c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

KULTURA

22 April 2025

20:31 WIB

Optimisme UMKM Dibayangi Dampak Tarif Trump

Tak hanya bagi industri besar, sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) serta Industri Kecil Menengah (IKM) pun tak luput dari dampak domino kebijakan tarif AS.

Penulis: Andesta Herli Wijaya

Editor: Rikando Somba, Rendi Widodo,

<p>Optimisme UMKM Dibayangi Dampak Tarif Trump</p>
<p>Optimisme UMKM Dibayangi Dampak Tarif Trump</p>

Pengunjung mengamati produk UMKM yang dijual saat Pasar Leberan Sleman, Yogyakarta. Antara Foto/Andreas Fitri Atmoko

JAKARTA – Kebijakan tarif impor terbaru dari Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, mengguncang seluruh dunia. Termasuk Indonesia, yang kini berada dalam suasana was-was, meraba-raba kemungkinan nasib perekonomian ke depannya.

Bukan tanpa alasan semua negara di dunia terpengaruh kebijakan Trump. Penetapan tarif impor tinggi oleh negara tersebut, pada akhirnya akan membuat arus perekonomian global mengalami gangguan besar-besaran. Arus ekspor barang-barang yang tadinya diekspor dalam skala besar dari penjuru dunia ke Amerika Serikat, akan berkurang bahkan terhenti.

Indonesia yang saat ini tengah melakukan dialog bersama AS, mendapat tarif sebesar 32% yang disebut sebagai tarif resiprokal atas impor Indonesia ke AS. Tarif ini belum berlaku dan masih dinegosiasikan. Namun, bayang-bayang tekanan terhadap perekonomian nasional sudah sedemikian kuat, salah satunya ditandai dengan pelemahan rupiah terhadap dolar yang hampir mencapai Rp17 ribu.

Kenaikan tarif ekspor Indonesia ke Amerika disinyalir akan berdampak secara luas terhadap perekonomian nasional. Dampak langsungnya tentu saja berkurang atau terhambatnya ekspor produk Indonesia, utamanya produk barang baku, yang akan membuat kondisi industri dalam negeri berada dalam situasi sulit. Ada bayang-bayang penurunan produksi secara signifikan, bahkan ujungnya adalah gelombang pemutusan hubungan kerja, lagi dan lagi.

Tapi tak hanya bagi industri besar, sektor Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) serta Industri Kecil Menengah (IKM) pun tak luput dari dampak domino kebijakan tarif AS. Tak harus mengekspor ke Indonesia untuk merasakan dampak itu, UMKM yang berfokus pada pasar domestik juga akan terimbas efek domino.

Ketua Umum Asosiasi Industri Usaha Mikro, Kecil dan Menengah Indonesia (Akumandiri), Hermawati Setyorinny mengatakan, dampak sampingan dari kebijakan tarif Trump berpotensi meningkatkan limpahan barang impor di Indonesia.

“Tantangan kita justru karena situasinya saat ini kita bersaing dengan produk dari luar negeri, kalau lihat di marketplace itu, beragam banget, banyak banget produk dari luar negeri kan. Ini pemerintah harus ikut andil dalam memproteksi UMKM,” ungkap Hermawati kepada Validnews dalam perbincangan via telepon pada Jumat (18/4) lalu.

Hermawati menguraikan, para pelaku usaha skala kecil dan menengah di Indonesia, khususnya yang tergabung dalam Akumandiri, sejatinya tak banyak mencemaskan kebijakan dagang AS. Meski menyadari ada potensi kebijakan tersebut akan melemahkan industri nasional yang rantai pasoknya juga bersentuhan dengan UMKM, hingga berujung pada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal. Namun begitu, perhatian utama bagi Hermawati justru tertuju pada Indonesia sendiri, terkait proteksi terhadap produk lokal oleh negara. 

Selama ini saja, ketika tak ada tekanan tarif tinggi AS, Indonesia sudah kebanjiran produk impor yang memperberat persaingan pasar dalam negeri.
Maka, ketika negara-negara di berbagai belahan dunia kesulitan mengekspor ke AS, mereka pun akan mencari peluang pasar di negara lain untuk ‘membuang’ produk-produk mereka. Ketika itu terjadi, maka produk-produk dalam negeri pun akan semakin kesulitan bersaing di negeri sendiri.

“Dalam hal ini, yang diperlukan adalah dukungan pemerintah, dalam berbagai bentuknya, termasuk untuk meningkatkan daya saing kita di tengah situasi banjir produk impor di pasar domestik,” ucap Hermawati.

Fokus Pada Pasar Domestik
Indonesia pada dasarnya sangat bergantung pada pertumbuhan ekosistem usaha kecil dan menengah. Faktanya, UMKM menyumbang sekitar 61% untuk PDB nasional (data Kementerian UMKM 2024) atau sekitar Rp9,3 triliun pada 2024, menurut data Kementerian UMKM.

Namun, UMKM terus diterpa badai krisis dari waktu ke waktu. Belum selesai dampak pelemahan industri tekstil, kini UMKM-UMKM Indonesia pun dihadapkan pada bayang peningkatan persaingan pasar. UMKM yang selama ini sebagian besarnya berfokus pada pasar domestik, tertekan terus-terusan karena harus ‘bertarung’ bebas dengan produk-produk impor, utamanya produk China yang terkenal tangguh bermain di ranah harga.

Ketua Indonesia Pengusaha Konveksi Berkarya (IPKB) Jawa Barat, Nandi Herdiaman mengemukakan hal senada dengan Hermawati. Perhatian utama Nandi tertuju pada persaingan produk lokal dengan produk-produk China yang selama ini membanjiri pasar Indonesia tanpa adanya proteksi dari pemerintah untuk produk lokal. Dia menyoroti Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor, yang menurutnya memberi peluang terbuka bagi produk China untuk ‘menggasak’ pasar Indonesia. Konteks Nandi adalah pada ketiadaan regulasi yang memproteksi produk pakaian jadi, dengan kata lain negara membiarkan produk pakaian jadi dari luar negeri masuk ke Indonesia.

“Ketika tarif itu (tarif AS) dinaikkan, berarti China ini akan mencari pasar baru gitu kan apalagi sekarang Indonesia kan termasuk pasar yang baik, maksudnya market yang baik dan akan menjadi tujuan gitu bagi negara-negara yang memang kena tarif pajak AS, mereka pasti akan mencari ke negara lain, khusus negara kita,” ucap Nandi kepada Validnews, Sabtu (19/4).

Nandi menambahkan, UMKM-UMKM, khususnya IKM tekstil di Indonesia, sejatinya tak memiliki urgensi untuk mengekspor produk mereka ke luar negeri, termasuk ke AS. Pasalnya, pasar Indonesia sendiri sudah sangat besar. Tinggal lagi, bagaimana pasar itu seharusnya diregulasi oleh pemerintah, dengan kebijakan-kebijakan yang mengutamakan pertumbuhan UMKM.

Jika diregulasi dengan baik, lanjut Nandi, maka pasar dalam negeri dengan 280 juta jiwa sebagai konsumen potensial, itu saja sudah lebih dari cukup untuk membuat UMKM-UMKM tumbuh. Dengan begitu, UMKM pun secara tidak langsung akan mengerek daya beli masyarakat karena mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang tinggi.

“Sebetulnya kalau untuk ekspor bagi kami para pelaku IKM tidak terlalu banyak walaupun memang mungkin ada hitungannya, tapi bisa dihitung lah, jadi lebih ke domestik” tutur Nandi.

“Jadi kalau tidak segera mengambil langkah, pemerintah tidak mengambil langkah strategis, ini kami ini kejatuhan  dua kali akhirnya. Sudah jatuh karena hilangnya proteksi pada Permendag 8, sekarang ketiban lagi dampak perang Amerika dan China,” beber Nandi sembari menggambarkan banyaknya pelaku usaha tekstil yang ‘berjatuhan’ dalam setahun terakhir.

Sekretaris Jenderal Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo)  Edy Misero, menguraikan lebih lanjut. Dia mempertegas bahwa keberpihakan pemerintah sangat diperlukan untuk memperkuat UMKM. Di samping itu, diperlukan pula keberpihakan dari masyarakat Indonesia sendiri, untuk mendukung ekosistem usaha dalam negeri dengan membeli produk-produk lokal.

Tapi di sisi lainnya, Edy juga menekankan perlunya UMKM-UMKM untuk terus berinovasi untuk menciptakan produk terbaiknya. Sebab sebaik apapun pasar diregulasi, setinggi apapun apresiasi pemerintah dan masyarakat terhadap produk lokal, tak berarti jika produk-produk lokal itu sendiri tak bisa menawarkan nilai yang kuat.

“Ini bagi pelaku UMKM-nya sendiri. Jangan membuat produk seadanya aja. Kalau mungkin, kalau dimungkinkan, dan harus, produknya itu pun harus mampu bersaing dari sisi kualitas dan harga dengan produk-produk luar,” tutur Edy.

Perspektif Kompetisi
Sudut pandang dalam melihat isu persaingan produk UMKM dengan produk-produk impor di pasar domestik berbeda antara para pelaku UMKM dengan pengamat ekonomi dan bisnis. Pengajar Universitas Prasetiya Mulya, Chief Economist of Center for Market Education (CME), Alvin Desfiandi mengatakan, persoalan itu perlu dilihat dari kacamata kompetisi.

Meski tak menampik perlunya dukungan dan proteksi negara terhadap produk-produk lokal, Alvin menyoroti urgensi UMKM untuk berinovasi dengan produknya. Harus diingat, di pasar, semuanya adalah soal kompetisi. Dalam hal ini produk-produk UMKM pun perlu memberi nilai yang kuat terhadap konsumennya, dalam hal ini masyarakat Indonesia.

“Nah, itu juga sebenarnya perlu dilihat dari kacamata kompetisi, gitu. Kompetisi antar usaha atau kita bicara mengenai produk, gitu. Nah, memang ini akan akan menjadi ancaman. Apalagi kita bicara China, kita ngomongin soal harga, ya. Relatif kita kalah lah, karena mereka menang di skala ekonomis, segala macam,” ungkap Alvin dalam perbincangan pada Selasa (22/4).

“Tapi justru di sini saya ingin menekankan juga dari sisi positif yang adalah ini bisa menjadi momentum bagi para UMKM untuk meningkatkan apa namanya daya saingnya, gitu. Nah, daya saing ini nggak harus bicara soal harga, gitu kan. Nggak harus soal mana yang lebih murah, gitu kan. Tapi apa, bisa juga ditutupi oleh kualitas,” imbuhnya.

Selain itu, terkait dampak dari perang tarif AS dan China, Alvin menyoroti potensi dampak lainnya, yaitu pada aspek produksi UMKM-UMKM Indonesia yang sebagiannya juga masih banyak menggunakan bahan-bahan baku  impor. Terang, ini akan menambah tekanan bagi UMKM di tengah ketidakpastian pasar saat ini.

Potensi tekanan bagi UMKM, menurut Alvin juga datang dari situasi pelemahan daya beli, terlebih jika nantinya ekonomi Indonesia secara luas terdampak signifikan oleh dinamika politik ekonomi AS-China. Menurutnya, ini juga harus diantisipasi oleh para pelaku UMKM, balik lagi dengan berfokus pada inovasi dalam segi kualitas produk, sehingga bisa mempertahankan, bahkan memperluas segmen pasarnya.

“Ketika konsumsi turun, ini akan mempengaruhi juga UMKM, yang pasti secara negatif, gitu. Jadi memang ini pasti sesuatu yang akan datang, gitu ya. Maka penting bagi UMKM ini, untuk memang mempersiapkan skenario, di samping juga mencari peluang pasar yang baru, kayak contoh, ekspor ke luar, ke berbagai negara, gitu,” tambahnya.

Nilai Produk dan Optimalisasi Digital
Perhatian para penggerak asosiasi hingga akademisi bidang ekonomi tampaknya sejalan pula dengan perhatian para pelaku UMKM di tanah air. Para pelaku usaha banyak yang menyimpan kekhawatiran atas ketidakpastian ekonomi hingga daya beli masyarakat. Namun begitu, tetap ada nada optimis.

Juwairiyyah, pemilik brand Kakha Series yang berfokus di segmen pakaian muslim untuk anak dan keluarga, mengungkapkan kepada Validnews bahwa pasar di Indonesia sejatinya masih sangat tinggi, meski ada pelemahan daya beli. Pasar itu menurutnya perlu digarap dengan serius oleh para pelaku UMKM, termasuk agar bisa berdaya di tengah gempuran produk impor.

“Kakha saat ini masih fokus dalam menggarap pasar domestik. Tujuannya adalah agar kita menjadi tuan rumah di negeri sendiri sehingga market yang sangat potensial ini tidak dikuasai oleh China. Meskipun begitu, ketertarikan atas produk Kakha dari konsumen-konsumen di negara tetangga juga cukup tinggi, khususnya dari negara Brunei, Malaysia, Singapura, dan Hongkong,” ucap Juwairiyyah pada Sabtu (19/4) lalu.

Untuk bertahan dan bertumbuh dengan pasar domestik, menurut Juwairiyyah, dibutuhkan idealisme yang tegas dari para pemilik brand. Idealisme yang dimaksud adalah terkait visi untuk mengedepankan kualitas, demi menjaga kepercayaan konsumen terhadap brand. Dengan begitu, produk-produk lokal bisa menjaga loyalitas konsumennya.

“Agar bisa bersaing dengan produk China, yang bisa kita lakukan adalah membangun brand yg kuat agar konsumen tetap loyal terhadap Kakha ditengah gempuran pakaian impor China yg berserakan di dalam negeri.

“Proteksi pemerintah pasti juga dibutuhkan ya, justru itu pertahanan pertama untuk menahan gempuran produk impor,” tambah perempuan 33 tahun lulusan jurusan Digital Business & Innovation dari kampus Lancaster University, Inggris itu.

Juwai menyadari adanya bayang-bayang penurunan daya beli masyarakat belakangan ini. Namun dia optimis dengan situasi pasar kedepannya, karena menurutnya Kakha sendiri telah memiliki pengalaman bertahan di situasi sulit saat pandemi. Dia juga percaya, brand-nya itu juga telah memiliki segmen konsumen yang loyal.

Melengkapi perspektif dari Kakha Series, Validnews juga berbincang dengan Rizky Prihani Azhar, pemilik brand fesyen Gamaleea yang menekankan pentingnya konsistensi dalam membangun citra merek sekaligus juga membangun segmen pasar. Pemanfaatan teknologi digital secara optimal, menjadi sangat penting bagi brand hari ini menjaga daya saingnya di tengah persaingan pasar yang menantang.

Rizky mengakui adanya penurunan daya beli sejak beberapa waktu terakhir, yang diyakininya dipengaruhi dinamika perekonomian nasional dan global. Namun hal itu menurutnya tak menjadi masalah selama brand-brand lokal dikelola dengan visi yang baik,  termasuk mempertahankan kualitas produk serta pemasaran lewat ekosistem digital.

“Apalagi secara niche Gamaleea menyasar ke market modest fashion sarimbit keluarga, yang memang penjualan tertingginya itu di saat momen Lebaran (festive). Tapi karena setiap hari aktivitas sales & marketing tetap kami lakukan, penjualan bisa tetap terjadi walaupun diluar moment Lebaran tersebut,” tutur Rizky.

Rizky pun memandang persaingan produk lokal dengan produk luar negeri sebagai kompetisi. Dan perhatiannya selaku pemilik brand, adalah berupaya untuk terus bisa bersaing secara setara, sembari terus mencari celah pasar baru, termasuk misalnya dengan sering mengikuti bazar-bazar pakaian.

“Kami yakin dengan menjaga eksistensi brand, dan secara aktif mengeluarkan produk yang berkualitas dengan harga yang sepadan, kita tetap bisa mempertahankan eksistensi brand Gamaleea ini,” imbuhnya lagi.

Di sisi lain, Rizky tetap menilai ketegasan pemerintah terkait pembatasan barang impor itu amat perlu. Agar produk lokal bisa tumbuh lebih baik lagi di pasar domestik.

Optimalisasi pemanfaatan digital juga ditekankan oleh Edy Misero dari Akumindo. Dia mengatakan, di era ini, tidak ada pilihan lain bagi para pelaku UMKM untuk berkembang dengan teknologi digital, untuk bersiasat di era berdagang digital. “Kalau kita tidak mau belajar tentang digital, kita akan kolaps, kita akan ambruk. Jadi mau tidak mau, kalau kita mau survive, lakukan dan harus masuk di era digital,” tambah Edy.

Melirik Pasar Mancanegara
Edy Misero dari Akumindo dan pengamat ekonomi-bisnis Alvin Desfiandi sama-sama melihat polemik tarif AS sebagai momentum yang  bisa berdampak positif. Momentum ini menurut mereka bisa mendorong produk Indonesia untuk menjangkau pasar mancanegara yang lebih beragam, membuka pasar-pasar baru yang tak hanya terpaku pada pasar Amerika Serikat.

“Jadi ini juga bisa jadi peluang, untuk mencari segmen pasar yang baru. Tapi memang ini tidak bisa dilakukan dalam semalam, memang butuh proses. Di sini juga diperlukan peran pemerintah untuk memfasilitasi, menjembatani itu,” tutur Alvin.

Sementara itu Edy Misero menyebutkan, tarif impor AS yang kini menjadi perhatian semua pihak, sepenuhnya adalah hak kebijakan negara tersebut. Hal itu harusnya tidak direspon dengan reaktif oleh negara-negara lain, namun fokus pada upaya untuk menjaga daya produk dalam negeri masing-masing.

Bahkan jika Amerika Serikat menetapkan tarif impor selangit pun, menurut Edy, belum menjadi ‘kiamat’ karena ada banyak negara lain yang bisa dilirik sebagai tujuan ekspor, termasuk bagi produk-produk Indonesia.

“Jadi solusinya adalah atase-atase perdagangan Indonesia di semua negara, termasuk Amerika, harus lebih bekerja keras. Jadi kalaupun misalnya omsetnya menurun ke Amerika, bisa negara-negara lain menerimanya,” ujar Edy.

Dalam konteks ini, sejatinya sudah banyak pula UMKM Indonesia yang membaca peluang ekspansi pasar ke luar negeri. Carisouvenir, misalnya, merek toko souvenir yang melibatkn para produsen dari berbagai daerah di Indonesia, justru mampu menjangkau pasar mancanegara dengan cara organik.

Validnews berbincang dengan Carisouvenir, via pesan Whatsapp, beberapa waktu lalu. Lewat admin toko bernama Zara, didapatkan informasi bahwa merek ini, yang bekerjasama dengan banyak produsen lokal, telah banyak melakukan penjualan untuk reseller-reseller mancanegara. Tak melalui jalur eksportir kakap,  justru produk berbasis karya kreatif Indonesia bisa menjangkau pasar luar negeri dengan cara membangun jaringan pembeli secara organik di luar negeri.

Belum lagi, banyak pula produk Carisouvenir diburu oleh para turis yang datang ke Indonesia, untuk dibawa pula ke negara asal mereka sebagai oleh-oleh.

Kakha Series milik Juwairiyyah pun sebenarnya juga telah menjangkau membangun basis pembeli di mancanegara, lewat interaksi-interaksi promosi digital mereka. Kini, jenama lokal ini tengah mempertimbangkan untuk membuka gudang di negara-negara Asia Tenggara, seperti Malaysia, Brunei Darusaalam hingga Hong Kong.

Ditambahkan Edy Misero, selain Amerika Serikat, Indonesia memiliki peluang besar untuk menjajal pasar di kawasan Asia, Afrika hingga Eropa. Dalam hal ini dia menekankan bahwa UMKM Indonesia sejatinya tak kekurangan pasar. Tinggal lagi, bagaimana cara para pelaku UMKM, disokong negara, mengoptimalkan peluang tersebut. “Pasar Afrika itu adalah potensi masa depan. Timur Tengah potensi masa depan. Kenapa Timur Tengah? Karena apalagi kalau dengan produk kita sudah ada sertifikasi halal. Begitu ada sertifikasi halal, berarti mereka akan menerima dengan lebih baik,” kata Edy.

“Nah yang utamanya domestik. Potensi masyarakat Indonesia sendiri, 285 juta ini, kenapa mesti diambil sama negara lain,” pungkasnya.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar