c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

KULTURA

13 Agustus 2025

17:11 WIB

 Merah Putih One For All Lolos Tayang Bioskop, Ini Penjelasan LSF

Film animasi Merah Putih One For All dinyatakan lolos sensor dengan diterbitkannya Surat Tanda Lulus Sensor (STLS) dan berhak tayang di bioskop, ini penjelasan LSF. 

<p>&nbsp;<em id="isPasted">Merah Putih One For All</em> Lolos Tayang Bioskop, Ini Penjelasan LSF</p>
<p>&nbsp;<em id="isPasted">Merah Putih One For All</em> Lolos Tayang Bioskop, Ini Penjelasan LSF</p>

Ilustrasi cuplikan title card film animasi Merah Putih One for All. Youtube/Historika Film

JAKARTA - Jelang penayangannya pada 14 Agustus mendatang, film animasi Merah Putih One For All memancing perdebatan seru. Banyak pihak melontarkan kritik, dari pengggunaan bahasa asing di judul, kualitas animasi hingga jalan ceritanya.  

Terlepas dari perdebatan dan kritik di masyarakat, Merah Putih One For All tersebut telah lolos sensor. Ketua Lembaga Sensor Film (LSF) Naswardi mengatakan, film karya Perfiki Kreasindo tidak memiliki unsur kriteria sensor yang dilanggar dan telah diterbitkan Surat Tanda Lulus Sensor (STLS) dalam klasifikasi usia Semua Umur (SU). 

"Berdasarkan hasil penilaian dan juga penelitian yang dilakukan oleh kelompok penyensoran, maka film ini tidak ada kaedah kriteria yang dilanggar. Artinya semua kriteria yang kita punya di dalam proses penilaian itu terpenuhi,” kata Nawardi di Jakarta, Rabu (13/8).

Ia mengatakan, STLS diberikan kepada film animasi Merah Putih One For All tanggal 5 Juli 2025 dan berhak disiarkan di jaringan bioskop Indonesia.

Nawardi menjelaskan, Merah Putih One For All dinilai berdasarkan acuan utama kriteria sensor untuk animasi yang terdiri atas tiga aspek, yaitu tema, konteks, nuansa dan dampak. Selain itu ada acuan pendukung yang menjadi pertimbangan dalam penerbitan surat lulus sensor yaitu judul film, dialog dan monolog dalam film, visualisasi dan teks jika merupakan film animasi asing.

Berkaitan visualisasi adegan dialog dan monolog, LSF menilai enam unsur di antaranya apakah visual memperlihatkan praktek atau unsur kekerasan, berkaitan dengan pornografi, menggambarkan penggunaan atau peredaran narkotika, perendahan terhadap harkat martabat kemanusiaan, suku, agama, perempuan atau kelompok tertentu dan melawan hukum.

Dari aspek tadi ditetapkan pengkategorian atau proses klasifikasi usia menjadi film untuk semua umur, 13 tahun ke atas, dewasa 17 tahun ke atas, dan juga film untuk dewasa 21 tahun ke atas.

“Jadi, kami di Lembaga Sensor Film tidak diberikan kewenangan, baik itu melalui peraturan menteri, peraturan pemerintah, ataupun undang-undang untuk menilai kualitas. Nah, itu rating penilaian rendah, tinggi, buruk, sedang, jelek, itu yang bisa memberikan adalah kritikus film, ataupun penonton dari film itu sendiri,” jelasnya.

Naswardi mengatakan, LSF menerima semua film untuk dilakukan proses pelayanan sensor tanpa diskriminasi dan membeda-bedakan. Ia juga menegaskan LSF mendengar masukan dari berbagai kalangan, mulai dari publik, kreator, industri, berkaitan dengan kualitas sinematografi dan sebagainya.

Menurutnya, kritik dari publik harus menjadi perhatian oleh pembuat atau pemilik film karena terkait apresiasi penonton dan menjadi proses yang harus dihadapi oleh sineas atau kreator film.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar