17 Oktober 2025
18:49 WIB
Merasa Dimengerti AI? Psikolog Ingatkan Bahaya Emosional Digital
Aplikasi berbasis AI kini tak hanya digunakan untuk mencari informasi, tapi juga untuk berbagi cerita. Tapi, rasa nyaman itu bisa menumbuhkan keterikatan emosional yang semu.
Penulis: Annisa Nur Jannah
Editor: Satrio Wicaksono
Psikolog Irma Gutiana terangkan bahwa kecenderungan berkomunikasi lewat AI menimbulkan dampak negatif. Foto : Njenissa/Validnews.
JAKARTA - Di tengah pesatnya perkembangan teknologi kecerdasan buatan (AI), semakin banyak orang menemukan teman bicara baru, bukan manusia, melainkan chatbot. Pasalnya, aplikasi berbasis AI kini tak hanya digunakan untuk mencari informasi, tapi juga untuk berbagi cerita, mengungkap perasaan, bahkan mencari penghiburan di tengah kesepian.
Namun, di balik kemudahan itu, ada risiko psikologis yang tak bisa diabaikan. Psikolog anak, remaja, dan keluarga, Irma Gutiana mengingatkan, kedekatan yang terbentuk antara manusia dan AI sebenarnya bisa menjadi bentuk distorsi relasi sosial bila tak disadari batasnya.
"Makanya kita tidak boleh terlalu jauh meng-improve hubungan dengan AI, karena kita perlu tetap berinteraksi secara nyata. Tatap muka dengan manusia itu penting,” ujar Irma di Jakarta.
Menurut Irma, akar dari fenomena ini berawal dari kebutuhan dasar manusia untuk dimengerti. Setiap orang, katanya, pada dasarnya ingin merasa dipahami tanpa dihakimi.
Dan di sinilah AI mengambil peran yang tampak ideal seperti mendengarkan tanpa menyela, menanggapi dengan lembut, dan selalu tersedia kapan pun dibutuhkan.
“Ketika manusia ingin dimengerti, mereka sering kali merasa dirangkul oleh respons AI. Ada perasaan seolah-olah didengar dan dipahami. Dari situ muncul adiksi, sebuah keinginan untuk terus kembali kepadanya,” jelas Irma.
Rasa nyaman itu bisa menumbuhkan keterikatan emosional yang semu. Lama-lama, seseorang bisa mulai lebih memilih berbicara dengan AI daripada berinteraksi dengan manusia di sekitarnya.
Dalam jangka panjang, hal ini bisa menurunkan kemampuan sosial dan empati, serta menggeser orientasi relasi manusia yang sehat. Irma menambahkan, kecenderungan ini sudah mulai terlihat dalam berbagai bentuk.
Ada yang menjadikan AI sebagai teman curhat sehari-hari, ada pula menciptakan persona atau kriteria pasangan ideal di dunia digital, lalu berinteraksi dengannya seolah-olah nyata.
"Mengapa banyak orang beralih ke AI atau aplikasi yang bisa menciptakan kriteria pasangan ideal mereka? Itu sebenarnya sudah masuk kategori disorder, karena kebutuhan emosionalnya mulai dipenuhi oleh sesuatu yang tidak nyata,” ungkapnya.
Fenomena ini bahkan bisa menjalar ke ranah yang lebih serius. Beberapa kasus menunjukkan adanya bentuk perselingkuhan digital, di mana seseorang menjalin kedekatan emosional dengan chatbot AI.
Walaupun tidak melibatkan manusia lain, keterikatan itu tetap menggerus keintiman dan kejujuran dalam hubungan nyata.
"Makanya, selingkuh zaman sekarang juga bisa terjadi lewat AI. Teman-teman harus punya kesadaran yang tinggi agar tidak terjebak dalam hubungan yang semu," tutur Irma.
Meski AI dapat memberikan respons yang menenangkan, Irma menekankan bahwa peran psikolog dan interaksi manusia tidak tergantikan. Dalam proses terapi, yang terjalin adalah pertukaran kata, empati, bahasa tubuh, serta dinamika emosional yang nyata di mana menjadi bentuk yang belum bisa digantikan oleh kecerdasan buatan.
"Psikolog itu terkadang bisa menjadi salah satu wadah bagi seseorang untuk didengar. Namun yang terpenting, kita tetap menjaga koneksi manusiawi. Mendengarkan, merasakan, dan memahami sesama secara nyata," jelasnya.