08 Maret 2025
16:26 WIB
Metode Teater Putu Wijaya: “Bertolak dari yang Ada” Dan “Teror Mental”
Putu Wijaya punya karakter dalam pengemasan konsep teaternya. Kerapkalo dikategorikan sebagai jenis teater absur, karena bermain dalam tataran simbolik dan imajinatif.
Penulis: Andesta Herli Wijaya
Editor: Satrio Wicaksono
Sastrawan dan teaterawan Indonesia, Putu Wijaya. Dok: Validnews/ Andesta.
JAKARTA – Setiap maestro teater memiliki gagasan artistik dan metode masing-masing dalam proses berkarya. Termasuk Putu Wijaya, tokoh teater sekaligus sastrawan dan budayawan asal Bali, pendiri Teater Mandiri yang berbasis di Jakarta sejak 1971.
Putu Wijaya dikenal memiliki konsep teater yang unik. Karya-karyanya bersama Teater Mandiri kerapkali dikategorikan sebagai jenis seni teater absurd, karena banyak bermain dalam tataran simbolik dan imajinatif.
Bicara teater Putu Wijaya, hal yang selalu diingat adalah metode 'bertolak dari yang ada' hingga 'teror mental'. Suatu metode berteater yang dikembangkan Putu bersama Teater Mandiri sejak puluhan tahun, memberi karakteristik tersendiri pada pertunjukan-pertunjukan mereka.
Dengan metode itulah, Putu Wijaya sukses menjejakkan bentuk teater yang berbeda, segar, juga seringkali mengejutkan bagi banyak orang. Nah, apa yang dimaksud dengan ‘bertolak dari yang ada, dan apa pula itu ‘teror mental’?
Validnews berkesempatan menyimak penjelasan langsung dari Putu Wijaya terkait metode ‘bertolak dari yang ada’ dan ‘teror mental’, dalam sebuah kesempatan di Taman Ismail Marzuki Jakarta, belum lama ini. Putu menyebutkan, kedua metode tersebut adalah hasil dari eksperimentasinya dalam menjalani seni teater selama ini.
Pada dasarnya, ‘bertolak dari yang ada’ adalah suatu prinsip kerja yang diterapkan Putu dalam berkarya di Teater Mandiri. Prinsip ini mengutamakan proses bisa berjalan dengan luwes, tanpa terhalang oleh berbagai keterbatasan baik dalam hal dana, ketersediaan materi pendukung pertunjukan, atau hal-hal lainnya di luar karya.
Sebagaimana dipahami, produksi sebuah pertunjukan teater bisa menuntut biaya yang besar, terutama untuk menghadirkan set panggung yang lengkap dan ideal. Nah, Putu dan para anggota Teater Mandiri mencoba melampaui rintangan itu dengan memilih jalan berteater dengan fasilitas seadanya.
Pendeknya, ‘bertolak dari yang ada’ mengajarkan seniman teater untuk mengoptimalkan sumber daya terbatas, untuk mencapai hasil karya yang diinginkan. Misalnya, jika tak ada meja sebagai pendukung set, maka pemain bisa menghidupkan imajinasi tentang meja, bermain di atas panggung kosong seolah-olah ada meja di sana. Begitulah Putu menyiasati keterbatasan dengan beralih ke ranah imajinatif.
“Kalau orang mengeluh tentang apa yang nggak ada, saya justru kerap mensyukurinya. Misalnya karena nggak ada pisau, maka (adegan-red) pembunuhan jadi mungkin dilakukan tanpa pisau. Tapi pemain dengan tangan kosong, bisa mewujudkan adegan yang diinginkan, seolah dia memegang pisau,” ungkap Putu Wijaya.
Dari eksperimen-eksperimennya, Putu pun kemudian menyadari kekuatan dari imajinasi. Bahkan terkadang, menurutnya, adegan-adegan yang dibuat dengan melibatkan imajinasi penonton, justru bisa memberikan ‘rasa’ yang lebih nyata dan lebih ‘mengena’.
“Kalau pakai pisau beneran, penonton akan ketakutan kan. Tapi kalau tangan kosong, itu imajinya nikmatnya luar biasa, karena tanpa ada darah orang itu mati. itulah hebatnya teater, dia bisa menggembirakan orang, bikin susah hati orang, dengan sesuatu yang nggak ada,” tambah Putu.
Semangat berproses dengan bertolak dari yang ada oleh Teater Mandiri termanifestasikan dalam karya-karya pertunjukan mereka yang umumnya minim properti. Salah satunya pada karya “Aduh” yang baru-baru ini dipentaskan kembali di Taman Ismail Marzuki, setelah pertama kali dipentaskan di tempat tersebut pada 1974 silam.
“Aduh” ditampilkan dalam konsep panggung yang minimalis, hanya menggunakan sedikit set berupa layar-layar kain. Drama ini sejatinya memiliki banyak petunjuk lokasi, namun dihidupkan dengan imajinasi ruang lewat dialog-dialog para pemainnya.
Bagi Putu, bertolak dari yang ada juga merupakan karakter khas kesenian di nusantara. Dia mencontohkan seni-seni tradisi, semisal teater rakyat, yang juga mengusung konsep pertunjukan yang serba minim dalam aspek set, tidak seperti teater-teater Barat.
Kemudian teror mental, ini bisa hadir sebagai konsekuensi dari metode bertolak dari yang ada. Mudahnya, teror mental pada teater Putu Wijaya bermakna sebagai kejutan. Namun kejutan itu bersifat lebih kuat dan reflektif.
‘Teror mental’ menurut Putu adalah suatu upaya untuk ‘mengacaukan’ pikiran penonton sejenak, demi melihat ‘realitas’ di panggung. Teror itu hadir untuk mengajak penonton untuk merefleksikan kembali konsep, nilai-nilai dan keyakinannya. Pendeknya lagi, teror ini menyasar kesadaran eksistensial penonton.
“Kalau saya lagi bekerja, lalu istri saya mengajak ke supermarket. Dia terus memanggil dan mengajak, saya diam, sampai yang kesekian kalinya, baru saya menjawab ‘Iya’ keras-keras. Lalu di situ istri saya terkejut, dan dia menyadari kalau sebenarnya semuanya sudah ada di rumah, sebenarnya dia nggak perlu ke supermarket,” tutur Putu menganalogikan metodenya.
“Jadi teror mental itu berguna untuk mengacau sebentar pikiran orang, untuk kemudian jeda, berpikir kembali. Setelah berpikir kembali, apakah dia kemudian membatalkan pikiran sebelumnya, atau tetap meyakini, nggak masalah. Kita nggak ngajak orang untuk meyakini pemikiran kita, tapi mengajak untuk memikirkan kembali sesuatu,” tambah Putu.
Teror mental tak hanya metode yang diarahkan untuk mengejutkan penonton. Menurut Putu, teror ini juga terarah kepada para pemainnya, sebagai sebuah teror untuk proses. Teror ini bisa diwujudkan Putu misalnya dengan melakukan berbagai eksperimen baru yang bisa memberi rasa kaget bagi para pemain. Hal itu menurutnya juga penting dalam berproses, sehingga para seniman teater memiliki daya adaptasi yang terus terjaga.
‘Bertolak dari yang ada’ dan ‘teror mental’ sudah dikenal secara luas sebagai metode teater ala Putu Wijaya. Metode ini pun masuk dalam program perekaman dan distribusi pengetahuan seni teater oleh Dewan Kesenian Jakarta, di mana lembaga tersebut telah mengumumkan akan menerbitkan buku metode teater Putu Wijaya.
“Tahun ini memang Komite Teater DKJ memiliki program gimana metode-metode atau formula yang pernah dilakukan oleh banyak maestro di Indonesia, mau kita tuliskan dan kita terbitkan bukunya. Sebetulnya kami konsen pada distribusi ilmu pengetahuan terhadap kerja-kerja teater terdahulu dan itu ditunjukkan hari ini, untuk laboratorium berkelanjutan," ungkap Ketua Komite Teater DKJ, Kris Aditya dalam sesi jumpa pers di TIM, beberapa waktu lalu.