c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

KULTURA

03 Juli 2025

20:58 WIB

Mencari Ceruk Pariwisata Di Tengah Konflik Israel-Iran

Gangguan penerbangan akibat eskalasi konflik di Timur Tengah dinilai tak signifikan memengaruhi arus wisata ke Indonesia. Pasalnya, pasar terbesar pariwisata Tanah Air adalah negara-negara terdekat.

Penulis: Arief Tirtana

Editor: Rikando Somba

<p id="isPasted">Mencari Ceruk Pariwisata Di Tengah Konflik Israel-Iran</p>
<p id="isPasted">Mencari Ceruk Pariwisata Di Tengah Konflik Israel-Iran</p>

Ilustrasi peta dunia Timur Tengah. Shutterstock/Popartic.

JAKARTA - Beberapa hari menjelang musim liburan di tengah tahun, kabar perang datang dari Timur Tengah. Konflik yang tadinya terjadi di Tepi Barat dan Gaza, lalu meluas menjadi perang skala besar antara Israel dan Iran.

Eskalasi tersebut jelas membawa dampak secara politik hingga perekonomian global. 

Tak hanya itu. Meluasnya konflik bersenjata juga menghadirkan dampak dan kekhawatiran yang cukup besar untuk industri pariwisata, termasuk terhadap Indonesia.

Seperti diketahui, pertengahan tahun selalu menjadi peak season atau waktu terramai wisatawan, baik itu wisatawan domestik Indonesia yang ingin ke luar negeri. Ataupun sebaliknya, wisatawan asing yang datang ke Indonesia.

Konflik bersenjata pada kenyataannya mempengaruhi gerak industri pariwisata, bahkan berpotensi menyebabkan penurunan signifikan terhadap arus kunjungan dua kelompok wisatawan tersebut. Apa lagi dalam beberapa temuan di skala tertentu, dampaknya sudah dirasakan langsung oleh pelaku industri di Tanah Air.

Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Bobby Ardiyanto Setyo Aji mengungkapkan bahwa kekhawatiran memang muncul di kalangan pelaku pariwisata di tanah air. Hal itu mengingat peran Timur Tengah cukup penting bagi industri pariwisata di Indonesia.

Timur Tengah, jelas Bobby, memiliki tiga fungsi dalam konteks industri pariwisata. Pertama, kawasan ini adalah origin atau sebagai market, di mana ada segmentasi wisatawan asal negara-negara Timur Tengah yang kerap berkunjung ke Indonesia, seperti Bali dan juga Jawa Barat.

Kemudian Timur Tengah juga adalah tujuan, sebab banyak juga wisatawan asal Indonesia yang berkunjung ke sana, seperti ke Arab Saudi, Qatar dan lain-lain. Terakhir, Timur Tengah juga memiliki fungsi sebagai hub atau penghubung, lokasi transit wisatawan asing asal Eropa atau Amerika yang ingin berkunjung ke Indonesia.

Dengan tiga fungsi tersebut, Bobby menilai eskalsi konflik sudah pasti akan berpengaruh pada industri pariwisata di Tanah Air. Meski sejauh ini pihaknya masih mengumpulkan data untuk mengetahui secara pasti seberapa besar dampak konflik Israel-Iran terhadap pelaku industri pariwisata di Indonesia.

Sebagai antisipasi dan mitigasi, pihaknya sudah mendapatkan berbagai laporan terkait adanya sejumlah konsumen yang membatalkan perjalanan ke luar negeri, karena khawatir faktor keamanan di Timur Tengah.

"Kemarin ada input data dari beberapa wholesaler yang ada di Jakarta untuk outbound (travel ke luar negeri), yang menggunakan positioning Middle East sebagai hub. Itu suddenly marketnya sudah minta refund, cancel. Itu terjadi," ungkap Bobby kepada Validnews, Senin (30/6).

Artinya, menurut Bobby, situasi pariwisata saat ini relatif terganggu. Meskipun saat ini Iran dan Israel telah mencapai kesepakatan gencatan senjata, itu tak serta merta menjamin arus wisatawan akan normal seketika. Faktanya, masih ada pertanyaan besar soal keamanan bagi masyarakat yang hendak berwisata melalui atau menuju wilayah Timur Tengah.

Bobby menyebut kekhawatiran wisatawan untuk berwisata ke Timur Tengah dan sekitarnya memang beralasan, karena berhubungan dengan keselamatan.

"Kondisi Indonesia yang aman mungkin bisa menjadi salah satu tujuan (bagi wisatawan mancanegara-red). Tetapi realita yang kita hadapi, ada beberapa case yang pasti menjadi pertimbangan (wisatawan untuk batal berwisata)," kata Bobby.

Penurunan Wisatawan                   
Terjadinya penurunan jumlah wisatawan Indonesia yang ingin ke luar negeri, khususnya ke negara-negara di Timur Tengah, juga diakui oleh agen perjalanan yang berbasis di Jakarta, Satriani Wisata. Perusahaan ini bahkan mencatat kalau penurunan kunjungan ke Timur Tengah telah terjadi sejak 2023 lalu, seturut kecamuk perang yang ada di Gaza dan Tepi Barat.

Owner Satriani Wisata, Edy Hamdi mengatakan, penurunan tercatat sejak Oktober 2023, tepat ketika Israel mulai menyerang wilayah Gaza secara besar-besaran. Sejak saat itu, secara signifikan terjadi penurunan jumlah wisatawan Indonesia yang ingin berkunjung ke Timur Tengah. Misalnya ke Yerusalem, kota yang diakui oleh Israel dan Palestina, tempat salah satu Masjid paling suci bagi umat Islam berada, yakni Masjidil Aqsa.

Padahal sejak tahun 2012, minat masyarakat untuk berkunjung ke Masjidil Aqsa terus meningkat. Sebelumnya, di Satriani Wisata, kunjungan ke Masjidil Aqsa telah dijadikan satu paket dalam perjalanan umrah atau kunjungan ke Yordania dan Mesir.

"Kejadian Oktober itu pengaruhnya cukup besar. Karena orang menyangka bahwa Palestina terjadi peperangan secara utuh di semua kota (termasuk di Yerusalem). Padahal yang terjadi hanya di Gaza," kata Edy.

Sejak tahun 2023 itu, penurunan minat kunjungan ke Masjidil Aqsa terjadi di kisaran 20%. Bahkan Oktober tahun 2023 lalu, Satriani Wisata sempat mengalami pembatalan pemesanan kunjungan mencapai 40%.

Edy mengamini, dampak perang bisa mengurangi minat wisatawan Tanah Air ke Timur Tengah hingga 50%.

"Kalau akibat peristiwa kali ini, penurunannya bisa 50%. Dan sampai sekarang orang masih menunggu, apakah benar ini gencatan senjata. Sementara kita sebagai travel agent harus mensosialisasikan kepada konsumen bahwa sebetulnya sudah tidak terjadi apa-apa, sudah bisa dikunjungi," terang Edy.

Edy membenarkan kalau tren penurunan jumlah wisatawan memang umumnya terjadi karena faktor ketakutan, berkaca dari pengalaman pihaknya memberangkatkan wisatawan Tanah Air ke Masjidil Aqsa sejak tahun 1994.

Menurut Edy lagi, kondisi daerah-daerah wisata di Timur Tengah, seperti Jerusalem saat ini sebenarnya sudah sangat aman untuk dikunjungi. Namun masih ada ketakutan di kalangan wisatawan karena tak tahu betul situasi yang tengah berkembang. 

Sebagai contoh, meskipun terjadi serangan di Gaza, sejumlah kota lainnya yang ada di Palestina, relatif aman untuk dikunjungi. Jerusalem yang dianggap aman, hanya berjarak hingga 3 jam perjalanan dari Gaza, dengan harus melalui kota lainnya di Israel. Belum lagi pengaruh dari media sosial, yang terkadang memberi informasi yang jauh dari kebenarannya, membuat semakin banyak orang takut untuk berwisata ke Timur Tengah.

Karena itu, untuk meminimalisir terjadi penurunan jumlah wisatawan, menurut Edy, sebuah travel agent harus mampu memberikan informasi yang sejelas-jelasnnya kepada wisatawan. Tujuannya adalah membentuk kepercayaan dan memberi rasa aman.

Itulah yang terus dilakukan Edy di Satriani Wisata, baik itu melalui media sosial, maupun melalui komunikasi langsung ke konsumen mereka sebelumnya, yang akhirnya menyebarkan informasi terkait ke keluarga, teman atau rekan mereka yang sebenarnya tertarik berwisata ke Timur Tengah.

Dengan kondisi yang membaik kini, Satriani Wisata sendiri akan kembali memberangkatkan wisatawan Indonesia ke Masjidil Aqsa dalam paket plus umroh pada 19 juli mendatang. Mereka juga akan membuka paket tur tiga negara, yaitu ke Masjidil Aqsa, Yordania dan Mesir pada Agustus mendatang.

Ancaman Eskalasi Konflik               
Dampak konflik di Timur Tengah paling terasa langsung oleh agen-agen perjalanan yang memberangkatkan wisatawan Tanah Air ke luar negeri. Sementara sebaliknya, sektor industri pariwisata yang mengandalkan turis asing yang datang ke Indonesia, kondisinya relatif masih cukup aman.

Menurut Guru Besar bidang Manajemen Jasa Kepariwisataan Universitas Pelita Harapan (UPH) Profesor Diena Mutiara Lemy, gangguan penerbangan akibat eskalasi konflik di Timur Tengah tak signifikan mempengaruhi arus wisata ke Indonesia. Jika melihat kondisi saat ini, wisatawan asing yang berasal dari dua negara yang terlibat konflik bukanlah pasar utama industri pariwisata Tanah Air.

Begitu pula Amerika dan Eropa, yang menggunakan wilayah Timur Tengah sebagai hub untuk menuju Indonesia, menurut Diena juga bukanlah pasar utama bagi pariwisata Indonesia. Pasar utama Indonesia justru dari negeara-negara dekat, seperti Malaysia, Singapura, Australia, China, hingga India.

"Indonesia market-nya itu yang dekat-dekat. Entah Singapura ternyata paling tinggi, Malaysia, Australia. Itu kan yang nggak harus ke Timur Tengah dulu. Mereka bisa punya flight langsung," kata Diena kepada Validnews (2/7).

Meski diasumsikan tak ada gangguan signifikan terkait arus turis asing dari pasar utama ke Indonesia, Diena menggarisbawahi adanya kekawatiran. Bisa saja, dampaknya akan terasa jika konflik di Timur Tengah berkepanjangan, karena konflik bersenjata bisa pecah kapan saja.

Jika konflik Israel dan Iran kembali berlanjut dan eskalasinya sampai menutup Selat Hormuz, itu akan membawa dampak pada industri pariwisata secara global. Sebab Selat Hormuz yang merupakan salah satu jalur penting perdagangan minyak dunia.

Jika selat yang membatasi Iran dan kawasan Uni Emirat Arab itu ditutup, maka harga minyak akan melonjak. Itu secara langsung akan memengaruhi perekonomian dunia, membuat banyak orang berpikir ulang lagi untuk melakukan liburan.

"Karena berarti kan harga avtur mahal, kemudian untuk operasional kegiatan di pariwisata itu akan terdampak. Harga minyak dunia itu akan merembet kemana-mana, itu yang kita khawatirkan. Jadi kita berharap sih, sekarang mereka lagi gencatan senjata, mudah-mudahan benar-benar stop," terang Diena.

Peluang Pariwisata Lokal                    
Tanpa maksud menari di atas penderitaan orang lain yang terdampak konflik di Timur Tengah, kondisi saat ini dinilai Diena juga menghadirkan peluang bagi industri pariwisata lokal. Indonesia bisa menggaet market yang lebih banyak lagi, khususnya dari kalangan yang ragu atau batal berlibur ke luar negeri akibat perang.

Potensi tersebut bisa berasal dari wisatawan Indonesia yang batal keluar negeri di musim liburan, atau kelompok wisatawan asing yang berasal dari Malaysia, Singapura dan Australia. Di tengah keraguan mereka untuk berlibur melalui Timur Tengah, Indonesia seharusnya bisa mengambil celah untuk menarik minat mereka beralih ke Tanah Air.

Diena mengaku belum melihat ada upaya yang cukup dari pelaku Industri di Indonesia, untuk menangkap peluang tersebut. Dia dalam hal ini juga maklum, ada banyak persoalan yang menyita perhatian, sehingga peluang yang disebutkan tadi tak tergarap.

Industri pariwisata Tanah Air telah dilanda persoalan bertubi-tubi. Mulai dari pandemi covid, tantangan pelambatan ekonomi, hingga kasus-kasus seperti kecelakaan di Gunung Rinjani pekan lalu yang secara tidak langsung pasti juga berdampak pada kepercayaan turis terhadap faktor keamanan wisata di Indonesia.

"Mungkin terlambat dalam melihat peluang ini. Atau sebenarnya sudah melihat peluang, tapi masih harus membereskan masalah, jadi nggak cepat bergerak, gitu," kata Diena.

Karena itu, Diena menilai saat ini perlu adanya upaya dari pemerintah untuk memberikan perhatian lebih ke industri pariwisata. Misalnya dengan membuat satu kebijakan yang mempermudah kunjungan wisatawan, memberikan insentif, atau paling tidak mendorong dalam hal promosi.

Pemerintah juga harus melakukan kerja sama lintas sektor untuk membantu pariwisata ini. Karena soal pariwisata selalu berhubungan dengan soal keterhubungan atau connectivity. Urusan ini jelas terkait dengan Kementerian Perhubungan, keimigrasian, hingga lembaga pertahanan-keamanan.

"Itu yang mungkin di tingkat pemerintah harus melakukan itu, melakukan rapat koordinasi untuk sama-sama mendukung untuk kepariwisataan ini bisa mengambil keuntungan atau opportunity dari kondisi yang ada sekarang," kata Diena.

Bobby Ardiyanto Setyo Aji dari GIP DIY pun sepemikiran. Dalam kondisi saat ini, peran pemerintah menjadi sangat penting dan sangat diharapkan oleh pelaku industri pariwisata.

"Saya lihat sampai hari ini belum ada langkah, terutama kalau dari Pemda DIY, juga belum terlihat sampai hari ini. Karena saya nggak tahu apakah stakeholder-nya punya awareness itu atau tidak," kata Bobby.

Di level pusat, Bobby berharap pemerintah bisa melakukan mitigasi dengan mengalihkan rute transit penerbangan yang tadinya di Timur Tengah, ke lokasi yang lebih aman.

"Kalau industri itu industri kan nggak bisa lakukan itu. Tetapi peran government  yang sebagai officially regulator seharusnya yang melakukan itu. Sehingga jalur yang dari Eropa ke Asia, ke Indonesia misalnya, itu nggak ada masalah gitu," kata Bobby.

Di tengah berbagai tantangan yang terus dihadapi industri pariwisata Indonesia dalam beberapa tahun ini, Diena menilai bahwa Pemerintah memang terkesan tak punya cukup perhatian terhadap sektor ini.

Padahal sebenarnya jika sektor pariwisata itu lebih diperhatikan, akan lebih banyak dampak positif yang bisa didapatkan Indonesia secara lebih luas dan berkali-kali lipat. Bahkan bisa menjadi industri masa depannya Indonesia, untuk menghasilkan devisa.

"Karena pariwisata Indonesia ini mungkin dianggapnya ngga diurusin aja dia jalan ya, ya sudahlah, biar saja jalan sendiri," kata Diena.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar