30 September 2021
15:46 WIB
Penulis: Dwi Herlambang
Editor: Satrio Wicaksono
JAKARTA – Desa Tenganan Pegringsingan, bisa menjadi salah satu alternatif wisata ketika berkunjung ke Pulau Dewata, Bali. Tempat ini cocok bagi wisatawan yang ingin mengisi waktu liburannya jauh dari hingar bingar kehidupan modern.
Di desa yang terletak di Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem ini, wisatawan benar-benar diajak untuk melihat bagaimana kehidupan dan budaya asli Bali.
Desa Tenganan termasuk salah satu dari tiga desa yang masuk dalam kategori Bali Aga. Apa itu Bali Aga? Bali Aga disebut juga Bali Mula, di mana penduduknya asli Bali. Sebagai cikal bakal masyarakat Bali.
Kehidupan masyarakat Suku Bali Aga masih berpedoman pada peraturan dan adat istiadat peninggalan leluhur dari era sebelum Kerajaan Majapahit.
Hingga kini, setidaknya hal itu masih terlihat nyata dari desain dan arsitektur rumah, balai pertemuan, dan Pura. Yang dibangun dengan memperhatikan aturan adat istiadat.
Contohnya, masyarakat Bali Aga akan menggunakan campuran batu mata merah, batu sungai, dan tanah sebagai bahan utama membuat konstruksi bangunan.
Dan jika diperhatikan dari bentuk ukuran pekarangan, layout bangunan dan Pura, memiliki ukuran yang relatif sama. Itu semua karena penduduk desa menerapkan kebijakan "sama rasa sama rata", bagi semua orang yang tinggal di dalam desa ini.
Di tengah gempuran modernisasi yang menyasar ke semua lini kehidupan, masyarakat di sana benar-benar memang teguh peradaban lama. Sebagian besar penduduk berprofesi sebagai petani padi dan pengrajin. Segala kerajinan, masih dibuar dengan menggunakan metode lama yang diwariskan oleh leluhur.
Tenun Gringsing
Adapun kerajinan yang biasanya dibuat adalah ukir-ukiran kayu, lukisan di atas daun lontar dan anyaman bambu. Ada satu lagi yang menjadi kekhasan desa itu, yakni kain tenun Gringsing.
Kain Gringsing adalah kain tenun asli Desa Tenganan yang dibuat oleh penduduk desa dan dikerjakan dengan cara teknik dobel ikat. Teknik ini adalah satu–satunya di Indonesia.
Maka tak heran jika kain Gringsing sangat terkenal ke seluruh dunia. Dengan teknik yang serumit, waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan satu lembar kain membutuhkan waktu yang sangat lama.
Kata Gringsing sendiri berasal dari kata 'Gering', yang berarti 'sakit'; dan 'Sing', yang berarti 'tidak'. Dan jika digabungkan, kata itu bisa dimaknai 'tidak sakit'. Atau jika maknai lebih dalam lagi bisa berarti sebagai sarana penolak bala.
Biasanya, Kain Gringsing ini digunakan pada saat upacara dan acara adat desa. Salah satunya, ketika menggelar tradisi Mekare-kare atau Mageret Pandan (perang pandan), yang dilangsungkan dalam rangkaian upacara Sasih Sambah.
Upacara ini sebagai tanda penghormatan kepada Dewa Indra sebagai dewa perang yang telah mengalahkan Raja Lalim Maya Denawa. Ritual ini akan melibatkan sepasang pemuda desa yang saling sayat menggunakan duri–duri dari daun pandan di atas panggung. Tradisi ini dilakukan untuk melatih mental dan fisik warga desa.