c

Selamat

Jumat, 29 Maret 2024

KULTURA

25 November 2021

20:51 WIB

Menjaga Martabat "Bahasa Ibu"

Membiasakan penggunaan bahasa ibu di lingkungan keluarga dan dengan memanfaatkan teknologi, dapat membuat anak muda bangga dan perlu berbahasa daerahnya.

Penulis: Andesta Herli Wijaya, Arief Tirtana,

Editor: Satrio Wicaksono

Menjaga Martabat "Bahasa Ibu"
Menjaga Martabat "Bahasa Ibu"
Ilustrasi Tulisan Aksara Jawa. Shutterstockk/dok

JAKARTA – Pada saat banyak anak muda Indonesia menggandrungi komik-komik Jepang dan novel grafis ala publisher barat, sekumpulan mahasiswi Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) justru berinisiatif membuat komik berbahasa daerah.

Buat Rizki Ajura Ayu Ningtia, Dinda Dewi, Nabila Khalisah Simamora, dan Meily Winie Manik, pilihan untuk membuat komik dengan bahasa daerah itu tak lepas dari keprihatinan mereka atas sebuah fakta. 

Mereka kerap temui banyak anak muda malu menggunakan "bahasa ibu”. Padahal, Indonesia memiliki lebih dari 700 bahasa daerah yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. 

Termasuk sembilan di antaranya yang ada di Sumatera Utara, yakni wilayah ini ada bahasa Batak Toba, Angkola, Mandailing, Melayu Deli, Melayu Pesisir, Simalungun, Karo, Nias, dan Pakpak. 

"Kita sendiri berasal dari suku Batak, tapi kita tidak bisa menggunakan bahasa Batak. ini seperti menjadi cambuk buat kita, yang nama belakangnya menggunakan marga," cerita Rizki Ajura Ayu Ningtia kepada Validnews, Senin (22/11).

Berangkat dari kesadaran itu, mereka berempat bahu-membahu membuat komik dengan judul 99,99 Komik Strip Kids Jaman Now, pada 2019 lalu. Sejak awal, mereka berkomitmen untuk memasukan sembilan bahasa daerah di Sumatra Utara itu dalam komik yang akan mereka buat.

Namun, tak mudah menyatakan niatan itu. Sejumlah kendala pun harus mereka hadapi. Salah satunya adalah mendapatkan penutur asli bahasa Nias yang tinggal di pulau sendiri, terpisah dari daratan Sumatra. 

Langkah penyesuaian pun dilakukan. Termasuk, mencari alternatif penutur bahasa Nias yang mungkin ditemui di Kota Medan, hingga memanfaatkan teknologi untuk menjalin komunikasi dengan penutur asli di Pulau Nias.

Pemanfaatan teknologi tersebut menjadi krusial bagi keberadaan komik 99,99 Komik Strip Kids Jaman Now. Bukan hanya pada proses produksi, namun juga digunakan hingga ke tahap pemasaran.

Pemanfaatan teknologi komunikasi juga jadi dominan saat menghadirkan komik itu ke dalam versi online melalui aplikasi di ponsel pintar. Upaya ini berbuah manis, hingga akhirnya komik itu menyebar ke sembilan negara, seperti Malaysia, Filipina, bahkan hingga ke dataran Eropa, Jerman dan negara tetangganya.  

"Kami bisa memasarkannya secara online, bisa lebih mudah karena ada teknologi yang canggih ini. Kami dipermudah untuk melestarikan kearifan lokal," tukas Rizki.

Pemanfaatan Teknologi
Teknologi, seperti halnya di banyak sektor lain, bisa menjadi pedang bermata dua dalam upaya melestarikan bahasa daerah. Sebagai contoh, perkembangan teknologi semakin mendukung masifnya gempuran budaya asing masuk ke Indonesia, lewat berbagai media, mulai dari film, musik, hingga berbagai konten di media sosial.

Namun sebaliknya, jika bisa memanfaatkan teknologi tersebut dengan baik, bukan mustahil upaya untuk melestarikan bahasa daerah akan bisa berjalan lebih cepat dan lebih massif, utamanya menyasar ke kalangan anak-anak muda.

Hal kedua ini yang ada di upaya Rizki dengan teman-teman lewat aplikasi komiknya, juga Komunitas Oryza Lokabasa, yang berbasis di Jakarta.

Situasi pandemi covid-19, justru menjadi pembuka jalan buat komunitas yang didirikan oleh Judianti Isakayoga, untuk memuluskan niatnya. Seri webinar “Ngobrol Asik Dengan Bahasa Daerah Jawa Ngoko” dan kelas virtual belajar ‘nembang’ dengan bahasa daerah, menggantikan berbagai kegiatan pelestarian bahasa daerah yang sebelumnya aktif mereka lakukan.

Beragam kegiatan mereka lakukan. Pertunjukan teater menggunakan bahasa Minang, Jawa, Bali dan Sunda dengan masing-masing cerita rakyatnya digelar. Film pendek yang salah satu karyanya masuk dalam nominasi 6 besar lomba film pendek Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, berjudul Bhinneka, juga dibuat di masa pandemi.

Bagi Judianti, itu semua merupakan cara paling mudah dan menarik untuk menjaga eksistensi bahasa daerah. Apalagi, di tengah prinsip modernisasi yang dianut banyak "orang-orang sekarang", yang selalu mengedepankan kepraktisan.  

Karenanya, dia mengajak orang-orang yang berempati terhadap eksistensi bahasa daerah, untuk tanpa lelah merangsang kaum muda dengan cara-cara yang kreatif.

"Sehingga tanpa sadar mereka (anak muda) sudah ikut ambil bagian dalam usaha tersebut (melestarikan bahasa daerah)," tutur perempuan yang akrab disapa Mbak Ji itu kepada Validnews, Minggu (21/11).

Sebagai Identitas
Hal itu pun diamini oleh Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin, Makassar Prof. Dr. Nurhayati Rahman. Menurutnya, teknologi dan berbagai media kekinian harus dimanfaatkan dalam upaya pelestarian bahasa daerah.

Upaya yang dilakukan harus ada transmisi dengan perkembangan dunia saat ini. Sebagai contoh, bisa dengan membuat gim menggunakan bahasa ibu atau bahasa daerah, hingga memanfaatkan media sosial populer seperti TikTok.

Sejatinya, yang paling sulit adalah bagaimana membuat generasi muda merasa butuh untuk menggunakan bahasa daerah sebagai identitas mereka. Apalagi, globalisasi telah menjadikan orang-orang merasa tidak lagi membutuhkan bahasa daerah. 

Pun, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa telah memperkirakan. Dalam kurun 25 tahun mendatang, hampir setengah dari bahasa daerah yang ada di Indonesia akan terancam punah.

"Saya pikir generasi hari ini enggak mungkin lagi balik ke masa lalu, dengan membaca manuskrip, itu enggak mungkin," tegas Prof. Dr. Nurhayati Rahman.

Upaya-upaya pelestarian tak cukup hanya dengan kebijakan pemerintah. Akan lebih efektif lagi jika upaya-upaya tersebut dilakukan dari lingkup terkecil. Sederhananya, membiasakan penggunaan bahasa daerah di keluarga. 

"Kampanyekan ke para ibu, agar menggunakan bahasa daerah di rumah. Karena itu salah satu cara untuk menanamkan kembali," imbuhnya.

Memartabatkan Bahasa
Sejalan dengan pandangan tersebut, Duta Bahasa Nasional 2021, Ivan Nurdian mengutarakan, penggunaan bahasa kedua (bahasa Indonesia) yang lebih dominan dalam lingkup keluarga, menjadi salah satu penyebab semakin terancamnya bahasa daerah.

Akan tetapi, dia tak sepakat jika kemudian banyak orang menuding bahasa Indonesia mengancam eksistensi bahasa-bahasa ibu. Justru sebaliknya, bahasa Indonesia justru hadir memperkuat eksistensi bahasa daerah itu sendiri. Banyak bahasa daerah yang kemudian diadaptasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

Menurut Ivan, pada hakikatnya setiap bahasa, baik itu bahasa Indonesia, bahasa daerah, hingga bahasa asing, sama-sama penting dan sebisa mungkin harus bisa dikuasai oleh generasi muda tanah air saat ini. Tinggal kemudian bagaimana mereka bisa menempatkan bahasa itu masing-masing, menggunakannya sesuai situasi kondisi dan dengan siapa berbicara.

Misalnya, ketika di forum Internasional, maka secara otomatis bahasa Inggris adalah pilihan yang harus digunakan. Ketika berbicara dengan orang sekitar dengan latar daerah berbeda, maka gunakan bahasa Indonesia. Kemudian, ketika berbicara dengan orang tua, kakek atau nenek di rumah, maka sudah sepatutnya juga gunakanlah bahasa daerah. Perlakuan terhadap masing-masing bahasa sesuai kepentingan dan forumnya adalah agenda memartabatkan bahasa.  

“Memartabatkan bahasa itu sangatlah penting. Artinya ketika kita telah menggunakan bahasa tersebut dalam porsi yang baik, maka kita memberikan penghargaan atas identitas yang kita miliki," kata Ivan.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentar Login atau Daftar





TERPOPULER