07 Oktober 2021
09:15 WIB
Penulis: Andesta Herli Wijaya
Editor: Satrio Wicaksono
JAKARTA – Belum lama ini, masyarakat Indonesia, utamanya kalangan seniman, geger karena praktik penghapusan mural-mural di ruang publik oleh aparat negara. Tindakan tersebut dianggap telah mencederai hak berekspresi dan berkesenian bagi warga negara. Padahal, hak tersebut diakui dan dilindungi oleh hukum, baik di lingkup nasional maupun internasional.
Peneliti kebijakan seni dari Koalisi Seni, Ratri Ninditya mengatakan, definisi kebebasan berkesenian berarti kebebasan untuk membayangkan, menciptakan dan mendistribusikan ekspresi budaya, bebas dari sensor pemerintah, intervensi politik atau tekanan dari aktor-aktor negara. Termasuk juga, hak semua warga negara untuk memiliki akses ke karya seni. Penikmat seni harusnya punya akses menikmati seluruh karya seni.
Dalam kasus penghapusan mural, setidaknya ada tiga hak yang dilanggar oleh pemerintah, yaitu hak seniman untuk berkarya tanpa sensor dan intimidasi, hak untuk mendapatkan dukungan distribusi atas karya, serta hak untuk ikut serta dalam kehidupan kebudayaan.
“Yang pertama, hak untuk berkarya tanpa intimidasi, ini yang paling sering kita bicarakan, merupakan turunan hak Kebebasan berpendapat dan berekspresi, turunan dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (HAM) pasal 19 dan diperkuat Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik pasal 19,” ungkap Ninditya dalam sesi diskusi ‘Mural, estetika, Etika dalam Perspektif Ekspresi Demokrasi’ yang digelar daring oleh Dewan Kesenian Jakarta, beberapa waktu lalu.
Ia menjelaskan, batasan terhadap hak kebebasan berekspresi yaitu ketika sebuah karya itu ada potensi berbenturan dengan hak-hak publik lainnya. Masalahnya, selama ini pembatasan karya seni seringkali tanpa penjelasan yang cukup dari aktor negara terkait hak publik mana yang dilanggar oleh si seniman.
Jika pun seniman dianggap melanggar hak publik, kata dia, maka seharusnya aparat yang menindak memberi kesempatan kepada si seniman untuk menjelaskan argumentasi karyanya, bukan alih-alih langsung menghapus karya atau bahkan menangkap senimannya.
“Kedua, hak untuk mendapatkan dukungan distribusi. Dalam hal mural, yang dilanggar itu adalah jalur distribusinya atau akses distribusi karyanya. Lalu yang juga krusial adalah yang terakhir, hak ikut serta dalam kehidupan kebudayaan,” papar Ninditya.
Hak ikut serta dalam kehidupan kebudayaan merujuk posisi seniman yang merupakan bagian dari masyarakatnya. Seniman menangkap perasaan dan pemikiran lingkungannya, untuk kemudian disimbolisasi dalam karya mural. Pada konteks inilah peran seniman untuk ikut serta dalam percaturan kebudayaan.
Menurutnya lagi, ketika aktor negara atau kelompok massa manapun menghapus atau menyerang karya-karya mural di ruang publik tanpa argumentasi yang jelas, maka mereka tidak hanya melanggar hak seniman, tapi juga hak publik untuk menikmati karya tersebut.
Aturan Turunan Hingga Wacana yang Dianggap Hukum
Ninditya melanjutkan, seniman di Indonesia sejatinya dilindungi oleh peraturan-peraturan yang mendukung kebebasan berekspresi, mulai dari Undang-Undang Dasar, Undang-Undang Hak Asasi Manusia, sampai Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan Tahun 2017.
Selain itu, Indonesia juga sudah meratifikasi sejumlah konvensi internasional yang menjamin kebebasan berekspresi bagi masyarakatnya. Beberapa sumber aturan itu misalnya Asian Human Rights Declaration, hingga UNESCO Convention on the Protection and Promotion of the Diversity of Cultural Expression.
Hanya saja, semua payung aturan itu seolah hilang di Indonesia karena berbagai aturan turunan hingga wacana hukum yang kemudian kerap dikedepankan dalam membatasi hak-hak seniman.
Beberapa contoh aturan turunan itu misalnya di Ibu Kota, dengan Perda DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum, UU nomor 24 tahun 2008 tentang Pornografi, UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi elektronik, hingga Tap MPRS Tahun 1966 terkait Komunisme.
“Wacana delik penghinaan Presiden dalam RKUHP, nah ini juga belum sah tapi ini dijadikan sebagai alasan untuk melarang. Itu menarik juga karena mungkin aparat tidak mengerti perkembangan peraturan dan sebenarnya itu enggak sah kalau kita ditahan atas delik tersebut,” jelas Ninditya sekaligus merujuk kasus penghapusan mural ‘404: Not Found’ yang viral beberapa waktu lalu.
Ninditya sendiri menilai kebebasan berkesenian di Indonesia hingga saat ini masih perlu dipertanyakan. Selain karena adanya berbagai halangan aturan turunan di tingkat daerah, juga karena absennya partisipasi pemerintah dalam pelaporan empat tahunan indeks kebebasan berkesenian kepada UNESCO.
Hal itu menurutnya memperlihatkan tak ada itikad serius pemerintah terkait isu ini.
“Karena Indonesia telah meratifikasi konvensi UNESCO, sebenarnya Indonesia itu wajib melakukan laporan 4 tahunan atas kondisi kebebasan berkesenian di negara kita. Tapi sampai sekarang laporan itu belum ada atau kosong. Jadi aspek kebebasan berkeseniannya itu tidak pernah ada,” pungkasnya.
Ngomong-ngomong soal laporan terkait situasi kebebasan berkesenian, Koalisi Seni sendiri pernah melakukan penelitian. Penelitian ini mencoba merekam pelanggaran kebebasan berkesenian selama 10 tahun terakhir. Hasilnya yaitu ada 45 kasus pelanggaran kebebasan berkesenian yang terjadi, di mana pelanggar paling dominan yaitu dari pihak pemerintah dan aktor negara.
Penelitian Koalisi Seni tersebut hanya berbasis studi pustaka, memanfaatkan pemberitaan-pemberitaan media massa. Menurut Ninditya, jumlah itu hanyalah puncak gunung es pelanggaran kebebasan berkesenian di Indonesia. Sejatinya, banyak kasus-kasus lain yang tak tercatat atau tersorot media.