19 September 2025
10:16 WIB
Membaca Gaya Arsitektur Pesantren Indonesia Timur
Secara arsitektural, pesantren-pesantren di wilayah Indonesia timur sangat berbeda dengan yang ada di Jawa dan Sumatra. Unsur tradisional masih sangat melekat.
Editor: Satrio Wicaksono
Paparan peneliti PR KKP BRIN mengenai arsitektur Pesantren As’adiyah di Wajo, Sulawesi Selatan. Foto: laman BRIN.
JAKARTA - Arsitektur pesantren tradisional di Indonesia Timur menyimpan wajah khas, berbeda dengan gambaran umum pesantren di Jawa atau Sumatra. Di balik kesederhanaannya, bangunan pesantren di kawasan ini merekam jejak panjang interaksi antara Islam, budaya lokal, dan lingkungan alam.
Sebagian besar pesantren dibangun dengan memanfaatkan material yang tersedia di sekitar, seperti kayu, bambu, dan atap rumbia. Kesederhanaan itu bukan sekadar keterbatasan, melainkan wujud kearifan dalam membaca situasi geografis sekaligus menjaga harmoni dengan alam.
Kepala Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra (OR Arbastra) BRIN, Herry Yogaswara menyoroti bahwa selama ini pesantren tradisional cenderung berfokus pada Jawa. Ketika membahas Indonesia Timur, menurutnya, berarti menyingkap sisi yang kerap berada di luar arus utama.
"Penelitian semacam ini bahkan dapat meluas ke lembaga keagamaan lain, misalnya arsitektur gereja dengan inkulturasi budaya lokal, atau sekolah adat berbasis agama lokal seperti Marapu di Sumba Timur," ujar Herry dalam diskusi tentang arsitektur pesantren tradisional Indonesia Timur, dikutip dari laman brin.go.id.
Salah satu yang ia cermati, benarkah arus utama itu selalu di Jawa? Atau justru persepsi yang terbentuk selama ini yang membuatnya demikian? Karenanya, penting untuk melakukan riset untuk menemukan variasi dan temuan baru yang lebih kaya.
"Saya ingin menekankan pentingnya ekspedisi. Dari ekspedisi, kita mendapatkan data baru yang bisa diperdalam melalui riset etnografis," ungkapnya.
Sementara itu Wuri Handoko, Kepala Pusat Riset Khazanah Keagamaan dan Peradaban (PR KKP) BRIN menegaskan bahwa pihaknya berkomitmen membangun ekosistem riset yang sistematis. Fokusnya bukan pada isu konflik, melainkan pada nilai-nilai keagamaan sebagai warisan budaya, baik kebendaan (tangible) maupun non-kebendaan (intangible).
"Arsitektur pesantren misalnya, bisa dilihat sebagai bangunan fisik, namun yang kami gali adalah nilai simbolik di balik kesederhanaannya: budaya, nilai sosial, sejarah, hingga filosofi lokal," jelasnya.
Dari penelitian sederhana yang dilakukan oleh peneliti PR KKP BRIN, Nurman Kholis tentang arsitektur Pesantren As’adiyah di Wajo, Sulawesi Selatan, masih mempertahankan konsep tradisional kedaerahan sampai dengan saat ini.
"Dari 4 lokasi kampus As’adiyah yang ada, kampus tiga dipilih sebagai objek utama karena masih mempertahankan bangunan bercorak tradisional Bugis. Kampus tiga di pedesaan, asrama santrinya berbentuk rumah adat Bugis, itu yang menarik," jelasnya.
Hasil risetnya itu telah dipublikasikan di Jurnal Istanipop Arsitektur UIN Malang pada Juni 2025. Menurut Nurman, potensi riset lanjutan sangat terbuka, terutama karena banyak peneliti Sulawesi Selatan yang akrab dengan tradisi Bugis-Makassar.
Ia juga menyoroti keunikan As’adiyah yang mampu merawat tradisi sekaligus berdialog dengan modernitas. "Di kampus itu ada toleransi antara arsitektur tradisional dan modern. Bahkan di depan Masjid As’adiyah terdapat kantor Aisyiyah, menandakan kedekatan dengan Muhammadiyah," paparnya.
Pesantren ini sarat simbol, terbukti dengan kata-kata motivasi terpampang di ruang kelas dan area publik dalam berbagai bahasa. "Baik Arab, Bugis, Indonesia, hingga Inggris, dengan beragam aksara, mulai dari Latin hingga Lontara. Paradigma dari berpikir global, hingga bertindak lokal benar-benar tampak di sini," kata Nurman.
Dikatakannya, Pesantren As’adiyah juga melahirkan sejumlah tokoh nasional, di antaranya Prof. Nasaruddin Umar, Menteri Agama sekaligus Imam Besar Masjid Istiqlal, serta Prof. K.H. Khaeroni Amin, mantan Dirjen Bimas Islam. "Menariknya, As’adiyah tetap eksis di era modern dengan mempertahankan tradisi," tambahnya.
Nurman menutup paparannya dengan menegaskan bahwa morfologi arsitektur tradisional di kampus 3 As’adiyah menjadi titik pijak risetnya. "Ke depan, riset lanjutan sangat mungkin dikembangkan. Baik dari sisi arsitektur maupun nilai kultural yang melekat," ujarnya.