26 November 2024
15:28 WIB
Mendorong Ekowisata Lewat Penangkaran Kura-kura Rote
Masuk dalam daftar sebagai satwa paling terancam punah, penangkaran kura-kura rote menjadi hal yang perlu mendapat perhatian. Penangakaran berbasis masyarakat bisa menjadi solusi alternatif.
Penulis: Gemma Fitri Purbaya
Editor: Satrio Wicaksono
Seekor tukik atau anak penyu sisik (Eretmochelys imbricata) berjalan menuju pantai usai dilepasliark an oleh komunitas Pondok Semi Alami Penyu Sisik di Pulau Sabira, Kabupaten Kepulauan Seribu, DKI Jakarta
JAKARTA - Kura-kura rote menjadi salah satu satwa paling terancam punah di dunia. Karena itu diperlukan upaya penangkaran yang masif dan terstruktur guna menjaga kelestarian dari spesies tersebut.
Akan hal ini, Peneliti Ahli Madya Pusat Riset Zoologi Terapan (PRZT) BRIN, Kayat, memandang perlunya penangkaran kura-kura rote berbasis masyarakat yang didorong Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) melalui jalinan kerja sama dengan berbagai pihak seperti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan Wildlife Conservation System (WCS).
"Sehingga dari sisi konservasi dan sisi ekonomi, salah satunya adalah bisa menggerakkan kegiatan masyarakat dan mendapat keuntungan bagi masyarakat. Bisa melalui ekowisatanya maupun hasil penangkaran, yang kalau dari generasi F2 ke atas kan bisa dimanfaatkan oleh masyarakat,” kata Kayat, dikutip dari Antara.
Kura-kura rote (Chelodina mccordi) spesies endemik Pulau Rote terdaftar sebagai satwa prioritas konservasi nasional melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 57/Menhut-II/2008 pada Arahan Strategis Konservasi Spesies Nasional. Spesies ini juga telah dilindungi berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.106/2018.
Kayat mengatakan, konservasi ex situ terhadap kura-kura rote telah dilakukan sejak 2009 hingga tahun ini. Pada 2019, 2022, dan 2024, uji coba rehabilitasi dan reintroduksi kura-kura rote di habitat alaminya telah dilakukan. Dengan seluruh rangkaian penelitian dan upaya konservasi itu, pembentukan populasi kura-kura rote di habitat alaminya diharapkan dapat tercapai.
Menurut dia, sejauh ini teknik rehabilitasi dan reintroduksi kura-kura rote telah terbentuk, sehingga langkah selanjutnya, pemerintah perlu mendorong masyarakat untuk dapat mengembangkan penangkaran satwa langka tersebut.
Pada 2009, pemerintah melakukan pelepasliaran tukik sebanyak 40 ekor di Danau Peto. Namun setelah peneliti melakukan survei, Kayat mengatakan, populasi kura-kura rote tidak ditemukan. Kemungkinan besar tukik-tukik tersebut tidak bisa bertahan di habitat aslinya karena selama hidup di penangkaran sangat bergantung pada makanan yang disediakan.
Belajar dari pengalaman itu, maka uji coba rehabilitasi dan reintroduksi kembali dilakukan. Dari hasil penelitian dan pemantauan, disimpulkan bahwa reintroduksi atau proses pelepasan spesies ke habitat aslinya sebaiknya dilakukan saat kura-kura rote berusia di atas empat tahun, sehingga memiliki daya adaptasi yang lebih besar dan potensi dimangsa oleh predator sangat kecil.
"Mudah-mudahan kura-kura rote statusnya tidak critically endangered lagi. Kemudian statusnya bisa naik menjadi vulnerable atau syukur-syukur nanti populasinya kembali ke populasi awal seperti zaman tahun 70-an dan 80-an,” kata Kayat.
Ia mengatakan, keberhasilan reproduksi kura-kura rote cukup tinggi dengan jumlah telur mencapai 5-20 butir dalam sekali bertelur dan daya tetas telur mencapai persentase yang cukup tinggi. Untuk tahun 2024 saja, per individu bisa bertelur mencapai 80 butir.
“Peluang untuk mendukung kelestarian kura-kura ini, kita sudah berhasil dalam penetasan di mana daya tetas telur bisa sampai 60 persen, sedangkan rata-rata keseluruhan baru di angka 67%,” kata Kayat.
Dari 33 lokasi sebaran habitat kura-kura rote, kini hanya tersisa tiga lokasi yang dinilai masih ideal sebagai tempat untuk reintroduksi, antara lain Danau Ledulu, Danau Lendeoen, dan Danau Peto. Tiga lokasi ini telah ditetapkan sebagai kawasan ekosistem esensial (KEE).
Meski telah menyandang status KEE, Kayat memandang perlunya kerja sama yang lebih erat dengan masyarakat setempat. Hal ini mengingat ketiga danau tersebut dimiliki oleh masyarakat Adat Rote dari beberapa marga.
"Di Danau Peto perlu ada usaha revegetasi karena masyarakat di sana mencari ikan dan menyebabkan pohon-pohonnya menjadi tumbang, sehingga mengganggu habitat kura-kura rote. Kemudian yang tak kalah pentingnya adalah bagaimana melakukan penyuluhan masyarakat dan pelibatan masyarakat di dalam konservasi kura-kura rote ini," kata Kayat.