23 Desember 2021
20:30 WIB
Penulis: Gemma Fitri Purbaya, Arief Tirtana
Editor: Satrio Wicaksono
JAKARTA – Masihkah sekolah menjadi ruang aman bagi anak-anak? Pertanyaan ini wajar saja terbesit dalam benak sebagian orang tua belakangan ini. Semakin seringnya pemberitaan tentang kasus pelecehan dan kekerasan yang terjadi di institusi pendidikan pasti ada imbasnya.
Sekolah yang sejatinya menjadi tempat menimba ilmu serta membangun karakter setiap peserta didik, kini seakan menjadi "rimba", lengkap dengan "predatornya". Ironisnya lagi, dari data Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), sebagian besar tindak pelecehan dan kekerasan dilakukan oleh tenaga pendidik yang semestinya mengajarkan akhlak dan budi pekerti baik.
Komnas Perempuan mencatat, dalam kurun lima tahun (2015–2020), dari 51 laporan yang diterima, 43% diantaranya dilakukan oleh guru, 19% oleh dosen, dan 15% dilakukan oleh kepala sekolah. Miris!
Ada pula 11% -nya dilakukan oleh peserta didik lain, 4% oleh pelatih, sisanya 5% dilakukan oleh pihak lain.
Sebenarnya, bisa jadi, kasus-kasus ini sudah terjadi sejak lama. Namun, kebanyakannya tidak terekspos. Para korban mungkin terbungkam karena banyak hal. Sementara pelaku, bersembunyi di balik sakralitas pendidikan.
Kriminolog Universitas Indonesia, Prof. Adrianus Eliasta Sembiring Meliala, pun menggarisbawahi hal ini. Dia meyakini, kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan pada praktiknya memang sudah banyak dan lama terjadi. Sebab, praktik pendidikan di tanah air tidak banyak berubah sampai saat ini, mulai dari budaya hingga cara mengajar.
"Kalau kali ini ada masalah kekerasan seksual (terungkap), jangan-jangan ini pas apes saja pelakunya," kata Adrianus kepada Validnews, Senin (20/12).
Ruang dan Kekuasaan
Rentetan kasus itu sedianya juga tidak bisa dilepaskan dari masih adanya ruang dan kesempatan. Kesempatan-kesempatan itu berkamuflase di ruang pendidikan berkelindan dengan persepsi hierarki guru dan murid. Guru benar-benar dijadikan panutan yang tak boleh dibantah, apalagi dilawan. Persepsi ini juga harus diubah.
"Alternatif solusinya adalah dengan mengontrol ruang-ruang itu agar tidak sampai dijadikan peluang untuk melakukan kekerasan seksual," ujar sosiolog Universitas Gadjah Mada, Prof. Sunyoto Usman.
Fakta sosial lainnya, masih banyak orang tua yang seolah mempertaruhkan seluruh masa depan anaknya kepada institusi pendidikan. Ini yang kemudian bisa menjadi bumerang, jika sistem pendidikan yang diterapkan belum benar-benar baik. Sikap yang demikian itu pada akhirnya justru semakin mendorong kekuasaan guru.
Soal relasi kuasa yang menjadikan salah satu faktor suburnya kekerasan seksual di sekolah dan kampus, juga diamini oleh psikolog Nirmala Ika Kusumaningrum. Menurutnya, relasi kuasa yang berlebihan dalam dunia pendidikan bisa memunculkan lahirnya niatan jahat. Apalagi, di sekolah berbasis agama.
"Pada orang tua dan anak pun bisa terjadi yang seharusnya secara etis, norma, agama itu tidak manusiawi dan bermoral. Apalagi di lembaga pendidikan, di mana anak-anak ini bukan anak dia sendiri," tutur Nirmala.
Praktisi pendidikan Tari Sandjojo pun mengamini. Salah satu akar masalah adalah sistem pendidikan masih menempatkan guru pada posisi yang dominan. Padahal seharusnya, guru hanya sebatas fasilitator, bukan pengatur sepenuhnya proses pendidikan.
Dia menyerukan, perlu ada kesepakatan bersama seluruh ekosistem institusi pendidikan terkait relasi pendidik dan murid. Dengan begitu, ketika terjadi indikasi perilaku yang mengarah kepada tindak asusila dapat diantisipasi.
"Misalnya ketika mereka tidak nyaman dengan satu perlakuan tertentu, dia juga punya hak untuk mengatakan sesuatu. Itu yang kadang-kadang atau sebagian besar yang tidak disadari. Di sekolah mereka hanya pikir mereka harus bagus, harus juara," tutur Direktur Akademik Sekolah Cikal, Tari Sandjojo.
Jadikan Rumah Kedua
Secara teoritis, meminimalkan kuasa guru dan menekankan kepada para murid bahwa mereka juga punya hak dalam sebuah proses pendidikan, adalah cara mempersempit potensi kekerasan seksual maupun hal negatif lainnya.
Akan tetapi, praktiknya memang tak mudah. Perlu keterlibatan komunitas sekolah secara luas, guna memastikan tujuan pendidikan di sekolah berjalan secara selaras.
"Saya selalu percaya sekolah itu komunitas. Komunitas sekolah itu di dalamnya bukan hanya guru, staf dan murid, namun juga orang tua," kata Tari.
Sekolah sejatinya harus bisa menjadi rumah kedua bagi anak. Baik ketika belajar maupun mengekspresikan diri sesuai masa perkembangannya, sekolah menaungi. Pranata sekolah disiapkan untuk mendukung fungsi itu.

Keberadaan guru-guru bimbingan konseling (BK) yang sudah ada selama ini, adalah bagian dari pendukung tersebut. Peran mereka harusnya diubah. Mereka tak lagi sebatas mengatasi anak-anak nakal, melainkan juga sebagai konselor.
"Kalau anak merasa tidak nyaman, dia tahu ada pihak-pihak di sekolah yang akan membantu dia," kata Tari.
Pada saat sama, orang tua juga harus memiliki kesadaran penuh bahwa mereka merupakan bagian dalam sebuah ekosistem pendidikan. Faktanya, anak-anak lebih banyak menghabiskan waktu di rumah daripada di sekolah.
Pendidikan Seks
Yang tak kalah penting, diperlukan pendidikan seks sedini mungkin. Ini bisa menjadi proteksi awal dari risiko terjadinya kekerasan seksual.
Diutarakan Nirmala Ika, sering kali kasus kekerasan seksual berawal dari ketidaktahuan anak mengenai batasan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan orang lain terhadap mereka, dalam konteks seksual. Sederhananya, bagaimana memberikan pemahaman kepada anak-anak bahwa organ intim atau kelamin adalah privasi yang tidak boleh disentuh orang lain.
"Jadi ketika dimanipulasi mereka tahu kalau itu tidak boleh, dan mereka berani melapor kalau ada yang melakukan itu," jelas psikolog associate Yayasan Pulih itu.
Di lingkup sekolah pun demikian. Tak bisa dimungkiri bahwa pendidikan seks masih lebih sering salah kaprah diterapkan. Selain juga masih kerap dianggap tabu. Padahal, seharusnya pendidikan seks di sekolah sifatnya menyeluruh dan sedini mungkin. Mulai dari pengenalan dan pengembangan emosi. Tujuannya jelas, agar anak tidak mengabaikan kalau ada perasaan-perasaan yang membuat mereka tidak nyaman atau takut.
Selain terkait emosi, pendidikan seks juga berkaitan dengan hubungan anak dengan orang lain di sekitarnya. Seringkali hal-hal yang dianggap "receh" oleh orang dewasa, justru penting untuk diajarkan ke anak.
Semisalnya, perihal bedanya pertemanan dengan pacaran, apa yang harus dilakukan ketika tertarik dengan lawan jenis. Hal tersebut harus diterangkan secara gamblang, agar mereka paham yang menjadi batasan. Dan, pendidikan ini bukan lah beban sekolah semata. Orang tua juga berperan sama. Dari berbagai hal ini, pencegahan kekerasan seksual di sekolah, semestinya bisa diminimalkan.
"Bahwa seks sesuatu yang alamiah, bagian dari kebutuhan manusia. Tapi memang harus dipelajari terbuka,” tutup Tari Sandjojo.