26 Agustus 2024
09:08 WIB
Menelisik Kontroversi 'Kebebasan' Dalam Platform Telegram
Pavel Durov menjadi pemilik platform yang dianggap cukup lapang memberikan penyebaran konten di Telegram. Tengah tersandung skandal, bagaimana Telegram membawa kontroversi pada lanskap perpesanan.
Penulis: Siti Nur Arifa
Editor: Rendi Widodo
Ilustrasi logo platform Telegram. Unsplash
JAKARTA - Pavel Durov, pendiri dan CEO Telegram sekaligus triliuner kelahiran Rusia dikabarkan mengalami penangkapan oleh pihak otoritas Prancis pada Sabtu (24/8), saat baru mendarat dari pesawat jet pribadi miliknya di bandara Bourget.
Penangkapan tersebut kabarnya berkaitan dengan langkah penyelidikan pihak otoritas terhadap kurangnya moderator atau minimnya penyaringan konten di Telegram, yang dapat menyebabkan aktivitas kriminal berjalan dengan lancar di aplikasi tersebut.
Pasca penangkapan sang CEO, pihak Telegram sendiri baru mengeluarkan pernyataan resmi yang memastikan bahwa platform mereka telah mematuhi aturan yang berlaku.
"Telegram mematuhi hukum Uni Eropa, termasuk Undang-Undang Layanan Digital, yang mana moderasinya sesuai dengan standar industri dan terus ditingkatkan," tulis keterangan Telegram pasca penangkapan yang terjadi, mengutip Reuters.
Sementara itu pihak Kementerian Dalam Negeri Prancis, kepolisian, dan Kantor Kejaksaan Paris sama sekali belum berkomentar mengenai hal ini.
Namun salah seorang sumber anonim mengungkap bahwa kasus yang melibatkan Durov secara khusus ditangani oleh satuan polisi keamanan siber dan satuan polisi antipenipuan nasional Prancis untuk memimpin investigasi tersebut.
Bahkan dikatakan bahwa hakim investigasi yang menangani kasus tersebut memiliki spesialisasi dalam kejahatan terorganisasi.
Skandal Telegram di Rusia
Bukan kali pertama terlibat masalah dengan pemerintahan, Telegram sendiri tercatat memiliki konflik serius dengan pemerintahan di negara asalnya yakni Rusia sekitar tahun 2014 lalu lantaran menolak saat diminta menutup komunitas oposisi di sub-platform media sosial mereka yakni VK, yang saat ini sudah terjual.
Akibatnya di tahun yang sama, Telegram keluar dari Rusia dan memindahkan kantor pusatnya ke Dubai pada tahun 2017.
Bersamaan dengan itu pula, Durov juga memiliki beberapa status kewarganegaraan dari negara lain, yakni Prancis dan UAE.
Telegram juga pernah dilarang di Rusia pada tahun 2018, akibat menolak memberikan data ke pemerintah dan baru kembali diizinkan beroperasi pada tahun 2021.
Namun saat konflik Ukraina dan Rusia pecah di tahun 2022, telegram kembali menyita perhatian lantaran menjadi platform utama dari sedikitnya platform serupa yang menyediakan secara gamblang perputaran konten mengenai konflik antara kedua negara tersebut.
Mulai dari isu konten perang tanpa saringan atau moderator, konten menyesatkan, hingga informasi politik seputar Ukraina dan Rusia, akibatnya Telegram sempat ditekan oleh berbagai negara untuk membatasi platformnya demi meredakan konflik geopolitik yang saat itu terjadi.
Sudah digunakan oleh lebih dari 900 juta pengguna, pihak Telegram mengaku masih menunggu hasil dari penyelidikan dan akan memberikan informasi terbaru lebih lanjut.
"Kami menunggu penyelesaian segera atas situasi ini. Telegram bersama Anda semua," tulis pernyataan resmi Telegram.