c

Selamat

Rabu, 19 November 2025

KULTURA

19 November 2025

10:59 WIB

Minat Pada Green Jobs Belum Diimbangi Sediaan Informasi Dan Akses

Kesadaran lingkungan yang menguat di kalangan anak muda membentuk minat mereka terhadap sektor green jobs. Sayangnya, sediaan informasi, akses pembelajaran hingga peluang profesional masih terbatas.

Penulis: Arief Tirtana

Editor: Andesta Herli Wijaya

<p>Minat Pada <em>Green Jobs</em> Belum Diimbangi Sediaan Informasi Dan Akses</p>
<p>Minat Pada <em>Green Jobs</em> Belum Diimbangi Sediaan Informasi Dan Akses</p>

Ilustrasi Green Jobs. Shutterstock/Thx4Stock team.

JAKARTA - Di Indonesia saat ini, semakin banyak anak muda yang mulai memikirkan masa depan mereka bukan hanya bisa stabil secara finansial, tetapi juga bisa memberikan dampak positif bagi bumi. Survei Koaksi Indonesia dan BOI Research tahun 2024 misalnya menunjukan, bahwa 76% responden anak muda mengaku siap terjun ke pekerjaan hijau (green jobs) setelah tahu makna dan peluangnya.

Alasan tingginya minat di sektor green bukan cuma perkara gaji, tapi ada alasan lebih berarti. Mereka ingin punya gaya hidup yang lebih berkelanjutan, bekerja dan menghasilkan uang sambil mewariskan lingkungan baik bagi generasi masa depan.

Masalahnnya, di tengah ketertarikan yang tinggi tersebut, pemahaman anak muda terkait green jobs masih sangat minim. Akses terhadap peluang pekerjaan ramah lingkungan itupun juga masih sangat sedikit.

Padahal di berbagai daerah, potensi green jobs sebenarnya sangat besar untuk dikembangkan. Misalnya di wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT), wilayah dengan periode matahari terik yang panjang, sehingga berpotensi menjadi pusat energi surya dan pusat studi lahan kering bagi Indonesia dan bahkan dunia.

Wakil Dekan Fakultas Sains dan Teknik Universitas Nusa Cendana (UNDANA) Dr. Ir. Erich Umbu K. Maliwemu mengakui potensi tersebut. Apa lagi UNDANA sendiri telah banyak melakukan riset dan inovasi energi bersih, mulai dari desalinasi, pompa hidram, pengolahan sampah plastik menjadi bahan bakar hingga teknologi pascapanen berbasis surya.

Meski riset telah banyak dilakukan, Erich menilai tetap diperlukan dukungan dari sektor tenaga kerja yang memiliki keahlian. Di tingkat institusi pendidikan, menurut Erich, penting untuk universitas di NTT memiliki program studi yang relevan seperti teknik geologi.

"Harapannya, ketika bauran energi terbarukan di NTT meningkat, tenaga kerja lokal yang pertama terserap," kata Erich dalam keterangan yang diterima Validnews, Selasa (18/11).

Dewan Pengawas Koalisi Kelompok Orang Muda untuk Perubahan Iklim (KOPI), Yurgen Nubatonis juga menilai hal yang sama, bahwa hambatan terbesar anak muda di daerah terpencil seperti NTT saat ini, adalah ada pada akses informasi, pelatihan, maupun peluang green jobs.

Padahal menurutnya banyak orang muda yang memiliki inisiatif keberlanjutan, mulai dari pertanian berkelanjutan hingga komunitas literasi. Yurgen memberikan contoh, sudah ada komunitas anak muda yang secara sadar mengembangkan kopi tanpa merusak ekosistem di Colol, Manggarai Timur.

"Namun, secara umum kita masih kekurangan program atau aktivitas yang benar-benar mendukung anak muda untuk masuk ke dunia green jobs. Banyak yang punya ide cemerlang, tetapi tidak punya back up untuk mendukung ide tersebut," terangnya.

Baca juga: Apa Itu Green Jobs? Tren Pekerjaan Hijau Dan Masa Depan Dunia Kerja

Koaksi Indonesia menjadi salah satu yang telah bergerak. Yayasan ini menjalankan program Youth Leaders Green Jobs di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Sulawesi Tengah (Sulteng) untuk menjawab antusiasme anak muda yang sebenarnya tinggi. Program ini dirancang untuk melahirkan generasi muda yang siap jadi motor penggerak ekonomi hijau dari wilayah timur Indonesia.

Lewat rangkaian kegiatan seperti Green Jobs Academy, workshop, hingga festival dan summit, para peserta diajak memperkuat skill sekaligus jejaring dari kota hingga pelosok daerah.

"Program ini ingin menghubungkan peluang transisi energi dengan kapasitas dan kepemimpinan anak muda," ujar Ridwan Arif, Manajer Riset dan Pengelolaan Pengetahuan Koaksi Indonesia.

Baca juga: Potensi Green Jobs di Masa Depan

Ridwan juga menekankan perlunya kampanye publik yang konsisten agar anak muda makin paham berbagai jalur karier di sektor hijau. Namun, menurutnya, semua itu tetap membutuhkan peta jalan green jobs nasional yang jelas hingga 2045.

Di sisi lain, pemerintah daerah NTT sendiri mengaku sudah mulai bergerak. Yohanes Paut, Kepala Bidang Infrastruktur dan Kewilayahan Bapperida NTT, menyampaikan bahwa NTT sedang fokus pada mitigasi dan adaptasi krisis iklim. Enam sektor menjadi prioritas mereka, mulai dari pertanian, air, pesisir, kelautan-perikanan, ekosistem, dan kesehatan. Harapannya, pembangunan ekonomi di NTT bisa berlangsung tanpa harus mengorbankan lingkungan.

Yohanes mencontohkan peluang ekonomi yang muncul ketika lingkungan dikelola dengan cara berkelanjutan, seperti dari pengolahan sampah hingga pengelolaan tutupan lahan. Hasilnya tahun ini, NTT menerima Rp6,2 miliar untuk sektor kehutanan, termasuk pengendalian karhutla dan pemantauan emisi.

Dengan meningkatnya penduduk usia produktif di NTT, Yohanes optimis sektor hijau bisa membuka lebih banyak ruang kerja baru. Tapi ia mengingatkan, bonus demografi hanya akan terasa jika kesehatan dan pendidikan vokasi ditingkatkan, sehingga tenaga kerja lokal benar-benar siap bersaing.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar