c

Selamat

Senin, 17 November 2025

KULTURA

14 Juli 2021

20:26 WIB

Menelisik Alasan Di Balik Fenomena Childfree

Bukan sekedar masalah ekonomi, ada banyak alasan ekstrem yang melatarbelakangi

Penulis: Andesta Herli Wijaya

Editor: Satrio Wicaksono

Menelisik Alasan Di Balik Fenomena <i>Childfree</i>
Menelisik Alasan Di Balik Fenomena <i>Childfree</i>
Ilustrasi Childfree. Shutterstock/dok

JAKARTA – Pernikahan tanpa anak atau childfree life, menjadi fenomena yang mungkin semakin umum terjadi dewasa ini, terutama kalangan muda. Meski masih memicu perdebatan di berbagai kalangan, nyatanya semakin banyak pasangan yang secara terbuka mengumumkan pilihannya untuk tidak memiliki anak.

Ada beragam alasan di balik keputusan pasangan menikah untuk tidak memiliki anak. Beberapa di antaranya cenderung ekstrem bagi orang banyak. 

Misalnya, banyak yang memilih jalan childfree sebagai upaya untuk mengurangi eksploitasi dan pencemaran lingkungan atas nama kehidupan manusia. Ini merupakan salah satu argumen populer dalam gerakan childfree.

Responsible Demographics, sebuah organisasi yang berfokus pada kampanye penurunan angka kelahiran di Perancis melaporkan, dalam 10 tahun terakhir semakin banyak anak muda yang tergerak mengambil pilihan tanpa anak, dengan alasan menyelamatkan lingkungan.

Dilansir dari France24, organisasi ini menyorot ancaman kelebihan populasi dan konsekuensinya bagi lingkungan. Semakin banyak manusia, maka semakin banyak karbon CO2 yang dikeluarkan, sehingga akan memperburuk perubahan iklim.

Namun, apa yang tergambar di atas bukanlah argumen tunggal. Di gerbong lain, ada juga penganut childfree dengan alasan yang lebih bersumber pada aspek psikologis para penganut childfree. Misalnya trauma, perasaan tidak mampu menjadi orang tua, hingga kecemasan akan masa depan.

Psikolog Keluarga, Kasandra Putranto mengatakan, orang-orang bisa mengambil keputusan ekstrem untuk tidak memiliki anak dikarenakan trauma-trauma tertentu. Atau, jika tidak, bisa juga karena adanya rasa ketidakmampuan pada pasangan menikah untuk membesarkan anak dengan baik.

Jika umumnya masyarakat memandang anak sebagai sumber kebahagiaan dan kehangatan rumah tangga, maka anak bagi penganut childfree cenderung dipandang sebagai pemicu kecemasan dan ketakutan.

"Ada pasangan tertentu yang memang tidak memiliki kapasitas yang layak untuk menjadi orang tua menerima beban tanggung jawab mengasuh anak,” ungkap Kasandra kepada Validnews, Rabu (14/7).

Keputusan tidak memiliki anak tersebut juga bisa disebabkan adanya masalah psikologis spesifik pada masing-masing pasangan. 

Misalnya, karena menyimpan trauma yang memberikan pemahaman kepada seseorang tentang sulitnya kehidupan bagi seorang anak. Jadi, seseorang tersebut hendak memutus penderitaan itu dengan cara tidak memiliki anak.

Kasandra menekankan bahwa memiliki anak atau tidak, adalah keputusan yang bersumber dari pertimbangan yang kompleks. Kebutuhan hidup yang semakin tinggi, persaingan dalam karir yang ketat, hingga kecemasan akan kelayakan hidup bagi anak bisa saja menjadi faktor penyebab.

Di sisi lain, penganut childfree juga bisa berorientasi pada kualitas kehidupan bersama pasangan. Dengan tidak memiliki anak, maka mereka jadi lebih mudah membangun kualitas hubungan dengan pasangan, dan bisa lebih mudah mencapai stabilitas dan kelayakan hidup.

"Manfaat childfree memberikan kesempatan untuk memberikan waktu kepada diri dan pasangan, meningkatkan kemampuan diri, serta mencapai kepastian ekonomi karena berbiaya lebih rendah," jelas Kasandra.

Kecemasan Finansial
Gambaran tentang kehidupan layak dan kondusif, yang berhadapan dengan realitas sulitnya banyak orang untuk mencapai stabilitas finansial, termasuk salah satu faktor penyebab pasangan memilih tak punya anak. Fenomena ini adalah persoalan ekonomi sekaligus psikologis.

Perencana keuangan dari lembaga Mitra Rencana Edukasi, Mike Rini Sutikno menjelaskan, pendapatan sebagian besar pekerja di kota-kota besar berada di taraf yang minimum. Yang mengacu UMR wilayah. 

Upah minimum itu, dari perspektif ekonomi, sejatinya hanya cukup untuk menopang kebutuhan hidup yang mendasar, seperti tempat tinggal, makan, biaya transportasi dan komunikasi, dan kebutuhan dasar lainnya.

Sementara untuk kebutuhan-kebutuhan lainnya yang masuk ke wilayah gaya hidup, seperti belanja non-pokok, sulit terpenuhi oleh upah minimum. Bahkan, pekerja dengan upah minimum sangat mungkin akan kesulitan untuk menabung, karena memang tidak ada uang berlebih.

Itu semua bisa menjadi tekanan bagi pekerja, dan kemudian menjadi sumber financial stress. Dan finansial stress pada akhirnya akan membuat seseorang mengambil keputusan-keputusan yang tidak bijak, atau bahkan ekstrem. Dalam konteks ini, pilihan tidak memilki anak termasuk keputusan yang relevan.

"Kita itu ada needs and want. Ketika kita dalam situasi standar hidup minimum dan kita merasa tertekan dengan itu, akan menyebabkan bias. Kita bisa mengambil keputusan yang ekstrem. Itu yang disebut financial stress. Namun, tidak bisa digeneralisasi juga, sebab ada yang malah termotivasi karena itu, tapi ada juga yang akhirnya down," jelas Mike, saat dihubungi terpisah.

Meski begitu, Mike menekankan bahwa finansial stress tidak khas hanya pada mereka yang memiliki pendapatan minimum, tapi bisa melanda semua level ekonomi. Penyebab financial stress utamanya adalah karena tidak mampunya seseorang mengelola keuangannya dengan bijak, sehingga selalu kurang.

Selain itu, Mike cenderung tidak setuju jika kesulitan ekonomi dikatakan sebagai faktor mencolok penyebab orang-orang memilih tak memiliki anak. Meski itu faktor yang nyata dan masuk akal, akan tetapi bukan satu-satunya faktor.

Argumen Mike sekaligus mengonfirmasi pandangan psikolog Kasandra sebelumnya, tentang beragamnya faktor di balik keputusan tak populer tersebut.

Pada kenyataannya, sebagian besar pekerja di Indonesia berada dalam situasi ekonomi terbatas dengan upah minimum. Namun, hal itu tidak membuat mayoritas orang mengambil keputusan hidup tanpa anak.

"Jadi ekonomi bisa menjadi salah satu penyebab. Tapi harus dilihat itu sebagai kasus yang spesifik. Bukan berarti secara umum kesulitan ekonomi membuat orang memilih tidak memiliki anak," jelasnya.

Mike mengakui, tidak mudah bagi sebagian besar pekerja di Indonesia untuk mencapai taraf kehidupan layak, yang kemudian bisa berkorelasi dengan kesiapan seseorang dalam memiliki keturunan. Hidup layak ini misalnya ditandai dengan punya rumah mampu memenuhi segala perlengkapan serta memiliki tabungan.

Namun, menurutnya, tetap ada jalan untuk mencapai level tersebut, sejauh orang-orang mau berusaha dengan disiplin. Terutama untuk memiliki rumah, sebagai hal mendasar, bisa dicapai lewat jalan menabung.

"Hidup layak itu, ya harus punya rumah dong. Ada KPR yang bisa membantu anda hidup layak. Jika Anda sudah disiplin menabung, ingin punya rumah, dibangun kebiasaan nabungnya dulu," pesannya.

 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar