14 Juli 2022
11:58 WIB
Penulis: Andesta Herli Wijaya
Editor: Rendi Widodo
JAKARTA - Setelah sebelumnya merilis single "Wijayakusuma", solois Ardhito Pramono akhirnya resmi merilis album penuhnya yang bertajuk senada.
Album yang dirilis di bawah Aksara Records ini menjadi kumpulan karya keenam dari Ardhito setelah lima mini album yang telah ia luncurkan sebelum ini.
Album “Wijayakusuma” menjadi persembahan spesial dari Ardhito yang selama ini karyanya pekat dengan nuansa jazz dan berorientasi pada musik Amerika.
Tampil berbeda, Ardhito membungkus lagu-lagu dalam “Wijayakusuma” dengan musik pop yang lebih membumi, lebih terasa Indonesia.
Ardhito sendiri mengatakan, album seperti ini merupakan persembahan yang sulit dan akan langka dalam perjalanan karier bermusiknya.
Mengeksplorasi musik yang kental dengan elemen nusantara, lalu bernyanyi dalam gaya melodius khas penyanyi-penyanyi pop-jazz lama, album ini menampilkan Ardhito yang belum pernah tampak sebelumnya.
“Sepertinya album ini menjadi album yang 30 tahun sekali gue rilis. Karena sejujurnya gue tidak tahu kapan gue bisa membuat lagu-lagu seperti ini lagi. Kesempatannya cuma sekali dalam 30 tahun. Seperti kebetulan yang terjadi ketika orang sedang bermain jazz, kebetulan itu tidak akan terulang kembali,” ungkap Ardhito dalam keterangan persnya, Kamis (14/7).
Jika di karya-karya Ardhito sebelumnya terpancar energi crooner ala Sinatra, Crosby, hingga Bennett, album ini justru pekat akan kualitas pop Indonesia periode empat hingga lima dekade silam. “Wijayakusuma” seolah cerminan eksperimen Margie Segers, Chrisye, Rafika Duri, hingga, Utha Likumahuwa yang berpadu. Ia berada di spektrum pop dengan kekayaan ala chamber, autentik milik Indonesiana, juga sarat alun selayaknya jazz.
Musikalitas itu disempurnakan dengan lirik-lirik yang khas lagu-lagu dari dekade 80-an, yang pekat dengan kesan puitis. Seperti Chrisye dengan lirik seperti ‘sabda alam’ hingga ‘rintihan nada asmara’, begitu pula Ardhito membangun lirik lagu-lagu di album ini.
Ardhito menulis lirik-liriknya dengan padanan aksara Indonesia yang beragam. Single pertama yang berjudul sama dengan nama album, “Wijayakusuma”, memuat pilihan kata yang jarang digunakan, dipadu dengan bahasa Jawa yang dinyanyikan oleh pelaku macapat bernama Peni Candra Rini. Ia memakai frasa seperti “Berdikari” “Daun Surgawi” hingga “Asmara”.
Menurut sang penyanyi, album ini adalah ungkapan keresahan, penyesalan, keindahan dan hal-hal yang terjadi pada dirinya di beberapa tahun belakangan. Lewat album ini, Ardhito ingin melampiaskan dan memotret berbagai kejadian yang pernah terjadi dan memengaruhi jalan hidupnya.
Lebih lanjut, tentang gaya bahasa lirik yang jauh berbeda dengan lagu-lagunya selama ini, Ardhito juga memunyai alasan tersendiri. Sejak dikenal pada 2013, repertoar musik musisi satu ini berada di seputaran pop/jazz dengan nyanyian lirik bahasa Inggris.
Kini untuk pertama kalinya, lewat delapan lagu dalam Wijayakusuma, Ardhito melahirkan karya dengan sentuhan Indonesia sebagai dasar utamanya.
“Gue melihat banyak sekali dampak kurang baik dari karya gue selama ini yang menggunakan bahasa Inggris. Misalnya, teman-teman musisi baru yang akhirnya ikut memilih menggunakan bahasa Inggris dalam karyanya. Gue tidak ingin bahasa kita lenyap digantikan oleh bahasa asing dalam sebuah pengkaryaan,” terang Ardhito.
Daftar lagu dalam album “Wijayakusuma” yaitu “Mula”, “Wijayakusuma”, “Kesan Pertama”, “Berdikari”, “Daun Surgawi”, “Rasa-rasanya”, “Jam”, dan “Asmara”. Lagu-lagu tersebut saat ini sudah tersedia di berbagai platform musik digital.
Ardhito tak sendiri di sini. Penciptaan lagu-lagu tersebut turut melibatkan sejumlah sahabat, di antaranya Narpati ‘Oomleo’ Awangga yang juga menulis beberapa lirik, juga produser Gusti Irwan Wibowo, Erikson Jayanto, dan Hezky Y.H. Nainggolan.