29 Agustus 2023
16:49 WIB
Penulis: Siti Nur Arifa
Editor: Satrio Wicaksono
JAKARTA – Wilayah Jabodetabek sempat diguyur hujan pada Minggu (27/8), dengan intensitas yang berbeda. Kejadian tersebut nyatanya disyukuri oleh sebagian besar masyarakat, lantaran sudah cukup lama wilayah dilingkupi kemarau tanpa kehadiran curah hujan.
Sempat diduga terjadi secara alami, belakangan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengonfirmasi bahwa hujan yang turun rupanya merupakan hasil dari Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC).
Disebutkan, selain untuk meredakan musim panas, tujuan diupayakannya hujan juga sebagai upaya untuk meredakan tingkat polusi di wilayah Jakarta dan sekitarnya.
Bukan Hal Baru
Teknologi Modifikasi Cuaca sendiri bukan hal baru di Indonesia. Sejak tahun 1977, metode ini sudah diaplikasikan namun lebih dikenal dengan nama hujan buatan. TMC di Indonesia sebenarnya hasil ‘menyontek’ teknologi yang dilakukan di Thailand, untuk memasok kebutuhan air sektor pertanian.
“Memang awalnya dulu TMC ini dipelajari di Thailand dan diaplikasikan di Indonesia fokusnya untuk mendukung sektor pertanian dengan cara mengisi waduk-waduk untuk kebutuhan PLTA atau irigasi,” jelas Koordinator Laboratorium Pengelola Teknologi Modifikasi Cuaca BRIN, Budi Harsoyo.
Lebih lanjut, pergantian istilah TMC sendiri baru dilakukan mulai tahun 2015, lantaran praktiknya bukan hanya untuk menghasilkan hujan buatan, tapi juga untuk memodifikasi cuaca sesuai dengan kebutuhan dan kondisi mendesak. Termasuk tujuan berlawanan seperti meminimalisir atau mencegah hujan.
Bahkan, TMC ini biasa digunakan ketika sedang ada perhelatan level internasional yang digelar di Indonesia, salah satunya saat gelaran MotoGP Mandalika tahun 2022 lalu.
"Saat ini TMC paling banyak dan rutin digunakan untuk kebutuhan kebakaran hutan dan lahan yang hampir setiap tahun dilakukan.” tambah.
Cara Kerja Modifikasi Cuaca
Masih menurut, Budi modifikasi cuaca sebenarnya berbeda dengan pemahaman membuat hujan. Hal tersebut lantaran cara kerja yang dilakukan lebih kepada memancing potensi yang ada ke kumpulan awan hujan, agar memicu turunnya air yang terkandung dalam awan.
Sederhananya, langkah memicu potensi awan hujan yang ada di atmosfer dilakukan dengan menebar garam atau partikel-partikel nukleasi, seperti natrium klorida atau perak iodida, ke dalam awan hujan.
Sehingga, partikel yang dapat berperan sebagai kondensasi dapat mempercepat pembentukan tetesan air dalam awan, sehingga turun air hujan di tempat tertentu yang diinginkan sesuai kebutuhan dan tujuan.
"Yang patut dicatat dan dipahami TMC ini meski orang mengenal dengan hujan buatan, tapi kami tidak bisa membuat hujan. Kalau kami diminta melakukan operasi TMC untuk mengisi waduk pada saat musim kemarau yang dalam kondisi kering dan tidak ada potensi awan, kami tidak bisa melakukan apa-apa.” tegas Budi.
Karena itu, dalam praktiknya BRIN selalu bekerja sama dengan BMKG untuk memonitor dan memberikan data terkait informasi cuaca, awan, dan arah angin.
Selain itu, dilibatkan juga TNI AU dengan armada pesawat Casa untuk membawa muatan garam (NaCl) guna menyemai awan hujan target. Di mana posisi pesawat selalu berada di antara arah angin dan awan hujan target.
Meski tidak menyebutkan nominal, dikatakan pula jika biaya yang dibutuhkan untuk sekali melakukan operasi TMC cukup besar.
"60% biaya operasi TMC itu untuk biaya bahan bakar pesawat dan perawatannya, sehingga biayanya cukup besar." ungkap Budi.