c

Selamat

Rabu, 19 November 2025

KULTURA

25 Maret 2025

13:47 WIB

Menyelami Tanggung Jawab Pembuangan Limbah Kapal Pesiar

Industri ini terus bergerak menuju ke arah yang lebih berkelanjutan, walau sesekali tercoreng oleh kasus-kasus pelanggaran pembuangan limbah yang ekstrem.

Editor: Rendi Widodo

<p>Menyelami Tanggung Jawab Pembuangan Limbah Kapal Pesiar</p>
<p>Menyelami Tanggung Jawab Pembuangan Limbah Kapal Pesiar</p>

Ilustrasi kapal pesiar. Unsplash

JAKARTA - Jika dihadapkan pada sebuah gambaran kapal pesiar, mungkin berbagai bayangan kita adalah tentang kemewahan atau liburan mahal. Namun, jarang sekali imajinasi orang awam bergerak ke mana perginya limbah-limbah di 'kota terapung' ini.

Sejarah kapal pesiar tidak pernah lepas dari kontroversi, terutama terkait dampaknya terhadap lingkungan. Rata-rata kapal pesiar mampu menampung 3.000 orang penumpang dan kurang lebih 1.000 orang awak kapal.

Dengan jumlah itu, untuk sebuah perjalanan selama satu minggu, sebuah kapal pesiar akan mengangkut 150.000 kg hingga 200.000 kg logistik makanan dan minuman. Dari sini kita bisa membayangkan, ke mana limbah ini akan dibuang?

Dikutip dari berbagai sumber, di masa lampau praktik pembuangan sampah dan limbah kapal memang dilakukan langsung ke laut, dan ini menjadi hal yang lazim dilakukan. Limbah cair seperti minyak, sisa makanan, hingga limbah kimia sering kali berakhir di perairan bebas, menciptakan dampak buruk terhadap ekosistem laut.

Di masa itu, regulasi internasional mengenai pengelolaan limbah kapal pesiar benar-benar belum diperhatikan. Kapal besar termasuk kapal pesiar kerap kali mengabaikan dampak lingkungan dalam operasional mereka, karena pengelolaan limbah ratusan ribu kg per minggu adalah sebuah investasi yang mahal. Demi efisiensi dan pengurangan biaya, laut menjadi tempat sampah alami bagi industri kapal pesiar.

Praktik pembuangan limbah kapal pesiar ke laut tanpa regulasi mulai berubah signifikan setelah Konvensi MARPOL (International Convention for the Prevention of Pollution from Ships) diberlakukan oleh International Maritime Organization (IMO).

Sekalipun konvensi ini pertama kali diadopsi pada tahun 1973 dan diperkuat dengan protokol tahun 1978. Pada kenyataanya, implementasi penuh dari aturan-aturan ini membutuhkan waktu bertahun-tahun, dan banyak kapal pesiar baru mulai benar-benar mematuhi regulasi ini pada akhir abad ke-20.

Industri kapal pesiar mulai bertransformasi dengan mengadopsi teknologi modern untuk pengelolaan limbah. Salah satu teknologi yang kini banyak digunakan adalah sistem pengolahan air limbah modern.

Dengan pengolahan ini air limbah diolah hingga mencapai standar lingkungan sebelum dibuang ke laut. Selain itu, banyak kapal pesiar juga ditekan untuk mulai menggunakan sistem pengelolaan sampah yang berbasis daur ulang.

Beberapa kapal pesiar modern bahkan dirancang dengan pendekatan "zero waste". Limbah makanan diubah menjadi kompos atau bioenergi, sementara plastik dan logam didaur ulang untuk digunakan kembali.

Tidak hanya teknologi, edukasi terhadap kru kapal juga menjadi perhatian utama. Pelatihan tentang pengelolaan limbah yang benar kini menjadi bagian wajib dalam operasional kapal. Dengan begitu, setiap awak kapal memiliki pemahaman yang baik tentang pentingnya melindungi ekosistem laut.

Tak seperti kapal besar lainnya seperti kapal kargo atau tanker, kapal pesiar yang membutuhkan eksposur pemasaran menjadi industri yang tak hanya diawasi oleh regulator global, tetapi juga pelanggan-pelanggan yang mempertimbangkan isu lingkungan.

Apakah dengan berbagai tekanan regulasi ini kapal pesiar hari ini benar-benar menjadi industri yang ramah lingkungan? Sayangnya beberapa kasus masih terjadi.

Salah satu kasus pelanggaran yang paling terkenal adalah saat Princess Cruise Lines didenda US$40 juta (Rp664 miliar) karena membuang limbah berminyak secara ilegal ke laut dan memalsukan catatan pembuangan itu pada tahun 2017. Ini menjadi salah satu denda terbesar dalam sejarah pencemaran laut kapal pesiar.

Pada tahun 2023 pun Belanda lebih tegas pada kapal-kapal pesiar yang singgah di Amsterdam. Kota yang sudah kaya dari pendapatan pariwisata ini melarang sepenuhnya kapal pesiar dari membuang limbah tak sesuai standar di perairannya. Tak hanya soal pencemaran, Amsterdam pun menganggap kehadiran kapal pesiar sebagai penyebab overtourism di wilayah mereka.

Pada akhirnya, kapal pesiar bukanlah hal yang selalu berkaitan dengan kemewahan. Industri ini terus bergerak menuju ke arah yang lebih berkelanjutan, walau sesekali tercoreng oleh kasus-kasus pelanggaran pembuangan limbah yang ekstrem. 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar