17 Juni 2022
11:02 WIB
Penulis: Andesta Herli Wijaya
Editor: Rendi Widodo
JAKARTA - Ternate dan Tidore menjadi salah satu titik penting dalam Muhibah Budaya Jalur Rempah 2022 yang dihelat Kemdikbudristek tahun ini.
Pelayaran para peserta muhibah bersama kapal layar, singgah di titik ini untuk meraba jejak peradaban rempah yang jaya di masa lalu.
Di tempat ini, ada satu item rempah yang sampai hari ini menjadi primadona, tanaman endemik Maluku Utara, cengkih.
Sejarah telah mencatat bagaimana pengaruh rempah-rempah dari Nusantara, termasuk di dalamnya cengkih dalam memengaruhi peradaban dunia.
Kedatangan Laskar Rempah ke Maluku Utara dilakukan untuk melihat berbagai jejak kejayaan yang dihasilkan dari perdagangan cengkih masa silam.
Pemuda-pemudi terpilih yang berasal dari 34 provinsi berbeda ini diajak mengunjungi beberapa cagar budaya serta perkebunan cengkih dan pala di Desa Tubo, Kota Ternate.
Di desa ini, peserta berdialog dengan petani cengkih serta berkesempatan untuk memanennya dan mencicipi rempah istimewa tersebut.
Di desa yang mayoritas penduduknya berprofesi sebagai petani cengkih, peserta bisa melihat rekatnya masyarakat dengan rempah dan turut melestarikannya dari dulu hingga saat ini.
Tokoh masyarakat Desa Tubo, yakni Haji Ade Safar, menjelaskan bahwa sampai sekarang masih ada sistem adat yang masyarakat jalankan terkait penanaman cengkih.
“Setelah cengkih dan pala panen, ada sistem bagi hasil yang kemudian disedekahkan ke masjid karena masyarakat Tubo percaya bahwa ada bagian dari orang lain dari setiap cengkih yang mereka hasilkan,” ungkap Ade, dikutip dari siaran pers Jumat (17/6).
Sejarawan dan budayawan Ternate, Zainuddin Muhammad Arie, mengatakan bahwa pada masa lalu, cengkih digunakan sebagai obat.
Daun cengkih sejak lama telah dimanfaatkan sebagai obat herbal yang cukup ampuh bagi orang-orang Maluku.
“Jadi, daun cengkih diambil dan dijadikan obat sehingga ada kemungkinan besar orang orang Maluku mempertahankan dan melestarikannya karena dia menjadi obat yang sangat baik bagi masyarakat setempat pada saat itu,” ungkap Zainuddin.
Zainuddin menjabarkan tentang cengkih yang menjadi filosofi hidup masyarakat Maluku Utara, khususnya Ternate. “Doka gosora se bualawa. Om doro fo mamote. Foma gogoru, foma dodara” yang berarti kehidupan bermasyarakat layaknya cengkih dan pala yang masak (hidup) dan gugur (mati) bersama-sama.
Sebagai budayawan, Zainuddin berharap masyarakat Maluku Utara bisa mengembalikan lagi cengkih sebagai bagian mendasar dari kehidupan masyarakatnya hari ini. Tak sekadar sebagai komoditas, menurutnya, cengkih harus dipahami sebagai identitas budaya.
“Setiap hari bergaul dengan cengkih, di makanan kita, di obat-obatan kita. Kalau kita mengembalikan lagi cengkih sebagai tanaman budaya atau tanaman identitas, maka mungkin kita akan mempertahankan cengkih. Oleh karena itu, jangan lihat cengkih sebagai barang komoditi, tapi sebagai tanaman budaya,” pungkasnya.