23 Maret 2022
15:35 WIB
Penulis: Andesta Herli Wijaya
Editor: Rendi Widodo
JAKARTA – Kemajuan teknologi digital mengantarkan manusia ke era baru, era di mana realitas bisa direkayasa lewat data-data digital. Semesta meta kini tumbuh sedemikian rupa di dalam jalinan data digital, menghadirkan semesta alternatif tempat manusia bisa ‘hidup’ layaknya dalam realitas fisik sehari-hari.
Kunci dari semua penciptaan realitas virtual itu yaitu 'data'. Berbagai perusahaan teknologi membuat dunia virtual-nya sendiri berkat jaringan big data. Ada kota virtual, yang mengkonversi beragam data fisik lanskap suatu kota menjadi data digital untuk dihadirkan ke dalam dunia virtual atau platform metaverse.
Big data menjadi kunci segalanya di era semesta virtual. Tanpa itu, tak ada realitas maya sebagaimana yang hari ini bisa kita nikmati, seperti pada gim ataupun platform-platform penjelajahan virtual.
Nah, bicara big data, istilah ini ternyata tidak sepenuhnya hanya milik masyarakat digital saja. Jauh sebelum kehidupan modern berkembang, masyarakat tradisional Jawa nyatanya juga sudah memiliki kesadaran big data.
Seperti diungkapkan Goenawan Sambodo, pegiat budaya asal Yogyakarta yang aktif dalam dunia arkeologi. Ia mengatakan, primbon yang mencatat temuan-temuan, kalkulasi atau perhitungan-perhitungan hari ke serta beragam hal lainnya, adalah ‘big data’ yang menjadi salah satu basis realitas kebudayaan Jawa.
“Orang-orang kita sebenarnya sejak zaman dulu sebenarnya sudah punya big data. Cuman istilahnya orang-orang dulu mempunyai primbon. Primbon itu kan sebenarnya adalah big data juga, bagaimana satu data dari satu tempat dikumpulkan kemudian dituliskan dalam sebuah naskah yang menjadi sebuah kekayaan budaya,” ungkap Goenawan dalam sesi diskusi daring ‘Borobudur Metaverse’, Selasa (22/3).
Goenawan membicarakan big data dalam konteks isu pelestarian dan pengembangan cagar budaya di Indonesia di era metaverse. Menurutnya, para pegiat budaya maupun pengelola cagar budaya hari ini harus membuka diri terhadap pergeseran era dari yang fisik ke yang virtual.
Agar bisa memanfaatkan teknologi virtual untuk tujuan pelestarian, lagi-lagi data-data yang kemudian terkumpul sebagai big data, adalah basis dari segalanya. Data-data aset, terutama dalam format tiga dimensi, memungkinkan suatu benda cagar budaya untuk dilihat, diteliti dan dihadirkan ke dalam realitas virtual atau metaverse.
Indonesia memiliki banyak benda cagar budaya atau warisan budaya yang sebenarnya adalah data yang bila dikumpulkan akan menjadi big data yang signifikan. Begitu pula primbon, yang menyimpan data-data pengetahuan, perspektif terhadap alam, dan pengamatan leluhur yang mewujud ke dalam naskah, menjadi basis penting dari kebudayaan leluhur Jawa masa lalu.
“Ketika bicara tentang bagaimana ke depannya metaverse ini, kita nggak usah terlalu muluk mengumpulkan data dari mana-mana, bacalah primbon itu. Dari situ kita bisa membuat contoh-contoh tertentu untuk kemudian kita kembangkan,” ucapnya.