28 Desember 2023
21:00 WIB
Penulis: Gemma Fitri Purbaya
Editor: Satrio Wicaksono
JAKARTA - Tahun 1998 mungkin menjadi masa yang sulit untuk Nuryati (53) dan keluarga. Suasana Jakarta kala itu memanas. Kondisi keamanan diterpa ketidakpastian. Krisis ekonomi dan gejolak politik dalam negeri membuat suaminya harus kehilangan pekerjaan. Beruntungnya, dia masih bekerja sehingga tidak benar-benar kehilangan pemasukan.
Tak ingin berharap hanya dari satu sumber pendapatan, kala itu, dia dan suami harus bergerak cepat mencari solusi. Di tengah kondisi ekonomi yang tidak menentu, juga berimbas kepada melonjaknya harga kebutuhan hidup masyarakat, bertahan sambil mencari jalan, adalah hal yang harus dilakukan.
Dari sana, tercetuslah ide untuk mendirikan warung kecil-kecilan di rumah. Pikirnya sederhana; perputaran uang di bisnis warung rumahan cukup Cepat. Sebelumnya, suami-istri ini juga yakin, untung dari setiap barang yang dijual tidaklah besar.
Tak butuh waktu lama, dia dan suami langsung merealisasikan rencana tersebut. Tidak perlu besar dan menjual banyak barang, mereka mulai dari menjual sembako. Logika sederhana bahwa sembako pasti dibutuhkan oleh tetangga-tetangganya di salah satu perumahan di bilangan Bekasi Timur, menjadi dasar membuka kesempatan.
Perlahan, warung tersebut tumbuh. Pembeli pun semakin banyak. Dari yang awalnya warga sekitar, sampai orang yang sekedar lewat. Tidak sedikit di antara mereka ada yang memesan barang tertentu.
Nurhayati pun 'mengiyakan' permintaan-permintaan itu, sembari berpikir untuk menambah barang jualannya. Tak lagi sekadar gula, garam, kopi, teh dan mi instan, kini merambah ke obat-obatan hingga alat tulis. Dan sejalan dengan itu, warung rumahannya pun menjadi lebih lebar.
"Gak apa-apa, gak banyak jumlahnya, yang penting komplit," kata Nuryati ketika ditemui pada Senin (26/12).
Pendapatannya pun kian melonjak, bahkan mencapai Rp3 juta per hari. Sampai akhirnya dia memberanikan diri untuk meninggalkan pekerjaannya dan fokus mengembangkan warung kelontong rumahan bersama suami.
Saling bertukar waktu untuk menjaga warung, bahkan terkadang buka 24 jam, dilakukan. Dari berjualan selama kurang lebih 25 tahun itu, dia berhasil membeli tanah, membuat kontrakan, memiliki kendaraan pribadi, sampai menyekolahkan anak-anaknya hingga lulus sarjana.
Kini, warung kelontong itu masih tetap ada. Kondisinya tentu jauh lebih besar dari pertama kali dia membukanya.
Kalau dibilang menguntungkan, Nuryati tidak bisa menampik hal itu, tetapi memang tidak sebesar dulu. Alasannya sangat realitis, semakin banyak saingan. Tidak hanya dari sesama pemilik warung rumahan, tetapi juga masifnya warung-warung waralaba besar, seperti Indomaret, Alfamart, dan sebagainya.
Lantas, bagaimana warung-warung kelontong seperti milik Nuryati ini bisa bertahan?
Ancaman Ritel Modern
Awal tahun 90-an, bisnis warung kelontong yang lebih modern hadir di Indonesia. Berawal di kota-kota besar dengan mengusung kemudahan berbelanja dan produk yang lebih terstruktur, warung-warung modern ini berkembang pesat dan menjadi waralaba.
Dan pada 2000-an, keberadaannya semakin menjadi. Warung-warung waralaba modern itu telah memiliki ribuan cabang di seluruh Indonesia, termasuk di daerah terpencil. Kondisi tersebut secara langsung 'mengancam' keberadaan warung-warung kelontong dan rumahan. Sebuah fakta yang tidak bisa ditampik.
Eksistensi warung-warung tradisional 'goyah'. Mereka dipaksa untuk bersaing dengan 'pemain besar' yang menghadirkan layanan yang nyaman buat para calon pembelinya.
Bagaimana tidak, ritel-ritel modern itu cepat menjamur, dengan barang yang relatif lengkap. Belum lagi tempat yang nyaman buat pembeli, ruangan berpendingin.
Hal tersebut diamini oleh Guru Besar antropologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Prof. Bambang Hudayana. Dia mengatakan bahwa jika dibandingkan dengan warung waralaba besar modern seperti Indomaret dan Alfamart, keberadaan warung kelontong memang cukup lemah.
Kalau di desa atau perkampungan yang belum atau tidak terjangkau ritel modern, warung rumahan dan kelontong masih akan tetap laku dan bisa bertahan. Tetapi di daerah seperti perkotaan dengan daya beli masyarakat yang tinggi, tentunya akan sulit.
"Warung kelontong yang bisa bertahan di kampung-kampung itu yang menjual kebutuhan sehari-hari yang masih segar, seperti sayuran atau pangan sehari-hari, kayak beras, telur, buah, dan sebagainya, yang melayani kebutuhan warga setempat," kata Prof. Bambang dalam perbincangan via telepon pada Rabu (27/12).
Sekalipun pemilik warung melakukan digitalisasi, seperti mengaplikasikan layanan pesan antar untuk menaikkan omzet dan menjangkau lebih banyak konsumen. Sayangnya hal tersebut tidak benar-benar bisa menjadi solusi. Modal yang dibutuhkan tidaklah sedikit karena harus menjangkau konsumen yang banyak jumlahnya dan tersebar di mana-mana.
Belum lagi, kehadiran pedagang-pedagang 'jemput bola' yang memasarkan produknya dengan berkeliling menggunakan kendaraan, juga menjadi tantangan lainnya dari warung rumahan.
Tentunya, ini juga membuat posisi mereka sebagai pemilik warung rumahan menjadi semakin sulit, di tengah gempuran warung waralaba besar dan modern.
Meski demikian, menurut Levy dan Weitz dalam bukunya Retailing Management, baik toko kelontong maupun mini market atau convenient store sejatinya melayani dua kategori kebutuhan konsumen.
Mereka dibedakan atas kebutuhan. Ada yang memenuhi kebutuhan fungsional yang berhubungan langsung bentuk atau penampilan (performance) dari produk.
Sedang yang kedua adalah kebutuhan psikologis yang ini diasosiasikan dengan kebutuhan yang bersifat mental dari konsumen yang dapat terpenuhi dengan belanja ataupun membeli dan memiliki sebuah produk.
Nah, biasanya, semakin tinggi tingkat pendapatan konsumen maka kebutuhan psikologis semakin tinggi juga. Hal inilah yang menyebabkan kebutuhan akan kenyamanan berbelanja, jasa yang baik, produk-produk yang bermerek dan trendi lebih penting bagi konsumen di perkotaan dibandingkan dengan konsumen di pedesaan.
Tingkat pendapatan konsumen baik di desa, maupun di kota, jelas berpengaruh terhadap kebutuhan tersebut, termasuk kenyamanan berbelanja, semisal dengan adanya AC maupun tata letak barang-barang yang lebih rapih.
Community-based Selling
Lain dari pendapat Prof. Bambang, pengamat ekonomi digital, Yudi Candra mengatakan, sebenarnya pemilik warung rumahan bisa tetap eksis dan bertahan pada era modernisasi seperti ini. Salah satu alasannya adalah karena secara tidak disadari, para pemilik warung rumahan ini menganut konsep bisnis berbasis komunitas atau community-based selling.
Community-based selling sendiri merupakan strategi pemasaran di mana suatu bisnis aktif berinteraksi dengan komunitas konsumennya. Strategi ini berupaya membangun dan mempertahankan hubungan yang baik dengan semua konsumennya.
Dengan demikian, mereka dapat mendengarkan dan merespons apa yang dibutuhkan dan inginkan oleh konsumen melalui komunikasi dua arah yang sehat.
"Di zaman sekarang ini penting untuk community-based selling, ini yang saya lihat. Jadi karena udah saling kenal antara pembeli dan penjual, saling percaya, makanya mereka beli. Kelas menengah ke bawah kan pasti mencarinya sesuatu yang murah dan dekat. Sementara warung rumahan seperti ini biasanya dekat dengan tempat tinggal dan murah," kata Yudi via telepon, Rabu (27/12).
Unsur 'kedekatan' dan adanya interaksi antara penjual dan pembeli, secara langsung juga menjadi selling point dari warung rumahan. Pembeli bisa berbincang dengan penjual karena mereka mengenal satu sama lain. Tidak heran kalau warung rumahan kerap menjadi sarana bertukar informasi antara penjual dan pembeli atau tempat 'nongkrong' pembeli, yang didominasi oleh ibu-ibu.
"Karena mereka saling mengenal, penjual juga kan jadi kenal dengan pembeli. Mereka juga biasanya manggil misalnya 'ibu siapa', atau 'bapak siapa', bukan sekadar 'ibu' atau 'bapak' aja. Ini bisa menambah poin plus juga untuk berbelanja di warung rumahan, jadi ada rasa 'aman' karena dikenal dan mengenal," timpal Yudi.
Pelayanan unik, adanya interaksi dan adaptasi community-based selling itulah yang akan menjadi warung rumahan tetap berjaya di era modernisasi seperti ini, sekalipun ada warung waralaba modern dan toko-toko online.
Ini selaras dengan apa yang dikemukakan Berman dan Evans dalam bukunya Retail Management. Keduanya menyebutkan bahwa ada faktor-faktor yang menyebabkan konsumen tetap berlangganan, termasuk di warung atau toko kelontong.
Jika mereka tidak dapat menemukan gaya atau bentuk produk yang menarik, ukuran yang pas ataupun malah kerap kehabisan produk dan harga yang tinggi, ditambah pelayanan yang tidak nyaman dan ramah, pastilah warung akan ditinggalkan. Sebaliknya jika esensi itu tetap ada, konsumen tidak akan pindah.
Nah, merujuk pada kedekatan warung dengan konsumennya, dan produk 'khas' atau yang hanya bisa ditemukan di tempat mereka karena satu hal dan lainnya, Yudi meyakini, eksistensi warung kelontong dan rumahan tentunya masih akan terus berlangsung sampai tahun-tahun berikutnya. Semoga!