11 April 2025
11:09 WIB
Memahami Ubasute, Tradisi Meninggalkan Orang Tua Di Waktu Berat
Ketika beban hidup menjadi terlalu berat, bahkan masyarakat modern pun bisa kembali pada pilihan-pilihan ekstrem untuk bertahan hidup.
Penulis: Annisa Nur Jannah
Editor: Rendi Widodo
Ilustrasi dua orang tua. Unsplash
JAKARTA - Berbakti kepada orang tua adalah nilai luhur yang dijunjung tinggi dalam banyak budaya, termasuk Indonesia. Merawat mereka di usia senja dianggap sebagai wujud kasih sayang dan rasa terima kasih atas pengorbanan yang telah mereka berikan sejak kecil.
Namun, tidak semua budaya memiliki pandangan yang sama dalam menghadapi masa tua. Di Jepang, dikenal sebuah legenda kelam bernama ubasute yakni kisah yang menggambarkan praktik meninggalkan orang tua lanjut usia yang dianggap menjadi beban, di gunung, untuk meninggal secara perlahan.
Menurut laman All That’s Interesting, secara harfiah ubasute berarti “membuang perempuan tua.” Legenda ini muncul dari masa-masa kelaparan ekstrem di Jepang, ketika sebagian keluarga merasa tak punya pilihan selain mengorbankan orang tua mereka demi menyelamatkan anggota keluarga yang lebih muda.
Dengan membawa ibu atau nenek mereka ke gunung dan meninggalkannya di sana, mereka berharap bisa mengurangi jumlah mulut yang harus diberi makan. Praktik ini diyakini muncul sebagai bentuk respons ekstrem terhadap kondisi alam dan kelangkaan pangan yang melanda Jepang pada masa lalu.
Negara kepulauan ini dikelilingi oleh gunung berapi aktif dan sering mengalami bencana alam, pernah melalui periode kelaparan yang parah. Salah satu yang paling terkenal adalah kelapran besar Tenmei pada tahun 1783, yang dipicu oleh letusan Gunung Asama dan menyebabkan gagal panen secara luas.
Dalam kondisi seperti itu, lansia yang dianggap sudah tidak produktif sering kali dilihat sebagai beban. Maka, ubasute menjadi solusi tragis namun dianggap rasional pada masa itu.
Kisah ini sering digambarkan dengan sangat emosional di mana seorang anak laki-laki menggendong ibunya ke puncak gunung, sementara sang ibu diam-diam menjatuhkan ranting-ranting sepanjang jalan agar anaknya bisa menemukan jalan pulang. Sebuah simbol keikhlasan dan cinta seorang ibu, bahkan dalam pengorbanan.
Sesampainya di puncak, sang ibu dibiarkan sendiri, menghadapi kematian perlahan karena kelaparan, dingin, atau kelelahan. Namun, hingga kini para sejarawan belum sepakat apakah praktik ini benar-benar pernah terjadi secara luas.
Banyak yang menilai ubasute hanyalah alegori atau kisah yang melambangkan penderitaan, pengorbanan, dan konflik batin dalam keluarga ketika menghadapi krisis besar. Meski begitu, ubasute tetap hidup dalam budaya populer Jepang, dari film hingga sastra.
Ia terus memantik perenungan tentang cinta, beban keluarga, dan pilihan sulit dalam kondisi ekstrem. Yang mengejutkan, praktik serupa ternyata pernah terjadi di era modern.
Pada 2015, seorang pria Jepang bernama Katsuo Kurakawa (63) mengaku kepada polisi bahwa ia meninggalkan adik perempuannya yang mengalami disabilitas di wilayah terpencil Prefektur Chiba. Sang adik, Sachiko (60), kemudian ditemukan meninggal dunia.
Kurakawa menyatakan bahwa setelah rumah mereka hancur akibat gempa dan tsunami Sanmu 2011, ia tidak lagi mampu merawatnya. Dengan kondisi ekonomi yang sangat sulit dan tanpa akses layanan kesehatan, ia hanya membekalinya sedikit makanan sebelum meninggalkannya di hutan.
Kisah ini menunjukkan bahwa ketika beban hidup menjadi terlalu berat, bahkan masyarakat modern pun bisa kembali pada pilihan-pilihan ekstrem yang mengingatkan pada praktik masa lalu seperti ubasute. Namun, penting untuk dicatat bahwa Jepang masa kini telah berubah jauh.
Saat ini, Jepang justru menjadi salah satu negara yang paling menghargai warga lansia. Sejak tahun 2000, pemerintah menerapkan sistem asuransi perawatan jangka panjang yang membantu keluarga merawat lansia dengan layanan medis dan sosial yang komprehensif.
Pemerintah juga menempatkan kesejahteraan lansia sebagai prioritas nasional, mengingat populasi menua dengan cepat dan para lansia tetap dianggap sebagai bagian penting dari komunitas dan keluarga.