03 Juli 2024
21:00 WIB
Microforest 100 Jadi Alat Penyerap Udara Kotor Berbasis Mikroalga
Sistem dalam Microforest 100 mampu menyerap karbon dioksida atau CO2 dalam jumlah yang sangat besar. Bahkan setara dengan lima pohon dewasa berumur sekitar 15 tahun.
Penulis: Arief Tirtana
Editor: Rendi Widodo
Microforest 100 yang bisa menyerap udara kotor dengan mikroalga. Dok. UGM
JAKARTA - Sejumlah ilmuwan belakangan mulai banyak menggali potensi mikroalga untuk mengatasi masalah perubahan iklim yang semakin terasa. Dengan kemampuannya menyerap karbon dioksida (CO2), mikroalga mulai dikembangkan manfaatnya dalam wujud sebuah alat penyerap CO2.
Seperti diketahui paparan CO2 kini semakin banyak mencemari udara akibat penggunaan bahan bakar fosil, di kendaraan, pabrik dan lainnya. Paparan CO2 yang tinggi bisa menyebabkan berbagai efek pada tubuh manusia, seperti misalnya gangguan pernapasan, sakit kepala dan banyak lagi.
Melihat potensi tersebut, tim dari Pusat Studi Energi Universitas Gadjah Mada (PSE UGM) juga melakukan upaya pengembangan produk berbasis mikroalga, lewat kehadiran sebuah produk atau alat instalasi yang bisa menyerap CO2, dinamakan Microforest 100.
Teknologi ini diinisiasi oleh Guru Besar Teknik Kimia Fakultas Teknik, Prof. Ir. Arief Budiman, D.Eng. dan Dosen Fakultas Biologi Dr. Eko Agus Suyono.
Keduanya merupakan Peneliti Pusat Unggulan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (PUIPT) Microalgae Biorefinery UGM melalui program dana pendamping dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi melalui platform Kedaireka tahun anggaran 2022 lalu.
Awalnya mereka lebih dulu merancang purwarupa Algaetree, yakni teknologi dekarbonisasi untuk mengatasi produksi karbon atau CO2 di udara terbuka. Dari prototipe tersebut, mereka mendapatkan dukungan sebuah perusahaan rintisan (startup) PT Algatech Nusantara, sehingga mampu mengembangkannya lagi menjadi produk bernama Microforest 100 ini.
Algatech Nusantara membantu menambahkan beberapa fitur pelengkap seperti pengembangan desain, fabrikasi dan penambahan alat-alat sensor kondisi kultivasi agar Microforest mampu bekerja secara maksimal.
Dijelaskan rangga, dengan tinggi instalasi mencapai dua meter, sistem dalam Microforest 100 mampu menyerap karbon dioksida atau CO2 dalam jumlah yang sangat besar. Bahkan setara dengan lima pohon dewasa berumur sekitar 15 tahun. Hal ini didasarkan pada kemampuan mikroalga sendiri yang dapat menyerap karbon dioksida 30-50 kali lipat lebih banyak dibanding tanaman terestrial saat ini.
"Instalasi setinggi dua meter tersebut berfungsi untuk menyerap karbon di udara dengan teknologi fotobioreaktor," kata Rangga
Saat ini, instalasi Microforest 100 ini sudah digunakan di Masjid Raya Syeikh Zayed Solo. Pemilihan lokasi ini tak lepas dari tingginya animo masyarakat mengunjungi masjid yang baru berdiri tahun 2021 ini, sehingga secara langsung berdampak pada kualitas udara di sana.
Alat ini diletakkan di ruangan terbuka supaya dapat menyerap CO2 yang dihasilkan pengunjung.
Hal ini sejalan seperti yang dikatakan Direktur Masjid Raya Syeikh Zayed, Munajat, Ph.D., mengatakan masjid bisa saja menjadi salah satu fasilitas publik yang ramai dikunjungi dan menghasilkan banyak emisi karbon. Apalagi, Masjid Raya Syeikh sendiri bisa menerima puluhan ribu pengunjung setiap harinya.
"Peluncuran Microforest 100 ini sekaligus memantau sejauh mana mesin bisa bertahan menyerap karbon untuk nantinya menjadi bahan pengembangan lebih lanjut," terangnya.
Rencananya, jika terbukti efektif menyerap karbon dalam jumlah besar, Microforest 100 akan dikembangkan lebih lanjut untuk diletakkan di sejumlah tempat-tempat ibadah lainnya, seperti Masjidil Haram Mekkah dan Masjid Nabawi.
Di luar pengembangan alat Microforest 100 ini, Eko Agus Suyono juga menekankan bahwa mikroalga masih memiliki potensi besar agar dikembangkan lebih lanjut menjadi produk olahan lain, seperti misalnya bahan bakar bioenergi. Karena itu, ia berharap potensi tersebut bisa dieksplorasi lebih lanjut untuk dimanfaatkan oleh masyarakat luas.
"Dengan begitu, pengurangan emisi karbon dapat berlangsung secara masif dalam mengatasi perubahan iklim," yakin Eko.