05 Desember 2024
20:30 WIB
Mengejar Citra Ramah Lingkungan Industri Perawatan Kulit
Produk perawatan kulit secara perlahan bergeser ke arah ramah lingkungan. Praktik greenwashing mengintai dan mahar yang tinggi menjadi kerikil di pasar.
Penulis: Gemma Fitri Purbaya
Editor: Rikando Somba
Ilustrasi perawatan kulit. Unsplash
JAKARTA – Memiliki kulit bersih, sehat dan glowing adalah dambaan semua orang, khususnya kaum hawa. Tidak terkecuali bagi Yuni (35), wanita asal Tangerang yang sehari-hari bekerja di Jakarta. Naik transportasi umum seperti kereta, Transjakarta, sampai ojek online dilakoninya setiap hari untuk mencapai tempat kerja.
Debu, asap rokok dan kendaraan dihadapinya tanpa henti, yang mau tidak mau memengaruhi kesehatan kulitnya.
Dari sana, Yuni mulai rajin melakukan perawatan kulit. Dua kali sehari, di pagi dan malam hari ia melakukan ritual membersihkan muka dengan facial wash, mengaplikasikan toner, serum vitamin C, pelembap, dan ditutup dengan tabir surya agar kulitnya terlindungi dari paparan sinar ultraviolet.
Kalau aktivitasnya lebih banyak di luar ruangan, Yuni kerap menimpali rutinitas perawatan kulitnya dengan aplikasi CC Cream atau foundation dengan SPF tambahan sebagai bentuk ikhtiarnya dalam merawat kulit.
Namun seiring berjalannya waktu, ia menyadari bahwa krisis iklim semakin nyata dan terasa dampaknya bagi pribadinya. Mulai dari perubahan cuaca, panas ekstrem, hujan ekstrem, sampai bencana alam yang terjadi terus menerus.
Dari sana, Yuni pun mulai mencari tahu apakah ada hal yang bisa dia sumbangkan sebagai salah satu manusia yang tinggal di Bumi. Pencariannya membuahkan hasil, dan dimulai dari hal kecil yang melibatkan kebiasaannya dalam merawat kulit.
“Dari sana aku ngerasa penting menggunakan produk yang ramah lingkungan demi kulit sehat dan menjaga Bumi dari dampak global warming. Apalagi saat ini sudah banyak produk perawatan kulit lokal dari bahan alami yang sesuai dengan jenis kulit aku,” cerita Yuni kepada Validnews, Sabtu (30/11).
Yuni sadar langkah kecilnya dapat berdampak besar bagi keberlangsungan hidup Bumi ke depannya. Dia juga rajin mengumpulkan botol-botol atau kemasan bekas produk perawatan kulit atau kecantikan, dan membawanya ke bank sampah atau tempat pengembalian kemasan skincare di beberapa toko kecantikan.
Keinginan dan cita serupa juga ingin diterapkan oleh Safitri (26). Warga Jakarta Timur ini ingin mencoba beralih ke produk-produk perawatan kulit yang lebih ramah lingkungan. Namun sayangnya, masalah biaya menjadi batu sandungan untuknya.
Safitri sadar perlu adanya perubahan dalam gaya hidup perawatan kulitnya. Kendati demikian, ia beranggapan bahwa tidak semua produk ramah lingkungan affordable baginya yang saban bulan hanya membawa pulang upah pas-pasan UMR setempat.
Ya, produk ramah lingkungan memiliki kecenderungan harga yang lebih mahal dibandingkan produk biasa. Ini merupakan kenyataan di pasar.
Selain itu, belum tentu juga sesuai dengan kebutuhan dan kondisi kulitnya. Alih-alih membantu merawat Bumi, mengalami berbagai permasalahan kulit di kemudian hari bisa jadi terjadi pada Safitri.
“Saya tertarik dengan kualitas yang ada di produk skincare ramah lingkungan dan merasa lebih tenang mengetahui produk itu tidak berdampak besar pada lingkungan. Namun tidak semua produk ramah lingkungan terjangkau, jadi sering pikir-pikir lagi sebelum membeli,” ungkap Safitri, Senin (2/12).
Skincare ramah lingkungan = Skincare mahal
Corporate Communication Senior Executive and Sustainable Team ParagonCorp Dwi Suci Candraningsih tidak menampik anggapan tersebut. Dia tidak memungkiri, masih banyak stereotipe di luar sana yang menyebut kalau produk perawatan kulit ramah lingkungan itu mahal.
Sebagai perbandingan, produk body wash (sabun mandi cair) Biodef dari Paragon ukuran 275ml hanya dibanderol Rp25 ribu, sementara produk body wash dari brand ramah lingkungan Paragon Earth Love Life ukuran 250ml mencapai Rp67 ribu.
Sementara merek-merek ramah lingkungan lainnya, khususnya yang berskala internasional malah bisa mematok harga yang lebih tinggi lagi. Sekelas The Body Shop misalnya, menjual body wash ukuran 250ml di kisaran harga Rp259 ribu.
"Itu karena teknologi keberlanjutan yang masih baru, jadi terkesan lebih mahal. Mungkin mahal juga karena dari packaging juga, sebab kualitas plastik (yang digunakan sebagai kemasan) sangat memengaruhi (kualitas dari produk tersebut). Makanya, kami mencoba mengajak konsumen untuk lebih ke arah mindful. Kalau keluar uang lebih kan kita jadi lebih mindful dengan produk yang dipakai," ungkap Dwi saat berbincang, Rabu (5/12).
Ketimbang menekankan pada harga produk yang mahal, Dwi menimpali bahwa ramah lingkungan yang dimaksud juga bisa ditujukan dari perilaku masyarakat itu sendiri. Bagaimana mereka membatasi keinginan membeli produk, menggunakan produk tersebut sampai habis, serta tidak ikut-ikutan tren untuk membeli produk baru dan menjadi konsumtif.
Ramah lingkungan menjadi lebih dari itu, bukan sekadar bahan baku yang digunakan ataupun bagaimana proses produksi yang dilakukan oleh industri. Melainkan pula gaya hidup konsumen itu sendiri sebagai pengguna produk.
“Makanya kami mengedukasi konsumen untuk pilih yang cocok. Kami memberikan pilihan yang banyak bukan berarti harus membeli banyak, tetapi memilih yang paling tepat. Kalau memilih yang tepat pasti akan dipakai sampai habis dan tidak dibuang percuma. Jadi mindful consumption yang kami coba edukasi pada konsumen," lanjut Dwi.
Sejak beberapa tahun lalu, Paragon sendiri berkomitmen untuk menjalani keberlanjutan. Salah satunya dengan menghadirkan merek ramah lingkungan mereka, Earth Love Life. Selain dari mengusung mindful consumption atau konsumsi berkelanjutan dengan pertimbangan baik di kalangan konsumen, program ramah lingkungan yang dilakoni juga melibatkan penggunaan material dan formulasi yang ramah lingkungan.
Produk body wash mereka misalnya, secara alami bisa terdegradasi secara sempurna 100% sehingga tidak meninggalkan bekas di badan air dan tidak mencemari lingkungan. Bahan-bahan yang mereka gunakan sendiri pun berasal dari lokal, meskipun belum menyeluruh karena ada bahan impor mempunyai kualitas yang lebih bagus.
"Sebenarnya kami mulai local source, selain untuk memperkuat lokal, mengurangi jejak karbon dari praktik impor bahan dari luar, serta memberdayakan masyarakat dan ekonomi sekitar. Packaging produk pun high recyclable, meskipun untuk produk personal care itu pasti masih menggunakan plastik, tetapi plastik yang digunakan adalah yang bisa didaur ulang," cerita Dwi.
Namun di balik semuanya itu, ada pertanyaan. Adakah indikasi jelasnya untuk memastikan praktik berkelanjutan yang mereka lakukan benar-benar memberikan dampak bagi lingkungan?
Instrumen praktik ramah lingkungan
Maraknya merek perawatan kulit yang semakin bergeser ke konsep ramah lingkungan dinilai positif oleh pakar lingkungan Universitas Indonesia Mahawan Karuniasa.
Menurutnya, saat ini memang tengah terjadi transisi pembangunan yang beralih menjadi ekonomi hijau atau ekonomi berkelanjutan. Tentunya, itu sangat baik, mengingat industri kecantikan nasional merupakan industri dengan pertumbuhan yang menjanjikan.
Laporan Kementerian Perindustrian sendiri menyebut nilai pendapatan dari industri kecantikan mencapai US$8,09 miliar dolar pada tahun 2023 dan naik hingga US$9,17 miliar di 2024. Industri kosmetik bahkan diperkirakan tumbuh sekitar 4,02% per tahun dengan komposisi pasar terbesar yang masih didominasi oleh segmen personal care.
"Itu baik karena sekarang kan transisi pembangunan dalam bidang ekonomi yang beralih ke ekonomi berkelanjutan. Itu mencakup semua sektor, termasuk industri perawatan kulit. Jadi itu sangat baik ya dengan adanya kehadiran merek-merek perawatan kulit yang ramah lingkungan," kata Mahawan via telepon, Kamis (5/12).
Dia juga menambahkan kalau merek-merek itu memang dapat memberikan dampak positif terhadap lingkungan. Semisal, membantu mengatasi permasalahan polusi udara, air, dan plastik, melalui praktik keberlanjutan yang mereka jalani. Mulai dari menggunakan bahan baku, proses produksi, hasil produknya, sampai limbah pasca penggunaannya.
Kendati demikian, industri skincare masih perlu didorong untuk membuat sustainability report dari kegiatan industri ramah lingkungan yang mereka jalankan. Tujuannya agar publik menjadi ngeh dan percaya dengan dampak berkelanjutan dari praktik yang dilakukan oleh industri sehingga tidak asal klaim ramah lingkungan atau greenwashing.
"Industri juga harus ada AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan), aturan mengenai baku mutu pengolahan limbah, dan sebagainya. Tidak perlu ada instrumen atau aturan baru untuk industri skincare ramah lingkungan ini. Lakukan saja penegakan aturan yang sudah ada dan dorong sustainability reports," timpal Mahawan.
Sebagai merek perawatan kulit sendiri, Dwi yang mewakili Paragon bercerita bahwa mereka telah berupaya memastikan kalau produk dan proses produksi yang dilakukan ramah lingkungan dan berkelanjutan. Mulai dari memperoleh bahan baku dari sumber yang sesuai etik, menjalankan proses produksi yang efisien, sampai menjaga kualitas produk tiba ke tangan konsumen dengan aman.
Mengusung konsep end-to-end sendiri, dari produksi sampai penjualan, juga menjadi langkah mereka dalam melakoni program berkelanjutan dengan efisiensi termasuk di dalamnya.
"Kami juga make sure berapa emisi yang keluar dari produksi sampai ke tangan konsumen dan dihitung, jadi tahu gimana cara menguranginya. Namun, untuk datanya belum tersedia, kami coba breakdown per lima tahun, dan saat ini masih dalam proses," kata Dwi.
Tuntutan Masyarakat
Sejatinya, tidak serta-merta melimpahkan semuanya ke tangan industri untuk mendukung keberlanjutan. Masyarakat juga dituntut untuk lebih aware dan teliti pada brand perawatan kulit ramah lingkungan.
Salah satunya karena adanya greenwashing atau praktik pemasaran yang dilakukan oleh perusahaan untuk mengelabui konsumen dengan mengklaim bahwa produk, layanan, atau operasinya lebih ramah lingkungan daripada kenyataannya.
Greenwashing biasanya menggunakan kata-kata seperti ramah lingkungan atau berkelanjutan tanpa memiliki bukti nyata atau sertifikasi yang bisa membuktikan klaim tersebut. Untuk itu, masyarakat perlu berhati-hati dalam memilih produk yang ramah lingkungan.
"Greenwashing semakin banyak karena produk ramah lingkungan cenderung harganya lebih mahal, sementara konsumen bersedia membeli karena sudah termasuk gaya hidup. Namun, konsumen perlu mengetahui bagaimana cara memilih industri yang greenwashing dan tidak," kata Mahawan.
Jika industri bisa transparan dengan bahan apa yang ada di produk dan menggunakan bahan dari sumber bertanggung jawab, di sisi lain masyarakat juga perlu melek informasi dengan kemudahan teknologi yang ada saat ini.
"Jangan sampai konsumen dirugikan dua kali. Sudah bukan ramah lingkungan, konsumen juga mengeluarkan biaya lebih untuk produk itu," pungkas Mahawan.
Di sisi lain, pemerintah sebagai regulator juga seharusnya terlibat untuk memonitor keberadaan industri-industri yang dikhawatirkan menjalankan praktik greenwashing ini.
Setidaknya cita-cita mulia konsumen untuk lebih peduli pada Bumi bisa dikawal, karena secara total transisi ke gaya hidup yang lebih hijau akan mandek saat masyarakat sudah apatis dengan keabsahan embel-embel produk ramah lingkungan.