c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

KULTURA

30 September 2024

15:49 WIB

Membaca Gagasan Sukarno Pada Musik Indonesia Di Pameran “Mari Ber-lenso!”

Dulu, Presiden Sukarno pernah menggagas proyek musik yang dinamakan musik lenso. Sayang, belum berkembang, gagasan tersebut harus terhenti. Lewat pameran "Mari Ber-lenso" kembali mengenal konsepnya. 

Penulis: Andesta Herli Wijaya

Editor: Satrio Wicaksono

<p id="isPasted">Membaca Gagasan Sukarno Pada Musik Indonesia Di Pameran &ldquo;Mari Ber-lenso!&rdquo;</p>
<p id="isPasted">Membaca Gagasan Sukarno Pada Musik Indonesia Di Pameran &ldquo;Mari Ber-lenso!&rdquo;</p>

Pengunjung mendengarkan musik lenso dalam pameran “Mari Ber-lenso!” di Museum Kebangkitan Nasional, Jakarta, Sabtu (28/9). Dok: Validnews/ Andesta.

JAKARTA – Presiden Sukarno pernah menggagas proyek musik nasional bernama musik lenso. Suatu identitas musik baru yang menggali khazanah musik daerah Indonesia dan modern, menjelma menjadi musik bernuansa riang dan juga kaya akan ritme dan melodi musik tradisional.

Sayangnya, proyek itu berhenti ketika Sukarno turun dari kursi, digantikan Suharto. Imbasnya, musik lenso berhenti begitu saja tanpa sempat berkembang sebagai sebuah genre baru yang memiliki rumusan ideal dalam aspek musikalitasnya, seperti musik jazz atau pop modern.

Maka hari ini, tak ada definisi saklek tentang musik lenso, kecuali dikenal sebagai musik pengiring tarian lenso yang menjadi tarian tradisional Maluku, tentunya dengan ciri khas bebunyian instrumen Indonesia Timur yang kuat. Tapi, sulit hari ini untuk menjelaskan apa musik lenso yang dimaksud Sukarno. Apakah itu semacam pop Melayu, orkes Minang, atau semacam keroncong?

Upaya menggali kembali gagasan Sukarno tentang musik lenso datang dari Irama Nusantara, lembaga independen pengarsipan musik Indonesia. Melalui program pendukungan Dana Indonesiana, yayasan ini melakukan riset tentang musik lenso lewat berbagai arsip, rilisan fisik serta perspektif para musisi Indonesia. Hasilnya kemudian dibentangkan dalam pameran bertajuk “Mari Ber-lenso!”.

Pameran “Mari Ber-lenso!” digelar di Museum Kebangkitan Nasional, Jakarta sebulan kedepan. Pameran ini menghadirkan berbagai arsip, rilisan musik, foto-foto, lembar lirik hingga potongan-potongan artikel yang menyoal lenso.

Pameran ini membentangkan cerita seputar perjalanan Sukarno dalam melahirkan musik baru Indonesia. Ada konteks dekolonisasi di sini, di mana ketika itu Sukarno sedang gencar-gencarnya menyerukan pembangunan budaya nasional. Termasuk pada musik, Sukarno ingin Indonesia memiliki musik sendiri, tak harus melulu kebarat-baratan.

Di samping kepingan-kepingan narasi, ada catatan dan sampul album yang dipamerkan, termasuk album Mari Bersuka Ria dengan Irama Lenso yang diproduksi dan didistribusikan langsung di bawah arahan Sukarno. Album ini dirilis pada medio 60-an silam, sebagai bagian dari selebrasi peringatan 10 tahun Konferensi Asia Afrika.

Mari Bersuka Ria dengan Irama Lenso yang dirilis di bawah label Irama, sekaligus diproduksi oleh Orkes Irama, merupakan wujud awal dari proyek ‘lensoisasi’ Sukarno. Album ini merangkum lagu-lagu yang hari ini umum diketahui masyarakat sebagai lagu-lagu orkes era 60-an. Seperti lagu “Bersuka Ria”, “Gendjer-Gendjer”, “Bengawan Solo” hingga “Malam Bainai”. Lagu-lagu tersebut dilantunkan oleh para penyanyi terkemuka masa itu, di antaranya Titiek Puspa, Bing Slamet, Nien Lesmana, serta Rita Zahara.

Album ini memperdengarkan ritme dan melodi yang beresonansi dengan lagu-lagu dari berbagai kepulauan Indonesia, juga berpadu dengan musik modern, terutama warna musik Hawaii.

Zikri Rahman, peneliti musik asal Malaysia yang menjadi kolaborator Irama Nusantara dalam pameran ini, menjelaskan dalam catatan kuratorialnya bahwa album ini menampilkan kecenderungan hibridisasi musikal yang kuat, dari pengaruh lagu-lagu Melayu awal, langgam Jawa dan campursari, pop Sunda hingga pop Minang.

“Adaptasi dan inovasi, khususnya dengan memasukkan melodi yang erat dengan musik tradisi, pemanfaatan instrumen tradisional, penggunaan lirik lagu dalam bahasa daerahnya, dan eksperimen ritme lokal terwujud dalam delapan lagu berbeda yang diciptakan,” terang Zikri.

Band The Lensoist
Dengan kata lain, begitulah bentuk awal musik lenso yang digagas Sukarno bersama para musisi papan atas di masa itu. Upaya yang kemudian berlanjut dengan pembentukan band bernama The Lensoist oleh Sukarno. Grup ini berisi musisi-musisi kawakan seperti Jack Lesmana, Bubi Chen, Benny Mustafa, Darmono, Bing Slamet hingga Idris Sardi.

Pameran “Mari Ber-lenso” memamerkan foto-foto para personil The Lensoist dalam kegiatan tur mereka ke berbagai negara seperti Amerika Serikat, Jepang, Belanda, Rumania hingga Prancis. Tur itu dilakukan sebagai bagian dari kunjungan kenegaraan Sukarno ketika itu. Ibarat kata, kunjungan diplomatik sekaligus promosi kebudayaan Indonesia di luar negeri.

Peneliti musik dari Irama Nusantara, Ignatius Aditya Adhyatmaka menjelaskan, semangat pada musik lenso saat itu adalah untuk memaknai ulang musik tradisional Indonesia yang telah lama terlalu dipengaruhi oleh Barat. Apalagi ketika itu rock n roll sedang gencar-gencarnya masuk ke Indonesia yang disebut Sukarno dengan istilah musik ‘ngak ngik ngok’.

Oleh karena itu, Sukarno menggagas musik lenso yang diharapkan bisa menjadi orientasi baru musik Indonesia, sebagai bagian dari revolusi budaya bagi masyarakat yang baru merdeka dari berabad-abad kuasa dan pengaruh kolonial.

“Jadi itulah hebatnya Bung Karno, ada gagasan yang dituju sehingga akhirnya menghasilkan musik yang juga menuju ke arah yang sama. Ide utamanya nasionalisme itu sendiri, dan juga penggabungan antara modem dengan tradisi,” papar Adit dalam sesi pembukaan pameran, Sabtu (28/9).

Musik dan Tari Pergaulan
Pembukaan pameran “Mari Ber-lenso!” di Museum Kebangkitan Nasional, Sabtu, diramaikan dengan program diskusi publik yang dimoderatori oleh pengamat musik David Tarigan, melibatkan narasumber Guruh Sukarno Putra, Sigit Lingga dari Yayasan Bung Karno, serta Aditya selaku peneliti bagian dari Irama Nusantara.

Guruh Sukarnoputra, putra Sukarno, memberi wawasan menarik dalam sesi tersebut sehingga bisa memperkaya pemahaman tentang lenso. Dari cerita Guruh tentang Sukarno dan lenso, diketahui bahwa ‘mari ber-lenso’ sendiri adalah kata-kata yang sering diucapkan Sukarno kepada tamu-tamunya, untuk mengajak menari dengan diiringi musik riang gembira dari Indonesia.

“Di situlah lenso mulai didengungkan dan disemarakkan oleh Bung Karno sehingga dikenal dari Sabang sampai Merauke, dan dilagukan juga lagu-lagu modern di sana, nggak hanya lagu Maluku. Maka lagu pop Indonesia juga dimajukan, dan kita jadikan tarian pergaulannya tari lenso,” tutur Guruh.

“Dalam sebuah acara saya ingat, saya ketika itu berusia lima tahun, ada delegasi pemuda dari Vietnam datang di Istana Merdeka. Di situ ada Titiek Puspa, Bing Slamet, dan saya pun ikut berlenso sama orang-orang Vietnam,” kenang Guruh.

Kembali ke pameran, “Mari Ber-Lenso!” di Museum Kebangkitan Nasional akan berlangsung hingga 24 November mendatang. Publik bisa mengakses pameran ini untuk menelisik lebih jauh seputar sejarah musik lenso, termasuk menikmati musik-musik lenso yang bisa diakses lewat perangkat dengar yang disediakan.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar