23 Oktober 2025
16:24 WIB
Menjaga Eksistensi Budaya Bali Di Tengah Perubahan Konsep Pariwisata
Seiring dengan terus berkembangnya arus globalisasi, dikhawatirkan konsep wisata budaya di Bali turut memudar. Padahal budaya Bali menjadi megnet buat bagi para wisatawan.
Editor: Satrio Wicaksono
Tari Kecak Uluwatu di kawasan Uluwatu, Badung, Bali. ANTARAFOTO/Fikri Yusuf
JAKARTA - Budaya Bali sudah lama tersohor di dunia, menjadi salah satu faktor utama tingginya kunjungan wisatawan mancanegara ke Pulau Dewata. Namun seiring dengan kemajuan teknologi infornasi dan arus globalisasi, dikhawatirkan memengaruhi kehidupan bermasyarakat orang Bali.
Meski tidak mungkin kembali kepada romansa masa lalu, tapi setidaknya jangan larut dalam perilaku komersialisasi pariwisata yang mengerus konsep kebudayaan.
Hal itu yang ditekankan oleh Majelis Kebudayaan Bali (MKB) dalam Pasamuhan Alit Kebudayaan Bali 2025, yang menyoroti eksistensi makna pariwisata budaya di Bali.
"Kita meredefinisi kembali tentang makna industri pariwisata budaya, sebab hari ini semakin kehilangan taksunya, bertujuan menyadarkan masyarakat Bali agar berintrospeksi tentang pentingnya pemahaman atas makna tanah dan natah dalam konteks budaya Bali," kata Ketua Harian MKB, Komang Sudirga di Denpasar, seperti dikutip dari Antara, Kamis (23/10)..
Ia mencontohkan, saat ini sudah terlihat carut-marut pembangunan yang bisa menjadi bumerang bagi warisan kebudayaan Bali. Karena itu, penting untuk mewujudkan upaya pelestarian, pengembangan, pemanfaatn serta pengarusutamaan, guna menjaga ruh, jati diri, dan kesejahteraan masyarakat Bali.
"Mengingatkan seluruh masyarakat Bali agar meningkatkan rasa wirang, patriot membela, membentengi dan menjaga budaya Bali dari pengaruh negatif arus gelombang budaya asing yang semakin tak terbendung," ujarnya.
Guru Besar Ilmu Pariwisata Universitas Udayana, I Gde Pitana menyatakan, Bali masih menganut pariwisata budaya, antara lain dibuktikan dari menghitung indikator aspek statis, dinamis, dan konsekuensial. Meski demikian, semkain banyak pula pembangunan yang mengatasnamakan pariwisata, justru mendegradasi konsep budaya itu sendiri.
Dia mencontohkan, semula banyak wisatawan yang berkunjung ke bali untuk mencari desa wisata tradisional, kegiaatan keagamaan, atau menonton kecak. Tapi kini berubah menjadi wisata kelab pantai, yang perlahan sudah menjadi bagian dari Bali.
"Bali tetap menjadi destinasi pariwisata budaya, seperti Singapura yang terkenal aman apakah sampai Singapura wisatawan mencari keamanan, tentu tidak, begitu pula orang datang ke Bali yang terkenal dengan budaya, apakah datang mencari kebudayaan, tidak karena kebudayaan sudah menjadi atmosfer dalam alam Bali," ujarnya.
Berdasarkan penelitiannya, sambung Pitana, ketika wisatawan tiba di Bali, baik tujuan pekerjaan maupun wisata modern, mereka tidak akan terlepas dari menikmati kebudayaan Bali, sekadar melihat atraksi budaya atau menetap di desa wisata.
Pitana memberi rekomendasi kepada MKB yang merupakan bagian dari Dinas Kebudayaan Bali, agar mempertahankan konsep pariwisata budaya ini dengan regulasi yang kuat.
"Perda Standarisasi Penyelenggaraan Pariwisata Bali tetap harus mempertahankan pariwisata budaya, berbagai dampak negatif itu wajar, tidak ada pembangunan apapun tanpa dampak negatif," kata dia.
Ia mengatakan akademisi turut mendorong kebijakan dalam hal pariwisata dikelola Pemerintah Provinsi Bali, tidak diserahkan ke kabupaten/kota masing-masing, maka pengaturan akan lebih terkontrol.