18 Maret 2023
15:41 WIB
Penulis: Andesta Herli Wijaya
Editor: Rendi Widodo
JAKARTA - Panggung Ciputra Artpreneur, Jakarta, Jumat (17/3) malam, dibalut cahaya merah. Merah yang seperti darah. Seperti darah Ken Arok yang dibunuh oleh anaknya, Tohjaya yang merasa putus asa. Darah kembali tertumpah, sebagaimana lazim terjadi dalam setiap masa pergeseran tampuk kekuasaan di zaman para raja.
Tohjaya membunuh atas nama kesedihan ibunya, Ken Umang yang dilupakan. Seorang perempuan yang menanggung pilu sebab suaminya tergila-gila pada wanita lain pemilik kecantikan sempurna, Ken Dedes. Tohjaya membunuh, agar kerajaan segera beralih ke tangannya, anak tertua Ke Arok yang perkasa.
Lalu Anusapati masuk ke panggung. Cahaya berubah menjadi berwarna kuning, menandai perubahan emosi dan pergeseran jalan cerita.
Anusapati, anak Ken Dedes dan Tunggul Ametung--yang telah dibunuh Ken Arok agar bisa menikahi Ken Dedes--bermain sandiwara. Ia mencoba mengambil alih jalan cerita, memanipulasi peristiwa, dengan tujuan mengambil alih kursi sang raja.
Begitulah secuplik adegan dalam pertunjukan musikal “Ken Dedes” yang dibawakan EKI Dance Company. Pertunjukan ini dihadirkan sebagai sesi preview jelang pementasan publik musikal “Ken Dedes” di Ciputra Artpreneur pada Sabtu dan Minggu, 18-19 Maret 2023.
Musikal “Ken Dedes” membentangkan kembali kisah klasik tentang sejarah kehidupan dan pertikaian para leluhur kerajaan Majapahit, tepatnya era raja-raja Tumapel atau Singhasari. Seperti dalam kisah yang direkam Pararaton, kisah ini bertumpu pada sosok perempuan bernama Ken Dedes.
Namun EKI Dance Compani memberi perhatian agak berbeda dari lazimnya kisah tentang Ken Dedes selama ini.
Ken Umang, perempuan yang dalam berbagai versi cerita umum disebut sebagai selir Ken Arok, mendapatkan ruang yang lebih luas untuk menyampaikan kisah versinya sendiri.
Bahwa bukan selir, ia lah istri pertama Ken Arok. Dan kedukaannya pulal-lah yang menjadi sumber peristiwa kematian Ken Arok, bahkan sumber segala intrik dan pertikaian di dalam kerajaan.
Musikal “Ken Dedes” di samping penyegaran perspektif untuk melihat sejarah populer nusantara, juga penyegaran rona pertunjukan yang mengangkat cerita-cerita lama nusantara. Alih-alih terjebak pada konteks budaya hingga bahasa zaman lampau, musikal ini justru kaya akan imajinasi kehidupan modern.
Penggunaah logat Jakarta jelas terasa di sepanjang pertunjukan, menegaskan bahwa pertunjukan ini dibuat untuk penonton hari ini, utamanya para anak muda Ibu Kota. Penonton tak perlu kaget jika mendengar kata-kata seperti “gue”, “bro” atau “elo”diucapkan oleh para pemain di atas panggung.
Tak lupa pula selipan-selipan humor kontemporer muncul di sepanjang pementasan, lewat berbagai tokoh dalam cerita.
Selain pemilihan bahasa yang luwes, musikal “Ken Dedes” juga kaya akan unsur-unsur seni kontemporer.
EKI Dance Company dalam karya ini membangun koreografi pertunjukan yang memadukan unsur tari tradisional, kontemporer dan balet. Hasilnya, adalah suguhan koreografi yang berenergi, cukup untuk mempesona para penonton muda hari ini.
Penjelajahan aspek musikal yang menghadirkan beragam genre musik, mulai dari ballad, pop, rock hingga unsur rap, bersatu padu di atas panggung. Itu berpadu dengan konsep busana yang tak lagi kaku ala-ala busana masa kerajaan. Unsur mahkota, jubah yang menjuntai panjang tetap dipertahankan. Tapi selebihnya, adalah gaya busana yang bisa lepas dari konteks era, sehingga tampak merepresentasikan berbagai masa.
Pertunjukan musikal “Ken Dedes” persembahan EKI Dance Company sukses menjalankan misinya sebagai penyampai sejarah. Selama nyaris dua jam, pertunjukan ini mampu menahan penonton untuk terus duduk di kursinya, menantikan setiap kejutan dan dinamika yang bakal terjadi di atas panggung.
“Kami maunya anak-anak sekarang itu, termasuk anak-anak saya, familiar sama sejarah, tapi juga nggak bikin ngantuk begitu lo. Kalau sekarang kesannya, adalah sejarah Indonesia nggak keren. Tapi mereka ngikutin sejarah inggris sejarah Amerika. Sejarah Indonesia mereka nggak tahu apa-apa. Itu kenapa saya pikir, lewat Ken Dedes ini, mereka bisa tahu lah sejarah,” ungkap produser Aiko Senosenoto, saat diwawancarai usai pertunjukan.
Misi itu menjadi mungkin berkat cerita yang diolah menjadi kontekstual, dan konsep pemanggungan yang luwes sehingga terasa lebih relate dengan selera penonton pertunjukan hari ini.
Seperti pesan penting yang disampaikan oleh salah satu tokoh diakhir pertunjukan. Setelah kematian Ken Arok, lalu menyusul dibunuhnya Anusapati oleh Toh Jaya, maka muncul pandangan alternatif. Bahwa, mungkin sudah saatnya, negara dipimpin oleh seseorang yang bukan berdarah biru, tapi ia yang berdarah merah, seperti rakyat kebayanyan.
Toh, darah biru selalu melahirkan pertikaian yang berujung pada tragedi, dan kematian.
Musikal “Ken Dedes” disutradarai oleh Rusdy Rukmarata, yang juga bertindak sekaligus sebagai perancang koreografi. Rusdy menggandeng penulis Titien Wattimena. Di bawah produser Aiko Senosenoto, pertunjukan ini melibatkan total 70 pelaku seni, termasuk ada Oni Krisnerwinto selaku penata musik, serta Iskandar Loedin selaku penata artistik.
Para bintang panggung adalah mereka yang dikenal aktif dalam skena pertunjukan musikal tanah air. Di antaranya yaitu Ara Ajisiwi (sebagai Ken Dedes), Nala Amrytha (Ken Umang), Taufan Purbo (Ken Arok), Uli Herdi (Tunggul Ametung), Fatih Unru (Anusapati) Geraldo Tanor (Tohjaya), serta masih banyak lagi yang lainnya.
Musikal “Ken Dedes” akan dipertunjukan di Ciputra Artpreneur, Jakarta, pada Sabtu dan Minggu, 18-19 Maret 2023. Anda bisa mengakses pertunjukan ini dengan membeli tiket melalui Loket.com, dengan harga mulai Rp450 ribu.