22 November 2021
12:52 WIB
Penulis: Dwi Herlambang
Editor: Satrio Wicaksono
JAKARTA – Pesatnya perkembangan zaman dan teknologi, suka tidak suka, mengharuskan masyarakat untuk terus belajar dan mengikutinya.
Saat ini, YouTube merupakan salah satu platform digital yang menjadi kesukaan masyarakat dalam melihat dan mencari informasi tentang apa yang mereka kehendaki.
Sadar dengan perkembangan tersebut, Ketua Sanggar Al Ma’ruf, Deni Hermawan, menjelaskan kesenian tradisional pun tidak boleh ketinggalan dengan kemajuan teknologi.
Menurutnya, platform digital seperti YouTube, harus dimanfaatkan untuk sarana promosi dan kembali memperkenalkan kesenian tradisional otentik Jakarta, seperti palang pintu, kepada masyarakat.
Pria yang lebih akrab disapa Aden itu berujar, kesenian tradisional juga harus berani bersaing di ranah digital jika tidak ingin punah dan dilupakan keberadaannya.
Atas dasar itulah, Sanggar Al Ma’ruf mulai membuat konten YouTube palang pintu dan lenong sejak 2019. Hasilnya, Aden mengaku kini semakin banyak orang yang mengenal kesenian tersebut.
“Kan orang tahunya palang pintu budaya Betawi dari mulut ke mulut aja sebelum ada Youtube. Kita coba kaya orang lain bikin YouTube dan ternyata di luar dugaan orang-orang pada suka,” kata Aden kepada Validnews, Senin (22/11).
Dampak positif dari konten YouTube yang dibuat, menurut Aden, kini semakin banyak anak-anak dan remaja yang ingin bergabung dengan Sanggar Al Ma’ruf untuk belajar dan berlatih tentang buaya-budaya Betawi.
Hal ini jelas menjadi kabar baik. Regenerasi para pemain akan tetap terjaga dan membuat kesenian tradisional ini tetap ada di jalur yang seharusnya.
Kabar baik lainnya, setelah palang pintu hadir di ranah digital, orderan pun kian banyak. Banyak dari masyarakat mengaku menggunakan jasa palang pintu setelah melihat pertunjukan mereka di YouTube dan merasa terhibur dengan para pemain palang pintu yang beradu pantun, ngebanyol, dan beradu silat.
Aden menjelaskan, sebelum adanya pandemi covid-19, dalam satu bulan Sanggar Al Ma’ruf bisa bermain palang pintu minimal 15 kali dalam satu bulan. Akan tetapi, angka tersebut merosot tajam pada saat pandemi melanda. Banyak masyarakat tidak boleh berkerumun dan membuat mereka menunda acara hajatan yang sedianya sudah direncanakan.
“Sekarang cuma 4-5 kali saja. Nah November ini sudah mendingan seiring dilonggarkannya aturan sama pemerintah. Kita sudah 9 kali main, alhamdulillah,” ujarnya.
Tidak berhenti sampai di situ, dampak baik dari kehadiran palang pintu di ranah digital kini para pemesan tidak hanya mereka yang memiliki darah keturunan Betawi saja.
Menurut Aden, kini beberapa orang dari suku lain seperti suku Jawa dan Sunda juga tidak segan menyewa palang pintu pada saat acara hajatan pernikahan mereka.
Beberapa kali Aden mengaku bermain di luar Jakarta seperti di Tegal, Cikampek, Lampung, dan Bandung. Hal ini menandakan bahwa palang pintu merupakan kesenian tradisional yang bisa dinikmati oleh siapa saja dan tidak hanya menjadi bagian dari Jakarta.
“YouTube kan ditonton sama siapa aja bukan hanya orang Jakarta. Tentu kita bangga budaya Betawi bisa banyak disukai sama orang.”
Meskipun bermain di luar daerah dan calon mempelainya bukan orang Betawi, menurut Aden hal itu bukanlah persoalan. Menurutnya, pada saat pertunjukan para pemain palang pintu akan menyesuaikan materi yang dibawakan.
Misalnya, jika bermain di daerah Jawa, maka pantun dan banyolannya satu dua kali akan disisipkan menggunakan bahasa dari daerah tersebut agar masyarakat mengerti.
“Mereka demen-nya kalau kita main fisik atau gampar-gamparan atau pas silatnya. Kalau main di Jawa juga serimpilan mah ada disisipi pake Bahasa Jawa jadi disesuaikan tempatnya,” pungkasnya.