barulah kemudian faktor kemampuan manajemen, modal mengikuti setelahnya.

“Kalau saya bilang, mental instan, itu masalahnya. Banyak yang maunya cepat kaya, kelihatan kayak yang di sosmed. Ibaratnya gini, Anda mau Mc Donald’s 10 cabang. Ya sulit, dong. Kenapa enggak mulai dulu dengan jualan burger keliling atau jualan di depan sekolah? Dari situ, kalau jalan, kan bisa terakumulasi modal,” ungkap Yudi yang biasa disapa Coach Yudi kepada Validnews, Senin (8/1).

Pada kasus Jaya, jika mengikuti sudut pandang Yudi, modal yang besar tak diimbangi dengan kemauan dan kemampuan untuk berusaha yang kuat. 

Seharusnya, Jaya harus bertahan lebih lama, paling tidak dua tahun, untuk mengupayakan ‘merek’ usahanya tersebut, bukannya buru-buru gulung tikar.

Atau pada kasus Gunawan, bisa saja misalnya ia memulai dengan warkop keliling, menggunakan gerobak dorong. Dengan begitu, kebutuhan modal dan risiko pun akan relatif lebih kecil.

“Jangan langsung modal gede, mulai dengan modal kecil, jadi lebih bisa bertahan. Mau bikin coffee shop, misalnya, gerak dulu dengan jualan kopi tubruk dan jual di pinggir jalanan,” kata Yudi.

“Perspektifnya harus benar dulu. Anda mau kaya atau kelihatan kaya? Mau jadi pebisnis atau sekadar kelihatannya jadi pebisnis. Nah, kalau memang benar mau bisnis, ya harus siap melewati prosesnya,” tambahnya.

Senada, pengamat bisnis Kafi Kurnia mengatakan, stamina adalah kunci utama dalam menjalankan bisnis. Bukan besar-kecilnya modal. 

Menurutnya, banyak kegagalan bisnis pada orang-orang muda saat ini akibat kurangnya stamina untuk bertahan dan mengupayakan perkembangan usahanya

“Orang yang sudah mencoba dan gagal, itu kan ada modal, sebenarnya. Yang mereka gagal adalah stamina. Karena mereka tipikalnya pelari 100 meter sprint, mau sukses. Mereka kebanyakan tidak punya stamina untuk maraton,” timpalnya.

Kafi mencontohkan, banyak miliarder global, memulai bisnis mereka dari garasi rumah. Dan faktor stamina dan keuletan membuat mereka akhirnya bisa terus maju, muncul sebagai konglomerat global hari ini.

Contoh Sukses: Modal Setelah Kemauan
Perspektif ideal Coach Yudi maupun Kafi di atas agaknya termanifestasi pada kasus beberapa pelaku usaha lainnya yang juga berbagi cerita kepada Validnews. Salah satunya adalah Indra Adi (27 tahun), sosok yang sukses dengan beberapa jenis usahanya berjalan sekaligus.

Indra yang berdomisili di Bekasi, mengamalkan betul semangat juang yang dimaksudkan Yudi. Ia berwirausaha dengan kemauan besar, menjual dagangannya ke mana-mana tanpa sungkan atau malu, dan juga melewati proses naik-turun usahanya dengan sabar dan telaten.

Indra kini memiliki empat usaha aktif,  yaitu konveksi, laundry, jasa cuci sepatu serta produksi dan jualan parfum. Kesemuanya cuan, mendatangkan pendapatan yang lumayan besar bagi Indra.

Indra dengan empat usahanya hari ini adalah gambaran sukses, atau paling tidak fase keberhasilan awalnya. Namun dia sejatinya juga melewati proses rumit seperti yang dialami Jaya, atau memiliki kecemasan layaknya Gunawan. Namun, semua itu berhasil dilewatinya dengan baik.

“Saya pernah rugi sekitar 48 juta, itu di konveksi. Saya sempat enggak ngapa-ngapain selama seminggu. Tapi ya setelah itu mikir lagi, jalan lagi,” ungkap Indra kepada Validnews, Minggu (7/1) lalu.

Sejalan dengan pemikiran Coach Yudi, Indra juga mengalami langsung kalau modal tak menjadi soal baginya dalam berusaha. Pada usaha konveksi, dia memakai sistem kerja sama dengan vendor, sehingga tak ada modal awal yang harus dikeluarkan karena pembayaran dilakukan setelah pesanan dikirim.

Atau pada usaha laundry, Indra tak mengeluarkan modal untuk membeli segala peralatan termasuk sewa tempat. Usaha itu dia ambil alih dari orang lain, yang merasa kewalahan, dan memercayakan usaha itu untuk diteruskan oleh Indra.

“Dulu saya juga pernah jualan sepatu. Itu modalnya dari teman-teman saya yang jadi investor. Mereka mungkin percaya karena melihat saya sudah jualan macam-macam dari waktu kuliah, jadi dikasih-lah modal. Dan alhamdulillah itu investasi mereka balik dalam enam bulan pertama,” ucap Adi, bercerita tentang salah satu usahanya yang terpaksa gulung tikar di masa pandemi silam.

“Jadi, ya bukan soal modal sih menurut saya. Tergantung kitanya mau usaha apa enggak. Kalau modal bisa dari mana-mana,” tandasnya.

Indra sendiri sudah sangat yakin dengan jalannya sebagai pedagang, pengusaha, pebisnis atau apapun namanya. Kini, berdasarkan pengakuannya, dia juga tengah menjajal peluang ekspor produk turunan kelapa ke luar negeri.

Corak Lain: Bisnis dan Modal Kolektif
“Modal bisa dari mana-mana”, kalimat itu benar adanya bagi Hamzah Muhammad, satu dari tiga pendiri Atelir Ceremai yang bermarkas di Rawamangun, Jakarta Timur. Atelir ini adalah kedai kopi, toko buku, dan ruang temu yang menawarkan tempat bagi penyelenggaraan acara-acara kesenian.

Dimulai sejak 2019, Atelir Ceremai hidup dengan semangat kolektif, dengan modal dari dana tabungan tiga pendirinya. Entitas ini ingin menjadi platform pertemuan bagi banyak orang, pertemuan bagi banyak gagasan dan kreativitas, tak hanya sekadar tempat menyeruput kopi atau membeli buku.

Untuk mewujudkan hal itu, Atelir Ceremai membangun program reguler, dengan memanfaatkan ruang yang ada, untuk menghadirkan berbagai kegiatan seni maupun dialog seni-budaya. Misalnya pameran, diskusi buku, hingga pertunjukan musik.

“Ini sebagai platform. Misi kami itu, mau ciptain ruang-ruang di mana di sana tercipta relasi yang egaliter, di tengah kota Jakarta yang enggak humanis ini,” ungkap Hamzah Muhammad ditemui di lokasi kedai, beberapa waktu lalu.

Meski mengusung misi pemberdayaan kolektif, kini sudah berbentuk yayasan, tetap saja Atelir Ceremai adalah entitas bisnis karena ada perputaran ekonomi dari kedai. 

Sisi bisnis itu dijalankan bersamaan dengan sisi pemberdayaan kolektif tersebut, menarik satu demi satu peminat sastra, seni dari seantero Jakarta untuk bertandang ke kedai tersebut.

Ada pandangan bahwa bisnis dengan semangat gerakan kebudayaan, itu sulit bertahan, karena bukan kombinasi yang sesuai. Akan tetapi, Atelir Ceremai mematahkan itu dengan membuktikan dirinya terus berkembang selama empat tahun terakhir. Bahkan, entitas bisnis yang unik ini bertahan dari pandemi yang meruntuhkan banyak start up.

Menurut Hamzah, Atelir saat ini sudah bisa menghidupkan diri sendiri. Sebagai kedai, dia telah bisa memenuhi gaji para pekerja di dalamnya. Sebagai arena kebudayaan, dia telah dan terus tumbuh menjadi salah satu ‘ruang temu’ penting di Jakarta.

Justru sisi kolektif tadi yang memberi kekuatan terbesar pada Atelir Ceremai hingga bisa bertahan, yang menjadi modal. 

Hamzah dan kawan-kawan memanfaatkan relasi mereka untuk bisa menyediakan buku-buku untuk dijual, tanpa modal awal. Paling tidak, penjualan buku bisa mencatat putaran penjualan sekitar Rp3 juta per bulan, menurut Hamzah. Sedangkan kedai kopi terus beroperasi, menghasilkan pemasukan yang cukup untuk membayar gaji para pekerjanya.

Lalu dari sisi aktivasi ruang, lewat program-program, Atelir mendapatkan banyak dukungan dari ekosistem pelaku seni dan budaya. Kedai ini telah punya ruang tersendiri untuk mengadakan pertunjukan atau kegiatan reguler, lengkap dengan fasilitas sound dan alat musik. Dari situ, Atelir pun bisa mendapatkan pemasukan lewat skema penyewaan ruang maupun alat.

“Ada orang baik, yang mendukung kami dengan meletakkan alat-alat musik dan sound miliknya di Atelir Ceremai. Dia hanya ingin mendukung, terlibat dalam upaya pemberdayaan kolektif,” ucap Hamzah.

Hamzah sendiri mengaku tak menyangka ia dan kawan-kawan di Atelir Ceremai bisa terus bertahan dan berkembang jauh. Dan kini, dia tak berharap muluk, kecuali bisnisnya bisa terus hidup, dan mendatangkan keuntungan bagi ekosistem seni dan budaya. 

Bukan keuntungan dalam bentuk uang semata, tapi yang utama adalah keuntungan kebudayaan, yang ada di benaknya.

Dari kasus Indra dan Hamzah bisa ditilik bahwa modal sejatinya bukan persoalan dalam berwirausaha. Setidaknya, dia bukan masalah utama. Coach Yudi menggarisbawahi, modal adalah faktor ketiga, setelah mental, dan kemampuan manajerial seseorang. Bahkan, jika dua faktor utama sudah terpenuhi, modal bisa didapatkan dengan banyak cara.

Jika ada yang perlu jadi catatan, menurut Coach Yudi adalah kemampuan untuk belajar dari sumber-sumber informasi yang tepat, di tengah banjir informasi era teknologi ini. Di samping itu, pelaku usaha juga dituntut semakin kreatif dan adaptif, seiring makin sengitnya persaingan di dunia usaha, terutama segmen ekonomi digital.

“Tantangannya, bisa enggak sih kalian belajar, bukan hanya dari orang Indonesia, tapi dari orang luar juga. Banjir informasi juga perlu filter kan, agar bisa menyerap yang memang benar-benar relevan. Penting juga untuk terus mencermati dinamika regulasi. Ini stabilisasi regulasi penting untuk ekosistem usaha,” catatnya.

Di sisi lain, Kafi Kurnia menekankan pentingnya peningkatan infrastruktur logistik di Indonesia untuk mendukung tumbuhnya dunia usaha, termasuk usaha-usaha rintisan. 

Menurutnya, Indonesia masih memerlukan banyak pengusaha baru sehingga akan membantu menyerap tenaga kerja, membantu peningkatan ekonomi banyak orang.

Kafi sendiri memiliki sorotan yang menurutnya penting diperhatikan pemerintah terkait penguatan dunia usaha di Indonesia, khususnya terkait usaha rintisan atau usaha kecil dan menengah atau yang lazim disebut UMKM.

Dia mengatakan, di Jepang dibentuk semangat artisan. Penjual sapu sudah tiga generasi, dan apa yang dia buat dianggap sebagai sebuah karya seni. Itu akan memberikan value lebih. Jadi, semangat enterpreneur kita di Indonesia harusnya bertitik tolak di semangat artisan, tak harus terus di level UMKM.

“Indonesia harusnya dibentuklah semangat artisan itu, bahwa produk adalah karya, proses adalah seni, masterpiece, begitu. Batik, harusnya dipandang artisan, jangan dibilang UMKM terus. Perspektifnya, bahwa dia menguasai art-nya. Jadi orang itu memang ahlinya, begitu,” pungkasnya.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar