c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

KULTURA

29 April 2024

19:29 WIB

Mengenal Desa Wisata Jatiluwih Yang Siap Sambut Delegasi WWF 2024

Dikenal dengan daya tarik persawahan milik petani lokal, Desa Jatiluwih telah menjadi salah satu representasi pariwisata berkelanjutan di Indonesia.

Penulis: Siti Nur Arifa

Editor: Rendi Widodo

<p>Mengenal Desa Wisata Jatiluwih Yang Siap Sambut Delegasi WWF 2024</p>
<p>Mengenal Desa Wisata Jatiluwih Yang Siap Sambut Delegasi WWF 2024</p>

Pemandangan udara Desa Wisata Jatiluwih. Dok. Jadesta

JAKARTA - Segera berlangsung selama satu pekan lebih pada tanggal 18-25 Mei mendatang, ada banyak objek wisata di Bali yang akan tersorot selama pelaksanaan World Water Forum ke-10, salah satunya adalah Desa Wisata Jatiluwih yang akan menjadi destinasi kunjungan yang didatangi para delegasi dari berbagai negara.

Mengenal lebih dalam mengenai potensinya, Desa Jatiluwih merupakan desa yang telah ditetapkan oleh UNESCO sebagai warisan budaya dunia pada 2012.

Desa ini merupakan representasi dari pengembangan pariwisata Indonesia di masa depan, yaitu pariwisata yang berbasis keberlanjutan lingkungan (sustainable tourism), lewat keberadaan sistem pengairan sawah tradisional yang dikenal dengan nama Subak.

Berada di Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan, Desa Jatiluwih kerap dianggap sebagai permata geografis dan budaya yang tersembunyi di lereng Batukaru, dengan ketinggian kurang lebih 685 meter di atas permukaan laut.

Bukan hanya itu, Desa Jatiluwih juga dikelilingi oleh hutan lindung seluas 24 hektar yang menjadi rumah bagi berbagai spesies flora dan fauna endemik, di antaranya adalah berbagai jenis burung langka dan hewan seperti Kukang Jawa, yang sering terlihat oleh pengunjung saat mendaki atau bersepeda melalui jalur setapak yang membelah hutan dan sawah.

Bicara mengenai komoditas utama hasil pertaniannya, Desa Jatiluwih dikenal dengan hasil beras lokal berjenis beras merah dengan kualitas terbaik di wilayah Bali.

Menariknya, beras merah di desa ini tidak hanya dapat diolah menjadi makanan dalam bentuk nasi yang pulen. Di Jatiluwih, beras merah diolah menjadi segelas teh yang nikmat, sebagai minuman kaya nutrisi yang berkhasiat.

Bagi masyarakat setempat, teh beras merah Jatiluwih diketahui mengandung karbohidrat kompleks yang memberikan tenaga lebih banyak dan menjaga perut terasa kenyang dalam waktu lebih lama.

Teh ini juga terbukti memiliki sejumlah manfaat seperti membantu menurunkan berat badan, menjaga keseimbangan gula darah, menurunkan kolesterol, dan sebagai sumber antioksidan.

Tentu selain beras merah, terdapat juga komoditas pertanian lain seperti kopi, durian, ketela, hingga talas.

Ketua DTW Desa Wisata Jatiluwih, Ketut Purna Jhon, menyampaikan bahwa Jatiluwih merupakan destinasi wisata yang dimiliki oleh personal. Hal ini karena daya tarik utamanya adalah persawahan yang dimiliki oleh banyak petani setempat.

“Jadi, kami berusaha untuk merangkul petani-petani setempat untuk bersama-sama mendukung program besar ini karena pengembangan pariwisata di Jatiluwih ini tidak bisa dilakukan sendiri-sendiri. Perlu keterlibatan banyak pihak, terutama petani setempat, untuk akhirnya nanti menggerakkan ekonomi lokal,” papar Purna, dikutip dari laman Kemenparekraf.

Karena perkebunan menjadi modal dan daya tarik utama dalam hal wisata, tak heran jika aktivitas yang ditawarkan ditawarkan kepada wisatawan juga berhubungan dengan perkebunan, dan kegiatan sampingan dengan lingkungan yang didukung dengan karakter desa, seperti trekking sambil menikmati keindahan rice terrace, bersepeda, demo masak, serta berkunjung ke perkebunan kopi, alpukat, dan durian.

Biasanya, masyarakat setempat juga menawarkan pembelajaran terkait pertanian, subak, dan aktivitas lainnya sebagai paket wisata. Wisata edukasi ini sangat cocok jika Sobat Parekraf berkunjung bersama anak-anak.

Terkait perannya dalam menyambut delegasi WWF di bulan Mei mendatang, Purna mengungkap jika nantinya desa wisata Jatiluwih akan dihias dengan banyak penjor. Selain itu, para delegasi juga akan disambut dengan tari tradisional Bali yakni Tari Rejang, yang diiringi dengan musik tumbuk lesung.

“Jika memungkinkan, kami juga akan menyuguhkan Jaje Laklak kepada delegasi World Water Forum. Jaje Laklak ini mirip seperti kue serabi, tetapi dibuat dengan bahan dari beras merah,” ungkap Purna.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar