16 September 2025
12:48 WIB
Mengapa Air Pengunungan Dipilih Sebagai Sumber AMDK?
Air pegununga lebih dipilih sebagai sumber air dalam industri AMDK. Selain karena faktor lebih bebas kontaminasi, air gunung juga punya kandungan mineral lebih banyak.
Ilustrasi tanggal kedaluwarsa pada botol minum air mineral. Shutterstock/PUMM AMORNRAT |
JAKARTA - Air pegunungan lebih dipilih sebagai sumber air dalam industri Air Minum Dalam Kemasan (AMDK), ketimbang air dari tanah biasa. Hal ini tentu didasarkan atas kelayakan konsumsi.
Pakar Hidrogeologi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Prof. Lambok M. Hutasoit menjelaskan, alasan utamanya adakah karena tidak semua air tanah aman untuk dikonsumsi. Meski air tanah sering mengandung mineral, namun nyatanya tidak semua mineral itu baik, seperti kandungan kromium VI yang sangat beracun.
Oleh karenanya, air yang digunakan untuk AMDK harus dianalisis semua zat kimianya terlebih dahulu. Selain itu, kualitas air juga sangat bergantung pada lapisan batuan.
Dari berbagai jenis batuan, yang dianggap baik sebagai sumber air adalah batu pasir, kapur, dan gamping. Sementara batu lumpur dinilai kurang baik karena mudah tercemar.
Papat tersebut diperkuat oleh Ahli Hidrogeologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof. Heru Hendrayana. Menurutnya, air tanah dangkal memang lebih rentan terpolusi.
"Air tanah yang dangkal ini biasanya buruk kualitasnya karena bisa terkontaminasi septic tank, sampah, dan limbah rumah tangga. Sedangkan air tanah dalam relatif lebih higienis dan sehat,” katanya.
Menurutnya, hal tersebutlah yang membuat industri AMDK besar lebih memilih air pegunungan yang berasal dari akuifer dalam. Industri biasanya tidak sembarangan mengambil air, melainkan melibatkan penelitian mendalam oleh ahli hidrogeologi untuk memastikan sumbernya.
“Mereka meneliti asal-usul air tanahnya agar benar-benar dari pegunungan, bukan asal ambil,” tambahnya.
Tidak Harus di Kaki Gunung
Heru menjelaskan, air pegunungan tidak selalu berarti air yang diambil persis di kaki gunung. Jarak puluhan kilometer pun masih bisa dihitung sebagai bagian dari sistem hidrogeologi pegunungan.
"Contohnya Bogor banyak airnya berasal dari Gunung Salak. Di Jogja dan Klaten, sumber airnya dari Gunung Merapi. Jadi, tidak harus dekat dengan gunung, yang penting berasal dari akuifer dalam,” jelasnya.
Selain lebih aman dari polusi, air pegunungan umumnya memiliki kandungan mineral alami yang lebih kaya dibanding air tanah dangkal di perkotaan. Inilah yang menjadi salah satu nilai tambah air pegunungan untuk kebutuhan AMDK.
Namun, mendapatkan air pegunungan bukan perkara mudah. Industri AMDK besar harus berinvestasi besar dalam pengeboran sumur dalam yang ia sebut bisa mencapai Rp2 miliar.
"Fakta-fakta ini memperlihatkan bahwa klaim air pegunungan bukan sekadar jargon pemasaran. Industri AMDK melibatkan penelitian ilmiah, tenaga ahli hidrogeologi, dan investasi besar agar produk yang sampai ke tangan konsumen benar-benar aman, sehat, dan berkualitas," ucap Heru.