17 Juli 2024
19:42 WIB
Nyi Tjondrolukito, Legenda Sinden Indonesia
Tembang-tembang yang dilantunkan Nyi Tjondrolukito sarat akan petuah dan nilai-nilai kehidupan sesuai ajaran falsafah Jawa. Sebagai sinden, dia menjadi teladan.
Penulis: Andesta Herli Wijaya
Editor: Satrio Wicaksono
Foto berwarna Nyi Tjondrolukito mengenakan kebaya motif warna merah dan memakai kacamata. Dok Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Daerah Kabupaten Sleman.
Nada-nada lembut mendambakan hidup murni, tulis dan kalis dari dosa.
Seperti bunyi suling, gender dan rebab yang menyentuh sanubari.
Kesepian harus diterima sebagai nasib yang tersurat. Biduan menghimbau
aku: Ya mas, ya mas, ingat, ya mas.
Aku yang gelisah terguncang dari kenanaran. Bukankah hanya manusia susila yang selamat sampai ke sorga?
Condrolukito! Jangan terus dendangkan Gending ‘megatruh’.
Karena tak tahan malu aku tutup telingaku.
Petikan puisi di atas, merupakan karya penyair Subagio Sastrowardoyo, “Motif II” (Simfoni Dua, 1990). Sang penyair menumpahkan segenap kegelisahan hati dan pikirannya, bertutur lewat banyak anasir, membicarakan banyak hal dan subjek. Salah satu yang disebutnya yaitu Nyi Tjondrolukito, pesinden legendaris Indonesia.
Gejolak rasa sepi, hasrat berontak serta pencarian jati diri, diasosiasikan dengan alunan tembang Nyi Tjondrolukito. Nada-nada mengalun sayup, ditingkahi suara merdu sinden yang membawakan lagu berbahasa Jawa, kadang lirih, kadang menyentak meninggi. Musik itu, menajamkan pengalaman batin seorang penyair kenamaan Indonesia.
Tak hanya Subagio seorang yang dihanyutkan oleh nyanyian Nyi Tjondrolukito, tapi banyak juga yang lainnya. Penyair, pelukis, pedagang, buruh, pegawai pemerintahan hingga pejabat negara pun, tak luput dari ‘magis’ tembang Nyi Tjondrolukito. Bahkan Presiden Indonesia, Sukarno sampai Suharto, disebutkan sering menyesapi tembang-tembang lirih Nyi Tjondrolukito.
Akan tetapi, cara presiden tentunya berbeda dengan cara penyair. Jika Subagio hanya bisa menikmati gending dan nyanyian Nyi Tjondroukito dari kaset atau mungkin radio, dua presiden pertama Indonesia itu memiliki keleluasaan untuk mendatangkan langsung si pesinden ke hadapan mereka.
Kala itu, sudah umum publik melihat, Nyi Tjondrolukito sering bolak-balik ke Istana Negara untuk membawakan tembang khusus untuk presiden, atau presiden dengan para tamunya.
Begitulah jalan sinden membesarkan nama Nyi Tjondrolukito. Seorang perempuan yang dulunya hanya gadis desa di Sleman Yogyakarta, menjadi seorang ‘sinden negara’.
Nyi Tjondrolukito mungkin tak dikenal luas di skena musik populer hari ini. Namun, orang-orang dalam dunia seni karawitan tahu persis siapa sosoknya. Dia adalah maestro bagi seni karawitan Indonesia, sosok yang telah memperkaya musik dan tembang Jawa, lewat ratusan tembang yang digubah dan dinyanyikannya.
Jadi, bisa dibilang, Nyi Tjondrolukito adalah legenda sekaligus pionir persindenan Indonesia pascakemerdekaan. Dia membawa tembang-tembang Jawa menjadi hiburan populer baik di pertunjukan langsung, menembang di radio atau melalui kaset. Tembang-tembangnya menyentuh semua kalangan, dari orang-orang kecil hingga pemimpin negara.
Beberpa tembangnya yang popular di antaranya “Uler Kembang Kutut Manggung” hingga “Palaran Dhandanggula”, menjadi tembang yang setia menemani orang-orang beraktivitas setiap harinya. Termasuk menemani penyair seperti Subagio Sastrowardoyo dalam mencipta sajak, hingga menemani pemimpin negara merefleksikan diri, negara dan kekuasaannya.
Tembang-tembangnya yang bertutur tentang manusia, gairah, laku hidup, alam dan pencipta, merawat rasa bagi orang-orang yang mendengarkannya, sekalipun bagi para pendengar yang tak pandai bahasa Jawa. Nyi Tjondrolukito adalah diva musik karawitan Indonesia. Bukan sembarang diva, tapi yang namanya memang abadi, bahkan dikenang sebagai nama salah satu ruas jalan di Yogyakarta.
Sepanjang berkiprah, sebagaimana dicatat dalam Ensiklopedi Tokoh Kebudayaan terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1994, Nyi Tjondrolukito telah menghasilkan karya meliputi lebih dari 200 rekaman kaset dan piringan hitam.
Peruntungan Gadis Bernama Turah
Lahir di Desa Pogung, Sleman Yogyakarta, pada 25 April 1920, Tjondrolukito dulunya adalah seorang gadis belia bernama Turah. Ayahnya, Prawirodimedjo, memberikan nama itu karena merasa bersyukur, sebab kehadiran anak itu membuat keluarga mereka terasa ‘berlebih’, tak kurang.
Turah gemar bernyanyi sedari kecil. Setamat Sekolah Dasar, ayahnya tak mampu menyekolahkannya ke tingkat lebih lanjut. Akhirnya, Turah hanya mendapat penghiburan di rumah, sembari diajak menyanyi oleh ayahnya yang kebetulan menguasai beberapa tembang Jawa.
Sang ayah mencoba melipur kesedihan putrinya karena tak bisa bersekolah, dengan menjanjikan kesuksesan seorang penyanyi. Dia berkata kepada Turah, bahwa orang yang bernyanyi dan menari untuk menghibur orang, akan disayang dan disanjung orang.
Begitulah kisah awal Turah gemar bernyanyi. Karena kegemarannya inilah, ia sering diminta untuk menjaga adiknya sekaligus menghiburnya dengan nyanyian apabila sang adik kumat rewelnya. Siapa menyangka, Turah di masa itu sebenarnya sedang berlatih menjadi sinden, membawakan tembang-tembang seperti “Kinanti”, “Telulak” sampai “Dangdanggula”.
Peruntungan baik untuk Turah terjadi pada suatu hari, ketika seorang lurah sedang berburu di hutan dekat rumahnya. Sang lurah mendengar Turah menembang begitu indahnya, begitu merdunya, hingga jatuh hati pada suara emas tersebut. Maka dia menyarankan agar Turah mulai diberi latihan menyanyi secara serius.
Mula-mula Turah dibawa berlatih di Joyodipuran. Tapi hanya beberapa hari, peruntungan lagi-lagi mengubah hidupnya. Keelokan suaranya membuat dia akhirnya dibawa ke Kepatihan oleh Pangeran Haryo Danurejo, dan diberi nama baru yaitu Penilaras. Sejak dari sinilah nama Penilaras dikenal luas.
Penilaras mulai banyak terlibat dalam berbagai perkumpulan serta mengikuti berbagai lomba. Ada banyak piala yang dimenangkannya dari berbagai lomba menembang di wilayah Yogyakarta.
Sampai ketika berusia 18 tahun, Patih Danureja, sosok di mana Penilaras mengabdi, meninggal dunia. Penilaras akhirnya dibawa ikut ke Keraton Yogyakarta oleh Kanjeng Sultan Hamengkubuwono VIII.
Di sini, dia mendapat nama baru, Padasih, sekaligus mendapatkan jodoh, yaitu Romo Tjondrolukito yang merupakan seorang bangsawan ahli seni tari Jawa. Sejak menikah pada 1937, gadis Turah dari Sleman menjelma menjadi Nyi Tjondrolukito.

Dari RRI Hingga Istana
Nyi Tjondrolukito telah mendapat popularitas di Yogyakarta sejak menyandang nama Padasih. Dia aktif membawakan tembang-tembang Jawa di radio pemerintah Belanda, sebelum krisis perpindahan kekuasaan ke Jepang.
Pada masa itu, Nyi Tjondrolukito juga rutin mengisi pertunjukan-pertunjukan wayang atau gamelan, termasuk pertunjukan di kraton. Tapi semua itu ditinggalkannya karena harus pindah ke Jakarta. Suaminya, Romo Tjondrolukito mendapat tugas mengajar seni di Pusat Gabungan Kebudayaan Jakarta yang ketika itu bermarkas di Cikini.
Perpindahan itu nyatanya membawa Nyi Tjondrolukito ke skena musik lebih luas. Dia resmi bergabung dengan Radio Republik Indonesia pada 1955 sebagai pengisi tetap siaran kesenian Jawa. Banyak orang kagum akan suara Nyi Tjondrolukito di radio, membuat namanya semakin dikenal di seluruh Indonesia.
Bisa dikatakan, kualitas penampilan Nyi Tjondrolukito terbentuk dari perpaduan suara yang memikat, serta dengan citranya yang selalu terlihat cantik dan berpakaian rapi khas wanita Jawa terhormat.
Dari industri media, perjalanan Nyi Tjondrolukito berlanjut hingga ke dapur rekaman. Satu-persatu album tembang dirilis di bawah label-label besar seperti Fajar Record, P2SC Record hingga Samudera Record. Beberapa albumnya seperti Wedaring Tiyas (1975), Sinom Logondang (1978), Pangkul Moncowarno (1975), hingga Kutut Manggung (1975).
Kiprah sebagai penembang membuat nama Nyi Tjondrolukito begitu terkenal, ditambah perannya sebagai sinden dalam banyak pertunjukan wayang golek di Yogyakarta maupun Jakarta. Namanya pun sampai ke telinga Presiden Sukarno.
Sukarno yang dikenal punya perhatian besar pada seni tradisi, menjadikan Nyi Tjondrolukito sebagai pesinden Istana, sebagaimana dicatat Rafngi Mufidah dalam skripsinya “Menjadi Penyanyi Istana Negara: Nyi Tjondrolukito, Titiek Puspa dan Waldjinah (1920-1970an)” di Universitas Diponegoro, 2017.
Rafngi mengatakan, Nyi Tjondrolukito sering tampil di Istana Negara untuk mengiringi pagelaran wayang kulit purwa, adalah penyanyi yang terhitung paling awal berkiprah di Istana Negara.
Dari Sukarno, kiprah Nyi Tjondrolukito pun berlanjut hingga era Suharto yang juga kental dengan budaya Jawa. Nyi Tjondrolukito bolak-balik ke Istana Negara untuk menembang bersama grup-grup wayang ataupun tampil menembang sendiri.
Nyi Tjondrolukito yang telah tenar, pernah sekali waktu datang secara khusus ke Istana Negara dalam momentum ulang tahun Suharto, sekira tahun 80-an. Dia membawakan tembang-tembang yang mengalun lembut, mengiringi sesi perayaan dan momentum kekeluargaan sang presiden.
Tak hanya Sukarno dan Suharto, Nyi Tjondrolukito juga pernah tampil atas undangan Muhammad Hatta. Dia diundang untuk mengiringi penampilan wayang kulit dalam hajat perkawinan putra Hatta.
Di Balik Nyanyian, Ada Nilai dan Rasa
Konon, ada cerita menarik tentang Sukarno dan Nyi Tjondrolukito. Suatu ketika, saat Sukarno menerima tamu-tamu negara dari luar negeri, Nyi Tjondrolukito diminta untuk tampil dengan kelompok karawitan. Namun, dia menolak tampil.
Sukarno mula-mula marah, namun kemudian dia pun sadar ada yang salah. Pangkal masalahnya adalah soal panggung. Nyi Tjondrolukito seorang penganut pakem dan adat murni karawitan, sehingga hanya bersedia pentas di atas panggung dan hadirin tidak duduk di kursi atau berdiri.
Bung Karno ketika itu mengerti, karena hal itu merupakan salah satu usaha Nyi Tjondro untuk menjunjung kebudayaan bangsa.
Cerita tentang “kerewelan” Nyi Tjondrolukito itu adalah salah satu wujud dari prinsip hidup dan berkesenian yang dia jalani. Sebagai seorang pesinden yang tumbuh dalam lingkup tradisi Jawa yang kuat, Nyi Tjondrolukito mengamalkan banyak nilai-nilai budayanya.
Nyi Tjondrolukito menjadikan tembang tak hanya sekadar lagu atau nyanyian, namun juga sebagai panduan dan refleksi kehidupan. Syair-syair tembang yang dibawakannya, mengajarkan tentang kehalusan rasa dan budi, keindahan, keikhlasan dan juga ketenangan batin.
Nilai-nilai itu tetap ada, baik di atas panggung maupun dalam kesehariannya. Di atas panggung, Nyi Tjondrolukito menempatkan dirinya sebagai teladan bagi dunia sinden, dengan menjalankan pakem-pakem pertunjukan seni yang ada, tanpa kehilangan sentuhan hiburannya.
Karena itu, nama Nyi Tjondrolukito umumnya dikenang sebagai sumber teladan bagi para pesinden generasi setelahnya di Indonesia. Usman Mansur dalam buku Traditional and Ethnic Music in Indonesia terbitan Museum Musik Indonesia tahun 2021 menuliskan, Nyi Tjondrolukito telah menjadi panutan bagi seluruh penyanyi Jawa, terutama penyanyi dalam pertunjukan wayang kulit.
Sepanjang hidupnya, Nyi Tjondrlukito selalu menjaga nama baik para sinden. Ia mengembalikan peran sinden sebagai seniman sejati dan mengabdikan seluruh hidupnya untuk menghidupkan seni musik.
Ia meyakini betul, kehidupan panggung terikat pula dengan kehidupan di balik panggung. Inilah yang dikatakannya sbagai salah satu resep untuk mempertahankan kehalusan suaranya, yaitu kepribadian yang halus pula.]
Sementara dalam kehidupannya, Nyi Tjondrolukito selalu berusaha mengamalkan nilai-nilai luhur seperti yang dipesankan melalui tembang-tembangnya. Dia adalah manusia yang menginginkan keindahan dan hal-hal yang memberinya ketentraman batin. Kepekaan rasa kemudian memberi kepekaan pada nada.
Tak ada kata marah dalam hidup Nyi Tjondrolukito, hanya selalu sabar, ikhlas dan tawakal. Dia meyakini kemarahan dapat merusak jasmani yang dianugrahkan oleh Tuhan.
Begitulan kualitas yang dipertahankan oleh Nyi Tjondrolukito. Hingga usia lanjut, suaranya tetap bersih dan memikat pendengar, kualitas yang menurutnya adalah berkat dari keseimbangan tata susila kehidupannya yang diasah oleh harmoni seperangkat gamelan Jawa.
Nyi Tjondrolukito pensiun dari RRI tahun 1981. Namun, dia tak berhenti berkesenian. Dia membuka pelatihan seni di rumahnya di Jalan Setiabudi, Jakarta untuk mengajarkan seni karawitan dan kesenian Jawa kepada banyak orang, khususnya bagi generasi muda.
Kiprah Nyi Tjondrolukito membuatnya diganjar banyak penghargaan, mulai penghargaan dari Gubernur Yogyakarta, Gubernur Jakarta Ali Sadikin, hingga dianugerahkan Bintang Seni oleh Suharto pada 1987. Nyi Tjondrolukito juga dianugerahi Satya Lencana Kebudayaan pada tahun 2002, lima tahun berselang setelah kematiannya pada November 1997.