28 Januari 2022
18:04 WIB
Penulis: Andesta Herli Wijaya
Editor: Satrio Wicaksono
JAKARTA – Galeri Nasional (Galnas) Indonesia bekerja sama dengan Goethe Institut Indonesia resmi membuka pameran luring perdananya di tahun 2022. Bertajuk “Para Sekutu yang Tidak Bisa Berkata Tidak”, pameran itu menampilkan karya koleksi dari berbagai latar waktu penciptaan yang dikurasi oleh seniman Grace Samboh.
Pameran ini seolah membuka pintu bagi publik untuk melihat lagi koleksi-koleksi Galnas yang selama ini tersimpan, atau jarang dipamerkan kepada publik. Sebagian dari karya-karya tersebut merupakan ciptaan seniman terkemuka di Indonesia serta luar negeri yang disimpan Galnas.
“Sejarah seni rupa di Indonesia, nggak mungkin punya satu versi tapi banyak versi. Kalau nengok ke gudang Galnas itu kira-kira ada apa ya? Mungkin saya berangkatnya dari situ, penasaran kalau melihat koleksi Galnas itu apa sih yang akan kita temukan,” ungkap Grace tentang dorongan awal praktik kuratorialnya, saat bincang-bincang di Galeri Nasional, Kamis (27/1).
Selain menampilkan koleksi Galnas, pameran ini juga menghadirkan koleksi dari institusi mitra dari negara Singapura, Thailand, Vietnam dan Jerman.
Pameran yang digelar di Gedung A kompleks Galeri Nasional Indonesia, Jakarta Pusat, memamerkan karya-karya lukisan, foto maupun instalasi, yang terbagi ke dalam 5 tema yaitu Guyub, Keberpihakan, Kenduri, Kekerabatan dan Daya.
Saat memasuki pameran, pengunjung langsung bertemu ruang Kenduri. Instalasi berjudul Unsubtitled (2010-2013) karya seniman Nguyen Trinh Thy, menjadi salah satu yang dipamerkan. Karya yang menampilkan set instalasi tempat duduk sekaligus makan ini merupakan koleksi dari Singapore Art Museum.
Dalam konteks penciptaannya, karya ini merupakan pernyataan si seniman tentang posisi pokok makanan bagi seluruh umat manusia. Bahwa di hadapan makanan, semua orang adalah sama, tak ada lagi pembeda politik, sosial maupun budaya.
Pemaknaan itu ditarik ke konteks Indonesia oleh kurator Grace, dengan menggambarkan instalasi tersebut sebagai ruang bagi Sukarno dan Hatta yang tengah duduk di Gedung Agung. Keduanya saat itu lepas dari posisi politiknya, lepas dari konteks revolusi, lalu hadir secara harfiah sebagai manusia dengan makanannya.
Agak ke dalam ruang pameran, ada ruang Keberpihakan. Di sini, pengunjung bertemu karya seniman Dolorosa Sinaga yang berjudul “Solidarity”. Karya ini menggambarkan sekelompok perempuan yang berbaris sambil mengepalkan tangan.
Karya Dolorosa yang dibuat tahun 2002 ini merepresentasikan suara perlawanan perempuan. Karya ini secara spesifik merespon peristiwa di sekitar tahun reformasi, di mana banyak perempuan menjadi korban kejahatan penganiayaan dan pemerkosaan. Untuk itu, sang seniman menyerukan perlunya solidaritas.
Masih di ruang yang sama, Paduan Suara yang Tidak Bisa Berkata Tidak oleh S. Teddy D, menjadi karya tumpuan kuratorial pameran ini. Karya ini berupa instalasi jejeran kepala ayam berwarna kuning, dengan latar audio suara ayam yang monoton, dan latar pemandangan foto si seniman di dinding.
Grace menjelaskan, karya ini merupakan suara si seniman tentang situasi di tahun 1997. Ketika itu, menjelang pemilu, dan partai Golkar yang berwarna kuning dibayangkan hampir pasti akan menang lagi.
Di zamannya, karya ini merupakan kritik terhadap absennya suara oposisi di pemerintahan maupun negara. Semua orang berada dalam rumah besar Golkar, dan selalu berkata “iya” terhadap Soeharto.
Namun sang seniman juga menghadirkan dirinya melalui potret yang digantung di belakang instalasi. Seolah ingin memberi kesan, betapa ia juga bagian dari suara yang tidak bisa berkata tidak.
“Kritik sosial tapi kayak memasukkan juga dirinya sendiri ke dalam karyanya. Di samping potretnya dia ternyata cermin. Jadi dia bukan cuma menunjuk dirinya sebagai bagian dari paduan suara yang tidak bisa berkata tidak ini, tapi dia juga sedang melibatkan kita, kita juga nggak bisa enggak,” papar Grace.
Karya lainnya tampil di ruang tema Kekerabatan, di mana ada lukisan Basuki Abdullah yang berjudul "Kakak dan Adik", serta karya Fadjar Sidik yang berjudul "Father and Daughter". Ada juga karya foto dari Ary “Jigmed” Sendy di ruang Guyub yang berjudul "Traces of Home", yang merekam dengan baik jejak penggusuran atas nama pembebasan lahan dalam proyek Banjir Kanal Timur.
Tentu masih banyak karya lainnya yang meramaikan pameran ini. Sebagiannya merupakan karya dari seniman-seniman ternama Indonesia, maupun dari luar negeri. Mulai dari Henk Ngantung, Agus Suwage, Danarto, Edhi Sunarso, Emiria Sinaga, Bruce Nauman, Ho Tzu Nyen hingga Walter Spies.
Pameran "Para Sekutu yang Tidak Bisa Berkata Tidak" merupakan bagian dari program jangka panjang Goethe Institut bertajuk Collecting Entanglements and Embodied Histories. Sebelumnya, rangkaian program ini telah bergulir di berbagai negara dalam bentuk pameran-pameran. Sementara pameran di Galeri Nasional adalah rangkain terakhir dari pameran dalam program tersebut.
Pameran luring pertama Galeri Nasional ini juga diramaikan dengan sejumlah program lainnya, mulai dari workshop, nobar, tur sepeda menyusuri Banjir Kanal Timur bersama Ary Jigmed hingga lokakarya bunyi bersama Nayamullah.
Pameran "Para Sekutu yang Tidak Bisa Berkata Tidak" bisa dikunjungi setiap hari, mulai pukul 10.00 WIB s.d. 19.00 WIB. Sebelum berkunjung, masyarakat perlu melakukan registrasi terlebih dahulu melalui situs galnas-id.com.