c

Selamat

Senin, 17 November 2025

KULTURA

06 Juli 2024

12:33 WIB

Mengunjungi Destinasi Bersejarah Kota Tua Ampenan Di Lombok

Pada zaman pendudukan Belanda, Ampenan menjadi wilayah yang sibuk dengan aktivitas perdagangan dan pelabuhan, sehingga membuatnya lebih tersohor dibanding Mataram.

Penulis: Siti Nur Arifa

Editor: Satrio Wicaksono

<p>Mengunjungi Destinasi Bersejarah Kota Tua Ampenan Di Lombok </p>
<p>Mengunjungi Destinasi Bersejarah Kota Tua Ampenan Di Lombok </p>

Ampenan yang pada tahun 1948-1950 pernah menjadi pusat perkonomian dan perdagangan penting di pulau Lombok saat ini terus berbenah untuk menjadi kota tujuan wisata. ANTARAFOTO/Ahmad Subaidi

JAKARTA - Berwisata ke Lombok jangan hanya fokus pada objek wisata alam berupa pantainya saja. Di wilayah yang dijuluku Pulau Seribu Masjid ini, nyatanya terdapat destinasi bersejarah yang pada masa lampau bahkan lebih terkenal dibanding Kota Mataram, yakni Kota Tua Ampenan.

Berada di sisi sebelah barat pesisir Pulau, kawasan Kota Tua Ampenan hanya berjarak sekitar 6 kilometer, atau dapat ditempuh dalam waktu 10 menit dari pusat Kota Mataram.

Dulunya, Kota Ampenan menjadi wilayah yang sibuk sejak zaman Belanda dengan aktivitas perdagangan dan pelabuhan.

Bertepatan dengan kegiatan tersebut, nama Ampenan sendiri diambil dari kata 'Amben' yang dalam Bahasa Sasak, artinya tempat persinggahan.

Ampenan yang merupakan wilayah pelabunan dibangun lada tahun 1924, dan yelah menjadi tempat singgah bagi berbagai suku bangsa.

Saat masa kejayaannya, Ampenan jadi wilayah yang sangat sibuk. Di tempat ini perekonomian terus berputar dan menjadi pusat bisnis, lantaran berperan sebagai gerbang utama keluar masuknya bahan-bahan keperluan perdagangan di Lombok dan Bali.

Sementara itu sejarawan Sudirman Bahri dalam bukunya “Studi Sejarah dan Budaya Lombok” mengungkap jika Ampenan merupakan pusat kota Lombok ketika Pemerintah Hindia Belanda menunjuknya sebagai Afdeeling atau wilayah administrasi setingkat kabupaten berdasarkan Staatbald nomor 181 tahun 1895 tertanggal 31 Agustus 1895.

Melalui peraturan tersebut, kemudian pihak kolonial menjadikan Pulau Lombok sebagai bagian dari Karesidenan Bali dengan Ampenan sebagai pusat kegiatan jasa dan perdagangan.

Setidaknya hingga tahun 1973, aktivitas pelabuhan di Ampenan terhenti karena kondisi gelombang laut dinilai kurang bersahabat, sehingga segala aktivitas berpindah ke pelabuhan Lembar.

Miniatur Indonesia

Karena banyaknya pelaku perdagangan dari berbagai latar belakang yang datang ke Ampenan di masa lampau, hal tersebut juga berpengaruh terhadap keragaman etnis yang tinggal di kawasan tersebut selama beberapa waktu.

Dikutip dari Indonesia.go.id, wilayah yang memiliki sebanyak 10 kelurahan ini dikenal juga sebagai miniatur Indonesia lantaran penduduknya datang dari beragam suku di Nusantara, dan membentuk komunitas sendiri.

Beberapa komunitas yang terbentuk di antaranya adalah Kampung Jawa, Kampung Tionghoa, Kampung Bugis, Kampung Melayu, Kampung Banjar, Kampung Bajo, Kampung Arab, dan Kampung Bali.

Selain itu, di kawasan Ampenan juga banyak terdapat bangunan peninggalan penjajahan Hindia Belanda berusia lebih dari seabad.

Memang, lantaran dulunya berstatus sebagai pusat bisnis, pihak Hindia Belanda melengkapi Ampenan dengan kantor bank, bioskop, pasar, rumah ibadah, kantor dagang, pemukiman kelas menengah dan rumah-rumah pejabat Belanda. Adapun Ciri khas bangunan-bangunan kolonial di Ampenan adalah dindingnya yang sangat tebal bergaya art deco.

Di masa kini, kawasan Kota Tua Ampenan menjadi daya tarik wisata tersendiri dalam hal sejarah. Kebanyakan bangunan sudah ada sejak tahun 1800-an dan masih terjaga keasliannya hingga kini, kalaupun dilakukan renovasi, hanya perbaikan kecil seperti mengecat ulang dan tidak mengubah bentuk bangunan asli.

Wisatawan yang berkunjung ke Kota Tua Ampenan dapat menikmati suasana kota jadul dengan berjalan-jalan ke simpang luma kota tua. Di sini juga terdapat kendaraan tradisional Lombok berupa kereta kuda bernama cidomo, yang dapat dinaiki untuk berkeliling.

Di sini wisatawan juga dapat menyaksikan aktivitas warga sehari-hari. Misalnya saat kebanyakan Suku Bugis berprofesi sebagai nelayan, warga Arab dan Tionghoa kebanyakan berdagang, sedangkan Suku Sasak kebanyakan membuka warung makan di bekas pelabuhan.

Selain itu, wisatawan juga dapat mengunjungi Wihara Bodhi Darma, sebuah rumah ibadah yang didirikan tahun 1804 ini menariknya berada di depan Kampung Melayu, yang justru didominasi umat Muslim.

Setelah lelah berkeliling, wisatawan dapat beristirahat sembari mengisi perut di salah satu restoran bernama Rumah Makan Ramayana yang telah terkenal sejak tahun 1976. Tempat ini menyediakan es campur yang populer dan beragam menu menyegarkan lain seperti es buah, es kacang hijau, dan es teler durian.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar