06 Agustus 2024
13:52 WIB
Mengulik Penyebab Insomnia Kronis Dan Cara Mengatasinya
Banyak orang mungkin pernah mengalami gangguan tidur atau insomnia, jika terus berlarut dengan intensitas yang tinggi maka masuk dalam kategori insomnia kronis. Apa gejala dan mengatasinya?
Editor: Satrio Wicaksono
Ilustrasi Seseorang Menghitung Domba Sebelum Tidur. Sumber Foto: Shutterstock/dok
JAKARTA - Sebagian besar orang di dunia pasti pernah mengalami insomnia, atau gangguan tidur yang bisa menyebabkan kelelahan dan kekurangan energi serta memengaruhi kesehatan fisik dan mental.
Secara umum, seperti dijabarkan oleh Juru bicara American Academy of Sleep Medicine (AASM), Indira Gurubhagavatula, insomnia adalah kondisi saat seseorang mengalami kesulitan untuk tidur atau tetap tertidur namun bangun lebih awal dari yang diinginkan. Dalam tahapannya, ada yang disebut dengan istilah insomnia akut atau kronis.
Menurut Gurubhagavatula yang juga profesor kesehatan tidur dari University of Pennsylvania Perelman School of Medicine itu, insomnia akut bisa berlangsung selama beberapa hari atau bahkan mingguan. Salah satu pemicunya adalah tingkat stres seseorang. Kondisi tersebut, lanjutnya, bisa hilang seiring dengan berlalunya masa stres yang dialami.
"Banyak orang yang mengalami apa yang disebut insomnia akut atau insomnia penyesuaian, biasanya dalam merespons situasi yang menimbulkan stres," katanya, seperti dilansir Health.
Gurubhagavatula menyampaikan, insomnia dapat menjadi kronis jika berlangsung selama tiga bulan atau lebih, dan terjadi setidaknya tiga kali seminggu. Insomnia kronis juga terjadi jika serangan insomnia berlangsung kurang dari tiga bulan tetapi terus-menerus kambuh selama beberapa bulan atau tahun.
Selain itu menurutnya, seseorang bisa disebut mengalami insomnia kronis jika mereka terus menerus mengonsumsi obat-obatan agar bisa tertidur dan merasa tidak bisa tidur tanpa bantuan pil tidur.
Mereka yang mengalami insomnia kronis mungkin akan merasakan ketidakpuasan tidur, kurang tidur, kecemasan tentang tidur, lelah pada siang hari, lesu, kurang energi, mengantuk, sakit kepala, mudah tersinggung, sakit dan mual, dan tertidur saat mengemudi.
Senada, psikolog klinis dan ahli gangguan tidur di South Psychology di Colorado, Nathan Baumann juga mengungkapkan, stres, kecemasan, dan kekhawatiran bisa menimbulkan gangguan ritme sirkadian seseorang. Hal ini erat kaitannya dengan insomnia.
"Satu komponen penting dari tidur adalah ritme sirkadian, yakni siklus energi dan rehat yang dialami tubuh kita sehari-hari," kata Baumann seraya mengungkapkan bahwa gangguan ritme sirkadian bisa menimbulkan disrupsi jangka panjang.
Baumann menjelaskan, gangguan tidur dapat didiagnosis sebagai insomnia kronis jika sudah mencapai tingkat yang menimbulkan tekanan atau gangguan signifikan dalam hubungan sosial, pekerjaan, pendidikan, atau area penting lain dalam kehidupan sehari-hari.
Deteksi Insomnia Kronis
Sementara, psikolog berlisensi dan pendiri Anxiety and Behavioral Health Psychotherapy di New York, Shmaya Krinsky, mengemukakan perlunya pemantauan masalah tidur untuk menentukan apakah seseorang mengalami insomnia kronis.
Krinsky mengatakan, gejala yang mesti diperhatikan, antara lain, butuh waktu lebih dari 30 menit untuk tertidur setidaknya tiga malam dalam seminggu, sering terbangun atau terjaga dalam jangka waktu lama pada malam hari, serta mengalami stres, gangguan suasana hati, kesulitan berkonsentrasi, atau kesulitan mengingat sesuatu.
Apabila gejala-gejala itu berlangsung terus menerus, ia melanjutkan, maka sebaiknya segera berkonsultasi dengan tenaga kesehatan profesional, seperti dokter di fasilitas kesehatan primer atau spesialis tidur. "Mereka dapat menyingkirkan kemungkinan kondisi medis atau psikologis lain yang dapat menyebabkan gejala tersebut," katanya.
Cara Atasi Insomnia Kronis
Menurut AASM, pengobatan paling efektif untuk insomnia kronis adalah terapi perilaku kognitif untuk insomnia atau CBT-I.
Gurubhagavatula menyebutkan, ada banyak orang yang datang ke dokter kesehatan tidur dengan harapan bisa segera mengatasi gangguan dengan satu pil. Padahal, terapi lini pertama untuk insomnia bukan pil, melainkan CBT-I.
Pendekatan terapi ini biasanya berlangsung selama enam hingga delapan sesi, serta mencakup perubahan perilaku dan strategi kognitif. Meskipun penanganannya bisa berbeda untuk setiap orang, terapi dapat meliputi upaya tidur pada waktu yang sama setiap malam, bangun dari tempat tidur saat tidak bisa tidur, dan mengelola rasa takut tidak bisa tidur.
Orang dengan insomnia bisa melengkapi terapi dengan praktik higiene tidur yang lebih baik, seperti mengurangi konsumsi kafein, menikmati paparan cahaya matahari pada pagi dan sore hari, olahraga teratur, menghindari rokok dan minuman beralkohol, serta menetapkan waktu tidur dan bangun reguler.
Menurut Gurubhagavatula, penting pula untuk menjaga lingkungan kamar tidur sejuk, gelap, tenang, dan nyaman.
"Dan usahakan untuk menghindari cahaya terang selama satu jam sebelum tidur. Jika Anda memiliki nyeri kronis, refluks asam lambung, atau kondisi kesehatan lain yang membuat Anda tidak bisa tidur, konsultasikan masalah ini dengan dokter," katanya.