c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

KULTURA

28 Maret 2025

21:00 WIB

Memaknai Silaturahmi Yang Diwakilkan Lewat Hampers

Budaya berbagi bingkisan sudah ada sejak zaman kolonialisme. Budaya ini terus hidup dan berkembang, mengalami berbagai perubahan dalam hal bentuk, nilai dan maknanya.

Penulis: Andesta Herli Wijaya

Editor: Rendi Widodo

<p>Memaknai Silaturahmi Yang Diwakilkan Lewat <em>Hampers</em></p>
<p>Memaknai Silaturahmi Yang Diwakilkan Lewat <em>Hampers</em></p>

Hampers Idul Fitri. Shutterstock/dok

JAKARTA - Momen perayaan hari-hari besar, seperti Lebaran, menjadi momen bagi banyak masyarakat untuk saling bersilaturahmi. Tak hanya silaturahmi lewat pertemuan langsung, ada pula cara lainnya yaitu silaturahmi lewat bingkisan atau hampers.

Sejak lama, hampers merupakan salah satu budaya yang lekat dengan perayaan Idul Fitri atau lebaran. Tak sekadar materi, bingkisan ini sejatinya adalah wujud dari interaksi sosial bagi si pengirim maupun si penerima.

Budaya berbagi bingkisan, menurut Dosen Universitas Airlangga, Moordiati, sudah ada sejak zaman kolonialisme. Budaya ini terus hidup dan berkembang, mengalami berbagai perubahan dalam hal bentuk, nilai dan maknanya.

Di zaman kolonialisme Belanda, misalnya, berbagi bingkisan lazimnya menjadi budaya kalangan tertentu saja. Adanya ketidaksetaraan sosial yang tajam, sehingga di hari-hari tertentu para orang kaya membagi-bagikan bingkisan kepada sesama kolega ataupun rakyat kecil.

Tradisi itu menurut Moordiati sempat pudur di masa pendudukan Jepang, hingga pemerintahan Sukarno. Barulah pada 1980-an, tradisi itu tumbuh kembali di kalangan masyarakat luas perkotaan. Pada saat it, bingkisan berupa makanan-makanan khas Lebaran.

“Awalnya memang makanan, tetapi kemudian isinya berubah seiring perkembangan zaman. Ada yang pakaian, barang pecah belah seperti cangkir dan bunga,” jelas Moordiati, dilansir dari laman unair.ac.id, Jumat (28/3).

Menurut Moordiati, budaya hampers semakin populer di masyarakat sejak era 2000-an. Dia menjelaskan, berbagi hampers pada mulanya merupakan bentuk ucapan terima kasih dan balas budi kepada penerima.

Namun pada perkembangannya, makna hampers berubah menjadi bentuk apresiasi dan penghargaan kepada orang lain. Belakangan, makna hampers pun semakin kompleks, sebagai simbol-simbol tertentu dalam relasi sosial.

“Sekarang hampers dimaknai sebagai status sosial. Semakin tinggi nilai hampers yang diberi atau diterima, bisa menjadi penanda tingginya status sosial pula,” ujarnya.

Budaya Mewakilkan Diri
Sementara itu, sosiolog dari Universitas Indonesia, Rissalwan Habdy Lubis menjelaskan, hampers terutama lekat dengan generasi milenial, mereka yang lahir di tahun 80-an hingga 90-an. Menurutnya, alih-alih menjadi simbolisasi status sosial, pada generasi ini hampers lebih berfungsi sebagai ‘perwakilan diri.’

Rissalwan menjelaskan, generasi Milenial memiliki karakteristik yang berbeda dengan pendahulunya Gen X, pun juniornya Gen Z. Jika generasi terdahulu cenderung mengapresiasi pertemuan langsung untuk bersilaturahmi, Gen Milenial justru merasa nyaman dengan silaturahmi yang diwakilkan hampers.

“Tradisi hampers ini di Milenial. Jadi mewakilkan diri pada simbol atau peralatan tertentu, tanpa harus berinteraksi langsung, ada kecenderungan seperti itu khususnya pada generasi Milenial,” ucap Rissalwan kepada Validnews, Rabu (26/3).

Dia menjelaskan, budaya hampers pada generasi Milenial berangkat dari karakteristik generasi ini yang menurutnya lebih sungkan. Kesungkanan untuk berinteraksi langsung dengan pihak lain, namun pada dasarnya mereka tetap ingin bersilaturahmi, terfasilitasi lewat budaya berkirim hampers.

Karakteristik itu menurut Rissalwan khas pada generasi Milenial, dan tak relevan dengan Generasi Z. Jika Milenial mewakilkan diri pada benda atau alat untuk bersilaturahmi, generasi yang lebih baru justru lebih tegas soal tindakan mereka dalam bersilaturahmi. Gen Z biasanya tak berkirim hampers karena sungkan, mereka cenderung berprinsip membatasi interaksi atau silaturahmi, jika dirasa interaksi itu tak bermakna bagi mereka.

“Jadi kalau Gen Z lebih ke menghindar jika memang tidak suka atau tidak nyaman bersilaturahmi dengan pihak tertentu. Kalau Y (Milenial) itu kecenderungannya mewakilkan diri pada alat atau simbol, atau token, itu gen Milenial. Kalau Gen Z, saya justru belum pernah temukan Gen Z kirim hampers,” tutur Rissalwan.

“Kalau saya, Gen X, modelnya beda lagi. Kalau saya Lebaran, pulang ke Surabaya, saya pasti samperin orang satu-satu, ketemu langsung, ngobrol,” tegasnya lagi.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar