22 Februari 2025
18:00 WIB
"Menjinakkan" Autoimun Dengan Hati Damai
Autoimun kian banyak dialami warga dunia, termasuk Indonesia. Penyakit yang tidak bisa sembuh tak bisa diatasi kecuali dihadapi dengan rasa damai di hati.
Penulis: Arief Tirtana
Editor: Rikando Somba, Satrio Wicaksono,
Ilustrasi Penderita Penyakit autoimun. Shutterstock/Peakstock
JAKARTA - Jelang akhir dari tur band legendaris Stray Cats, kabar mengejutkan disampaikan vokalis sekaligus gitaris mereka, Brian Setzer. Dia mengaku terkena penyakit autoimun yang membuatnya tak bisa melanjutkan tur tersebut.
Dalam postingan di Instagram pribadinya, Jumat (14/2), musisi 65 tahun itu mengungkapkan bahwa ia mengalami kondisi tangan terasa kram. Meski tidak menghadirkan rasa sakit, ia merasa seakan sedang memakai sarung tangan, alhasil tak bisa memainkan gitar sama sekali.
"Menjelang akhir tur Stray Cats terakhir, saya menyadari tangan saya kram. Sejak itu, saya baru tahu kalau saya mengidap penyakit autoimun," tulis musisi rockabilly yang mencapai puncak ketenaran di tahun 80-an itu.
Dia mengatakan, kondisi tersebut memang terdengar konyol, sampai dia tidak bisa sekadar memegang pena dan mengikat tali sepatu. Untungnya, keadaan berangsur membaik.
"Saya pernah berada di titik di mana saya bahkan tidak bisa melakukan itu. Untungnya, saya punya rumah sakit terbaik di dunia yang letaknya tak jauh dari rumah saya," terang Brian.
Autoimun di Indonesia
Sebagai musisi besar dengan kemudahan akses layanan medis terbaik di dunia, seorang Brian Setzer pun tidak bisa mengontrol dan menghindari masalah yang ditimbulkan akibat autoimun. Penyakit yang dalam beberapa tahun belakangan ini semakin meningkat di berbagai belahan dunia.
Awalnya, penyakit yang berkaitan dengan sistem kekebalan tubuh ini memang lebih banyak ditemukan di negara-negara barat. Namun, prevalensi autoimun terus meningkat, terjadi di negara belahan dunia bagian timur, termasuk Indonesia.
Systemic Lupus Erythematosus atau lupus merupakan salah satu autoimun yang paling terkenal di dunia. Penyakit ini sebenarnya terdiri lebih dari 100 jenis yang menyerang berbagai organ, mulai dari kulit hingga berbagai organ dalam, seperti lambung dan hati.
Karena jenisnya banyak dan sulit teridentifikasi, hingga kini masih cukup sulit menemukan data pasti berapa jumlah penderita autoimun di Indonesia. Namun, dalam kehidupan sehari-hari, semakin mudah untuk menemukan keberadaan mereka, termasuk di media sosial.
Meryl, misalnya, menjadi salah satu penderita autoimun yang sempat membagikan ceritanya di media sosial X. Wanita 30-tahun tersebut baru tahu kalau ia mengalami penyakit autoimun dalam beberapa tahun belakangan.
Kepada Validnews, Meryl bercerita, sebenarnya ia sudah mengalami gejala-gejala autoimun sejak tahun 2019. Saat itu, ia mengalami serangan usus buntu akut dan tifus berkali-kali, membuatnya sering 'tumbang'.
Gejala-gejala tersebut berulang kali terjadi. Sampai puncaknya, pada 2021, ia kembali mengalami tifus. Mirisnya, penyakit itu disertai diare akut sepanjang tiga hari dan demam tinggi selama dua hari.
Dari situ, kecurigaan semakin menguat. Dia beranikan diri melakukan pemeriksaan mendalam hingga CT scan. Kemudian, diketahui bahwa ia mengalami penyakit autoimun berjenis crohn's disease. Penyakit radang usus kronis yang disebabkan oleh sistem kekebalan tubuh yang menyerang jaringan sehat di dalam usus.
Sama seperti yang dialami Brian Setzer, autoimun yang dialami Meryl juga membuatnya sulit beraktivitas ketika sedang kambuh. Berulang kali ia harus izin untuk menjalani perawatan. Sampai akhirnya, sebulan pasca tegak diagnosis autoimun, ia memilih untuk resign dan mencoba fokus pada menjalani UMKM.
Autoimun Semakin Meningkat
Brian dan Meryl tak sendiri. Seperti diulas di atas, di Indonesia kian banyak orang mengalaminya. Guru besar Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Prof. Ari Fahrial Syam, dalam keterangannya kepada Validnews, mengamini bahwa penyakit autoimun kini memang sudah menjadi momok bagi masyarakat kita.
Beberapa artis misalnya, menyampaikan secara terbuka kalau mereka menderita autoimun dengan berbagai macam gejala. Keterbukaan sejumlah publik figur itu akhirnya memunculkan pengetahuan di masyarakat soal penyakit tersebut.
Namun, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) periode 2017-2021 itu mengaku, munculnya informasi mengenai autoimun justru kerap menghadirkan dampak negatif. Tidak sedikit masyarakat yang melakukan diagnosis sendiri berdasarkan gejala-gejala yang dialami, mirip dengan informasi gejala autoimun yang seliweran di internet.
"Saya sebagai dokter, kadang (mendapati) pasien itu datang menyatakan ia mengalami autoimun, dan kadang dengan beberapa pemeriksaan, ternyata tidak ditemukan ada autoimun," kata Prof. Ari.
Peningkatan jumlah penderita membuahkan peningkatan kesadaran masyarakat mengenai adanya penyakit autoimun di sekitar mereka. Dirinya berpesan agar masyarakat jangan sampai melakukan diagnosa sendiri mengenai penyakit mereka.
Saat mengalami gejala apapun, pastikan apakah benar mengalami autoimun atau tidak hanya lewat pemeriksaan ke dokter. Sebab, menurutnya, membuat diagnosa mengenai penyakit autoimun itu bukanlah hal yang mudah. Perlu dilakukan beberapa kali dan dalam beberapa pemeriksaan yang berbeda.
"Artinya harus berdasarkan gejala, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, dan setelahnya harus dipastikan apakah ada gejala komplikasi akibat penyakit tersebut," terang dokter 58 tahun itu.
Penerimaan Diri
Apa yang diungkapkan Prof. Ari, sejalan dengan yang dialami Meryl. Sejak ia mengalami berbagai gejala, diagnosis tegak ia terjangkit autoimun jenis crohn's disease baru dipastikan setelah kurang lebih tiga tahun.
"Diagnosa tegaknya pada Desember 2021 lalu, tapi sebenarnya penyakitnya sudah nunjukin gejala-gejala di Januari 2019. Jadi ada gap 3 tahun," terang Meryl.
Sebagai masyarakat awam yang belum memiliki pengetahuan cukup mengenai autoimun saat itu, Meryl mengaku cukup terkejut atas diagnosis yang diberikan kepadanya. Apalagi, setelah mencari tahu melalui internet, ia mendapati informasi bahwa crohn's disease termasuk kategori langka dan tidak bisa sembuh atau chronic lifetime.
"Ya tentu saja patah hati, hati remuk, kaget, sampai nggak bisa berkata apa-apa. Ditanyain orang sakitku apa, aku juga mau jelasin dari mana bingung. Karena diriku sendiri belum bisa memahami itu sepenuhnya apa," terang wanita yang berusia awal 30 tahunan itu.
Perasaan yang sama juga diakui oleh Hani, wanita asal Yogyakarta yang didiagnosis mengalami autoimun jenis scalp psoriasis, sekitar 10 tahun lalu. Layaknya manusia pada umumnya, wanita 35 awal kaget bukan kepalang. Bahkan, ia sampai ke tahap denial.
Namun, atas nasihat dan bimbingan dokter yang menanganinya, perlahan tapi pasti Hani mulai berdamai dengan keadaan. Dia lebih memilih fokus pada langkah selanjutnya yang harus ditempuh.
"Kata dokter saya itu penyakit jangan dilawan, tapi kitanya yang harus berdamai, jadi setelah itu baru bisa menerima dan kemudian berpikir langkah apa yang selanjutnya harus ditempuh," kata Hani kepada Validnews.
Dari awal sampai saat ini, proses berdamai Hani dengan autoimun terus dijaga dengan mengondisikan diri agar tetap stabil, baik secara fisik maupun psikis. Secara fisik, autoimun yang dialami Hani membuat kulit kepala, juga area sekitar pusar, mengalami pergantian (regenerasi) lebih cepat dari orang pada umumnya. Di bagian itu juga kulitnya kerap mengalami peradangan, mengeras seperti ada sisik, dengan rasa yang amat gatal.
Selain itu di luar kulit, ia juga menjadi mudah mengalami kelelahan, meski sudah cukup istirahat. Dia juga lebih mudah juga mengalami rambut rontok dan nyeri di bagian sendi.
Dengan kondisi tersebut, cara berdamai Hani dengan merawat kulit menggunakan sampo dan salep yang diberikan dokter kulit, menjaga konsumsi makanan sesuai anjuran dokter, dan sebisa mungkin tidak menggaruk saat terjadi gatal, khususnya di bagian kepala, tempat di mana peradangan kulitnya kerap terjadi.
Selain fisik, perkara mental juga terus dijaganya. Sebab, dengan kondisi yang tidak mungkin sembuh ini, urusan mental menjadi yang paling krusial.
Hani memilih untuk bergabung ke komunitas psoriasis. Dengan komunitas ini, ia bisa bertemu dengan penyandang psoriasis, sehingga bisa saling sharing pengalaman dan saling menguatkan satu sama lain.
"Punya teman yang senasib itu juga membantu secara psikis. Di sana terkadang ada expert juga yang join, dan member bisa ikut webinar untuk menambah ilmu," kata Hani.
Masalah Psikis
Dukungan orang-orang sekitar dan lingkungan memang menjadi sesuatu yang penting bagi orang dengan autoimun (ODAI), sebab penyakit ini bukan semata menyerang fisik, namun akhirnya juga bisa mengenai psikis penderitanya.
Meryl mengungkapkan, meski orang-orang sekitarnya, termasuk di lingkungan pekerjaannya sangat suportif membantu dia ketika mengalami berbagai gejala penyakit yang berujung diagnosa autoimun. Masalah psikis masih tetap ia alami dalam proses perawatannya pasca terdiagnosa.
Karena itu, selain rutin memeriksakan diri ke dokter, minum berbagai obat, vitamin, serta rutin ke fisioterapi. Karena sendi, bahkan otot di saluran pencernaan atas dan bawahnya jadi kurang responsif akibat peradangan yang berulang, ia juga rutin datang ke psikolog dan psikiater untuk menjaga kesehatan mentalnya tetap baik.
"Karena autoimun itu ada kaitan erat dengan level stres dan kecemasan, jadi harus diawasi juga oleh psikolog dan psikiater," terangnya.
Sama seperti Hani, Meryl juga terus aktif berjejaring di komunitas ODAI. Karena dengan begitu, ia bisa mendapatkan informasi dan dukungan dari sesama penderita, agar bisa lebih ringan menjalani kehidupan yang baru, berdampingan dengan autoimun.
Karena Itu, ia juga berpesan, buat para penderita autoimun seperti dirinya, ataupun dari jenis yang lain, agar sebaiknya mencari komunitas untuk saling berbagi. Karena komunitas sama seperti keluarga dan orang terdekat, bisa menjadi support system yang penting bagi kestabilan kondisi fisik dan psikis penderita autoimun.
"Yang paling penting carilah komunitas, dukungan orang-orang terdekat, carilah support system sendiri, dan jangan lupa untuk pikirkan apa yang membuat diri senang, lakukanlah hobi-hobi, dan carilah hobi-hobi baru," pesan Meryl.
Gaya hidup yang tidak sehat, termasuk kurang olahraga, istirahat dan konsumsi makanan yang berlemak, pada akhirnya memang bisa menjadi pencetus kambuhnya serangan penyakit autoimun pada pasien. Tetapi diakui Prof. Ari, faktor stres juga tak kalah berpengaruh.
Itu lah sebabnya, support system dari orang terdekat menjadi hal yang penting, pa lagi penyakit autoimun ini bukan kategori penyakit menular. Sehingga orang-orang di sekitar penderita autoimun sama sekali tidak perlu takut untuk membantu mereka.
"Penyakit autoimun tidak menular, jadi masyarakat yang kebetulan anggota keluarganya mengalami autoimun, bisa membantu menolong orang yang mengalami penyakit tersebut," pesan Prof. Ari.
Upaya-upaya menjaga kondisi fisik dan psikis tetap stabil memang menjadi sesuatu yang sangat krusial bagi orang dengan autoimun. Sebab meski penyakitnya tidak disembuhkan, mereka tetap bisa beraktivitas seperti biasa, selayaknya orang tanpa penyakit, asal masalah fisik dan psikis itu bisa tetap terkontrol dengan baik.
"Pasien kalau sudah dalam keadaan terkontrol bisa seperti orang tanpa penyakit," kata Prof. Ari.