c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

KULTURA

20 November 2021

10:31 WIB

Menyelami Rumitnya Tradisi Palang Pintu Betawi

Berbagai elemen yang kompleks dibalut menjadi satu kesatuan dalam tradisi palang pintu yang sampai hari ini masih eksis berdiri di wilayah-wilayah yang masih kental dengan budaya Betawi.

Penulis: Dwi Herlambang

Editor: Rendi Widodo

Menyelami Rumitnya Tradisi Palang Pintu Betawi
Menyelami Rumitnya Tradisi Palang Pintu Betawi
Ilustrasi jawara Betawi bertarung. Dok. Ist.

JAKARTA - Naek mobil lewat kampung Setu

Nyayur labu parang bumbunya terasi

Kalo mau ambil calon menantu

Liwat kampungan orang kudu permisi

XXX

Nyok dah kita makan sekuteng di pasar jumat

Pulangnye mampir dulu ke Pinang Ranti

Saye ama rombongan dateng dengan segala hormat

Mohon diterime dengan senang ati.

XXX

Kalo belanja di pasar Kemiri

Jangan lupa beli bumbu masaknye

Kalo lu udah pada niat dateng kemari

Coba, gua pengen tau apa hajatnye

XXX

Bang, ada siang ada malem

Ada bulan ada matahari

Kalo bukan lantaran perawan nyang ada di dalem

Kaga bakalan nih penganten laki saya anterin kemari

Potongan saling balas pantun di atas adalah salah satu bagian penting pada prosesi palang pintu dalam upacara pernikahan adat Betawi. Beradu pantun pada tradisi palang pintu memiliki arti bahwa suami bisa membahagiakan istri dan anaknya kelak di tengah banyaknya cobaan kehidupan. 

Selain itu dalam proses palang pintu juga akan diperlihatkan pertarungan silat antar jawara dan pembacaan Al-Quran.

Selanjutnya, silat memiliki makna bahwa laki-laki sebaiknya memiliki dasar ilmu beladiri untuk membela kehormatan keluarganya dari segala ancaman. Sementara pembacaan Al-Quran menunjukkan bahwa laki-laki yang sudah menikah harus menjadi imam yang baik bagi keluarga dan agamanya. 

Semuanya elemen itu pun dibalut menjadi satu kesatuan dalam tradisi palang pintu yang sampai hari ini masih eksis berdiri di wilayah-wilayah yang masih kental dengan budaya Betawi.

Mengulik sejarahnya, tradisi palang pintu sudah ada dari sekitar abad ke-19. Kala itu tradisi ini dilakukan oleh tokoh Betawi Pitung ketika ingin mempersunting Aisyah yang merupakan anak dari Jawara legendaris asal Kemayoran, Murtadho.

Tentu saja jalan Pitung tidak akan mudah karena harus melewati jawara-jawara Murtadho. Akan tetapi dengan segala kemampuan bela dirinya Pitung berhasil mengalahkannya dan diperkanankan mempersunting Aisyah.

Sementara itu untuk masyarakat umum, palang pintu mulai dipakai pada acara pernikahan di sekitar tahun 1933.  Saat itu palang pintu diidentikan dengan proses penyambutan tamu. Waktu itu, orang-orang yang menanggap tradisi palang pintu hanya bisa dilakukan orang-orang kaya karena membutuhkan dana yang besar untuk alat musik dan segala pernak-perniknya.

Adapun properti yang biasa digunakan adalah baju palang pintu, golok, dan alat musik marawis untuk memeriahkan pertunjukan. 

Adanya prosesi palang pintu juga memberi pesan kepada masyarakat bahwa pernikahan adalah rangkaian sakral yang hanya dilakukan satu kali dalam seumur hidup. Oleh sebab itu untuk memasuki jenjang ini dibutuhkan serangkain tahapan yang harus dilewati bagi calon pengantin.  

Sementara itu, menurut Ketua Sanggar Al Ma’ruf Deni Hermawan berbeda dengan saat ini di mana palang pintu menjadi sebuah hiburan. Pada saat zaman nenek moyang tradisi ini dilakukan secara sungguh-sungguh dengan mengadu antar jawara. Menurutnya orang Betawi selalu menjaga harga diri wilayahnya dan tidak mudah bagi laki-laki dari daerah lain untuk meminang perempuan dari kampung lainnya.

“Kalau orang Betawi bilang nggak gampang begitu saja dapetin perempuan kampung sini. Dulu kalau ada yang mau nikah setiap jawara harus diadu sampai ada yang kalah. Itu mempertaruhkan harga diri wilayahnya," kata Aden, sapaan akrab Deni, kepada Validnews di sanggar Al Ma’ruf, Slipi, Jakarta Barat, Jumat (19/11).

Kini di tengah gempuran budaya luar dan kemajuan zaman, menurut Aden eksistensi palang pintu sebagai budaya tradisional masih terus terjaga di beberapa sanggar yang berkomitmen.

Untuk melestarikan kebudayaan palang pintu, Aden membentuk sanggar Al Ma’ruf pada tahun 2014 sebagai wadah bagi anak-anak muda yang ingin melestarikan palang pintu. Anak-anak menjadi target bagi Aden karena ia melihat saat ini mereka lebih suka bermain gawai, main gim, dan bernyanyi di kafe, serta yang menyedihkan lebih menyukai kebudayaan luar.

“Mengajak generasi muda ini susah-susah gampang. Pertama buat dia jaga diri, lalu kalau kita nggak ngembangin buat anak-anak nantinya pas sudah dewasa pada nggak tahu palang pintu dan bisa jadi ini akan punah makanya kita didik dari anak bocah,” ujarnya.

Di sisi lain dalam belajar palang pintu setidak ada tiga indikator yang harus dipenuhi. Yaitu belajar silat tradisional, belajar pantun betawi dan celetukan. Biasanya dalam proses belajar silat anak-anak membutuhkan waktu selama satu hingga dua bulan untuk menguasai teknik-teknik dasar.

Sementara, untuk belajar pantun dan celetukan biasanya sudah disiapkan naskah yang bisa dipelajari oleh anak-anak. Akan tetapi naskah tersebut bukanlah sebuah pakem yang harus dihafalkan. Uniknya pantun Betawi memiliki ciri ataupun corak yang sedikit berbeda dari pantun yang ada di daerah lain.

Pantun Betawi harus menggunakan bahasa Betawi dan isinya berkait dengan kehidupan masyarakat mulai dari adat istiadat, agama, tingkah laku dan keadaan di sekitar. Syairnya pun sengaja dibuat jenaka agar terkesan kocak, spontan dan apa adanya. Hal tersebut bertujuan agar memudahkan pendengar dalam menangkap maksud dan tujuannya.

Di sisi lain, isi pantun Betawi juga mengungkapkan nasihat yang berkaitan dengan etika, moral, adab, dan sopan santun. Bahkan pantun Betawi erat kaitannya sebagai wadah penyampain pesan dalam peradapan masyarakat sekitar. 

Hal ini bisa terlihat dari pantun yang disampaikan dengan cara saling berbalas dan memiliki tujuan dan maksud yang ingin disampaikan.  

Jika sudah lancar dalam berpantun tahapan selanjutnya adalah belajar celotehan dan ngebanyol agar menghadirkan suasana riang dan gembira. Akan tetapi naskah pantun dan banyolan tersebut kembali tidak selalu menjadi pakem dalam permainan palang pintu. Mereka yang sudah terbiasa akan bisa berbicara lepas selama dalam koridor benang merah pertunjukan.

Benang merah yang dimaksud adalah palang pintu sendiri terbagi menjadi dua kategori yaitu pihak perempuan dan pihak laki-laki. Untuk yang berada di pihak perempuan pemain palang pintu memiliki tugas untuk menghalang-halangi pihak laki-laki yang ingin masuk ke dalam kawasan rumah perempuan. Sementara yang berada di pihak laki-laki harus lebih sopan karena masuk ke wilayah orang lain.

Dalam memilih karakter  tersebut menurut Aden mereka yang ditugaskan dipihak perempuan adalah yang memiliki suara lantang dan galak sementara di pihak laki-laki karakter yang dibutuhkan adalah mereka yang kalem. Selain itu untuk para jawara harus memiliki karakter bengis dan tidak mudah tertawa.

“Kalau palang pintu ada sebutan jago bego, jago konyol, jago serem. Jago bego itu mesti bisa melucu, intinya digamparin jangan marah. Kalau serem pantangan jagoan ketawa atau senyum dia harus bengis. Kalau jago konyol ada serem ada lucunya. Itu tiga karakter yang tidak bisa dibuat, harus watak dari orangnya langsung pas di lapangan,” imbuhnya

Kini palang pintu tidak hanya identik dengan perayaan upacara pernikahan saja. Seiring berkembangnya zaman, palang pintu juga dipakai dalam acara peresmian gedung, acara ulang tahun, penyambutan tamu penting dan lainnya. Untuk materinya sendiri akan disesuaikan dengan acara yang akan dibawakan.

Sementara itu untuk masyarakat yang ingin menanggap palang pintu untuk paket lengkap adalah sebesar Rp5 juta. Harga tersebut untuk satu set crew pemain palang pintu berjumlah enam orang, marawis, roti buaya, qori nikah, sike (pembaca Al-Quran), kembang kelapa dan manusia petasan. Untuk pementasan sendiri membutuhkan waktu 20-30 menit.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar