27 Maret 2025
20:35 WIB
Memahami Pergeseran Makna Lebaran Di Mata Generasi Baru
Seperti generasi terdahulu, generasi baru pun mengharapkan nilai-nilai silaturahmi. Hanya saja, bentuk atau model silaturahmi pada generasi ini sudah berbeda dengan generasi sebelumnya.
Penulis: Andesta Herli Wijaya
Editor: Rikando Somba
Ilustrasi kumpulan anak muda masa kini. Shutterstock/Urbanscape
JAKARTA - Lebaran menjadi momen penting bagi masyarakat Indonesia. Semua orang, terlepas dari identitas agama mereka, merayakan Lebaran atau Idulfitri sebagai momen penuh kehangatan untuk saling menyapa dan bersilaturahmi dengan keluarga, kolega maupun para sahabat.
Lazimnya, Lebaran dimanfaatkan setiap orang untuk mengunjungi kerabat atau sanak famili. Dari keluarga inti, tetangga, keluarga jauh bahkan orang-orang yang sekadar dianggap dekat, semuanya dikunjungi. Tradisi ini bentuk kearifan tradisi, utamanya di ruang-ruang sosial yang masih kental akan adat dan warisan nilai-nilai leluhur. Maka, jadilah Lebaran sebagai momen yang sibuk bagi banyak orang.
Hari-hari Lebaran dihabiskan untuk datang kesana-kemari untuk bersilaturahmi. Bahkan, satu minggu terkadang seolah tak cukup untuk sebagian orang bersilaturahmi ke sanak-famili. Banyak keluarga merayakan Hari Raya ini berhari-hari karena banyaknya pihak dalam daftar yang mesti dikunjungi.
Namun, ternyata tak semua orang merasa relevan dengan tradisi silaturahmi seperti itu. Belakangan, anak-anak muda mulai menunjukkan keengganan mereka akan tradisi silaturahmi seperti generasi yang lebih tua.
Sebagian menganggap itu terlalu melelahkan. Sementara itu, yang lain merasa tak relevan karena harus bertemu orang-orang yang mereka anggap sejatinya asing dan tak terhubung secara emosional dengan mereka.
Maka muncul anak-anak muda yang memilih membatasi aktivitas bersilaturahmi saat Lebaran. Ada yang membatasi bersilaturahmi hanya dengan keluarga dekat saja. Lainnya memilih untuk bersilaturahmi hanya dengan keluarga inti serta sahabat-sahabat dekat yang dirasa memang memiliki hubungan emosional.
Dengan kata lain, terjadi pergeseran dalam praktik bersilaturahmi di momen Lebaran. Jika dulunya orang-orang menyibukkan diri dengan aktivitas silaturahmi dalam skala massif atau luas, kini sebagian orang justru memprioritaskan praktik silaturahmi yang fokus pada makna. Silaturahmi tak harus luas, namun intensitaslah yang menjadi perhatian.
Potret tersebut khas ada pada anak-anak muda, bagian dari Generasi Z yang hari ini merupakan generasi ‘garda depan’ sebagai penentu arah sosial dan kebudayaan.
Validnews berbincang dengan sejumlah anak muda yang notabene urban, untuk menilik perspektif generasi baru tentang Lebaran dan silaturahmi.
Teddy (27 tahun), seorang perantau asal Lampung di Jakarta, memandang aktivitas bersilaturahmi ‘gaya lama’ saat Lebaran sering kali melelahkan. Di perspektifnya, berkunjung ke sanak-saudara kala Lebaran penuh obrolan-obrolan yang tidak relevan untuknya. Dia mengaku, belakangan mulai menerapkan kebiasaan silaturahmi Lebaran yang cenderung lebih terbatas dalam hal cakupan, hanya melibatkan keluarga, kolega serta teman terdekat.
Teddy yang sejak 2021 menetap di Jakarta, mengaku terpapar cara pikir baru yang memengaruhinya dalam memaknai nilai-nilai silaturahmi.
Dia terpapar gaya hidup urban yang modern, efektif dan juga individual. Meski tak mengatakan silaturahmi tak penting, namun dia kini berpikiran bahwa silaturahmi saat Lebaran bukanlah sesuatu yang wajib dijalankan.
“Secara pribadi sih aku lebih ngerasa, kadang kalau sama keluarga yang cakupannya besar gitu, hal-hal yang diobrolin itu nggak bisa relate lagi, merasa yang diobrolin nggak ada isinya kadang-kadang, habis duluan energinya,” ungkap Teddy kepada Validnews, ditemui Kamis (20/3) lalu.
Pada akhirnya, Teddy merayakan Lebaran dengan aktivitas bersilaturahmi yang lebih terbatas. Dia lebih memilih menghemat energi untuk melakukan berbagai aktivitas lainnya ketika Lebaran, ketimbang menghabiskan berhari-hari untuk mengunjungi sanak-saudara.
“Silaturahami masih penting, tapi mungkin apa ya, skala prioritasnya berubah mungkin ya. Jadi lebih ke kultural aja sih aku melihatnya, cuman sebagai kewajiban sih kita nggak ngerasa itu harus,” tambahnya lagi.
Bagas (26 tahun), Gen Z lain, serta Jaya (31), seorang milenial sama-sama mengaku merasa lebih dekat dengan cara pikir Gen Z. Mereka mengaku cukup tak nyaman dengan aktivitas silaturahmi secara luas saat Lebaran, namun harus tetap dijalani demi menghargai orang tua.
Bagas yang rutin mudik ke Solo, menyebutkan kalau keluarganya termasuk yang masih mengutamakan aktivitas pertemuan langsung, untuk guyub bersama. Bahkan karena neneknya adalah salah satu orang yang dihormati di lingkungannya di Solo, Bagas pun mau tak mau harus ikut menerima 'banjir manusia' yang datang ke rumah neneknya untuk bersilaturahmi.
Menurut Bagas, aktivitas silaturahmi seperti itu adalah kegiatan melelahkan. Namun, karena ingin menghargai orang tua, dia pun merasa tak ada pilihan.
“Saya sendiri juga nyamannya sebenanya lebih dengan teman-teman masa sekolah, misalnya. Tapi khusus untuk keluarga jauh, misalnya, itu biasanya lebih ke dorongan orang tua sih. Biasanya kalau orang tua ngajak untuk ketemu si ini atau si itu, kalau aku lagi nggak sibuk ya ikut aja,” tutur Bagas kepada Validnews.
Sementara itu Jaya mengungkapkan, dia telah bertahun-tahun mengabaikan tradisi silaturahmi ‘gaya lama’ saat Lebaran. Saat pulang ke kampung halamannya di Sumatra Barat, Jaya belakangan lebih memilih banyak berdiam di rumah. Dia memilih mengobrol atau membantu apa saja kegiatan keluarga di rumah tanpa perlu beranjangsana ke saudara, bahkan tetangga.
Jika pun keluar rumah, dia lebih memilih mengunjungi teman-teman masa sekolahnya. Tak lagi datang ke rumah kerabat jauh, semisal adik dari kakek, anak dari saudari-nya nenek, dan sanak-saudara lainnya dengan riwayat kekerabatan yang beragam.
“Intinya ngerasa itu nggak relevan lagi buat saya. Dulu, waktu sebelum merantau ke Jakarta, saya masih melakukan silaturahmi yang luas begitu, mengunjungi banyak kerabat yang bahkan saya sendiri tak kenal betul dengan mereka,” ujar Jaya.
“Tapi beberapa tahun terakhir, kalau pulang Lebaran, saya nggak banyak keluar rumah. Lagian juga nggak punya banyak waktu untuk kesana-kemari. Jadi kalau ada waktu, mending jalan-jalan aja,” imbuhnya lagi.
Fokus Pada Nilai Silaturahmi
Adanya perubahan cara generasi baru dalam memaknai silaturahmi boleh dikatakan adalah hasil dari pengamatan kualitatif. Tentunya tak semua anak muda menolak atau merasa tak relevan dengan tradisi silaturahmi Lebaran. Khususnya pada generasi milenial, potretnya pun cukup berbeda dibandingkan Bagas atau Teddy di atas yang berasal dari kelompok Gen Z.
Fadhil (29 tahun), seorang anak muda kelahiran Jakarta yang berasal dari keluarga asal Cirebon, masih setia dengan paradigma bahwa Idulfitri adalah saat bersilaturahmi dengan banyak kalangan. Bagi dia, momen silaturahmi Lebaran yang melibatkan keluarga besar, justru menyenangkan.
Fadhil menceritakan, dia dan keluarga besarnya di setiap Lebaran selalu menyempatkan waktu untuk berkumpul bersama dan saling bercerita. Di momen itulah, dia bertemu sepupu-sepupunya, juga kerabat-kerabat yang di hari-hari biasa tak pernah ditemuinya.
“Biasanya kita ngumpul di satu rumah, makan, ngobrol. Tuan rumah ganti-ganti, jadi sekalian aja kan, nggak se-melelahkan kalau kita datang ke berbagai titik gitu. Jadi sebenarnya nggak menghabiskan terlalu banyak waktu juga, dua hari cukup untuk silaturahmi,” ucap Fadhil.
Fadhil melanjutkan, anggota keluarga yang berkumpul ketika Lebaran satu sama lain saling mengenal, meski memang relatif jarang berkomunikasi. Namun hal yang paling penting menurut dia adalah soal nilai dan manfaat dari acara ‘kumpul-kumpul’ Lebaran itu sendiri. Dia merasa relate dengan aktivitas silaturahmi bersama keluarga besar, karena merasa mendapatkan hal-hal baru, cerita dan informasi baru tentang keluarga yang bisa jadi hal positif bagi dirinya sendiri.
“Positifnya lagi, kalangan keluarga besar gue ini ada yang konservatif banget, ada yang sekuler, jadi beragam gitu. Jadi bikin seru. Tapi paling untuk nyambung, kita nyari yang sefrekuensi," tuturnya.
“Silaturahmi lebaran itu masih penting kalau lu dapat manfaatnya. Gue pikir nggak seluruh keluarga sama situasinya. Gue juga ada beban juga, kalau misal gue nggak datang, orang gue bakal ditanya kan, ‘kok anak lo gitu-gitu’,” imbuh Fadhil.
Tapi di samping itu Fadhil merasa ada positifnya dari beban itu. Misalnya ada sepupu yang baru menikah atau memiliki cerita apapun karena hampir seumuran Fadhil pun marasa cerita itu relate untuk dirinya.
Ada Annisa (30 tahun) dan Sabrina (29 tahun) juga yang sepemahaman dengan Fadhil. Dua perempuan muda ini mengaku menikmati tradisi silaturahmi Lebaran karena momen itu hanya terjadi setahun sekali. “’Positifnya ketemu banyak keluarga yang sudah lama kita nggak ketemu. Karena kan banyak dari mereka merantau, ada yang di Jakarta, Jawa, Sumatra jadi seru aja ketemu mereka. Lihat-lihat update-an mereka dan ketemu famili baru,” ucap Annisa.
Sementara Sabrina, mengaku sebagai orang yang sangat ‘silaturahim’. Karena dia tumbuh dalam keluarga besar, maka setiap Lebaran dia menjalani tradisi silaturahmi dengan keluarga besar.
Menurut Sabrina, tak ada yang salah dengan praktik silaturahmi semacam itu. Meski terkadang memang melelahkan, ditambah sering pula muncul pertanyaan-pertanyaan yang seolah ‘mengintimidasi’, dia mengaku momen silaturahmi itu tetap menyenangkan.
“Kalau aku memang dari keluarga Bapak itu besar banget, ya kita kumpulnya rame banget. Tapi seru sih, kadang karena banyak kita jadi lama ngumpulnya dan muncul perdebatan, tapi jadi asik aja,” ucap Sabrina terpisah.
Karakter Khas Gen Z
Apa yang diamati Validnews diamini pengamat sosial dari Universitas Indonesia (UI), Rissalwan Habdy Lubis. Di kacamatanya, memang terlihat adanya pergeseran cara dan pemaknaan atas silaturahmi Lebaran pada generasi baru.
Dia menilai perubahan itu spesifik ada pada Gen Z, mereka yang kini notabenenya adalah generasi produktif utama di masyarakat. Perubahan itu terjadi karena berbagai sebab, salah satu faktor utamanya yaitu karena perkembangan teknologi yang membawa paparan informasi masif bagi generasi baru.
Rissalwan menilai, pemikiran pada Teddy, Bagas pun Jaya yang diuraikan terdahulu adalah manifestasi dari kekhasan Gen Z dalam memaknai silaturahmi. Berbeda dengan generasi terdahulu yang mengutamakan guyub, obrolan dan pertemuan langsung, Gen Z lebih nyaman dengan interaksi yang sifatnya lebih intens meski terbatas.
“Gen Z itu kan adalah generasi yang, bukan instan ya, lebih ke fungsional-lah. Mereka maunya sesuatu yang memang bermanfaat dengan cepat dan tidak bertele-tele. Ini banyak studi ya sebenarnya tentang ini. Saya di Pusat Studi Kepemudaan (Pusat Kajian Kepemudaan) misalnya, di UI, kami juga mengamati hal ini,” ucap Rissalwan kepada Validnews, Rabu (26/3).
“Bahwa anak-anak muda, Gen Z ini akan lebih memilih berinteraksi ketika interaksi itu memiliki makna untuk mereka. Jadi silaturahmi dalam arti yang luas ketika orang berlebaran, siapa pun kita sapa dan ajak berbincang, itu sudah bergeser di kelompok Gen Z. Mereka akan memilih berlama-lama dengan kelompok yang lebih kecil, dibanding menjangkau kelompok seluas mungkin saat Lebaran,” tambahnya lagi.
Menurutnya, potret itu menggambarkan karakter secara umum generasi Z, mereka yang di hari ini berusia remaja hingga dewasa 28 tahun. Generasi ini mengutamakan intensitas tinimbang keluasan relasi sosial, dengan kata lain cenderung ingin memperdalam relasi yang sudah ada.
Kecenderungan itu karena Gen Z sudah menemukan dunia alternatif, yaitu dunia maya, sebagai pengganti untuk menjalin relasi sosial secara lebih luas. Melalui platform digital, mereka bahkan bisa berinteraksi dengan orang-orang dari belahan negara lain.
Rissalwan menekankan pergeseran pada generasi baru tersebut merupakan suatu keniscayaan, dan tak ada yang salah dalam hal itu. Namun, masalah rentan muncul ketika komunikasi terjadi antar generasi, misalnya generasi Z dengan generasi X. Dalam hal inilah, perlunya ‘jembatan’ perspektif antar generasi, agar perbedaan itu tak menimbulkan konflik.
“Harusnya yang lebih senior bisa lebih memahami, ini memang eranya mereka sebagai penerus di masa depan,” kata Rissalwan.
Rissalwan juga menyoroti kecenderungan generasi yang lebih tua untuk mengintervensi, atau mempertanyakan hal-hal yang membuat generasi muda tak nyaman. Misalnya, saat berkumpul dengan keluarga besar, anak muda sering kali ditanyai soal pekerjaan, pernikahan hingga masalah anak, yang pada akhirnya membuat anak-anak muda merasa enggan.
Hal-hal itu menurut Rissalwan merupakan bentuk dari perbedaan nyata antara dua generasi. Generasi terdahulu menganggap pertanyaan-pertanyaan di atas adalah normal. Sebaliknya, generasi baru yang pemikirannya cenderung lebih terbuka dan global, merasa topik-topik tersebut berada di ranah privat, tak perlu dibicarakan dengan orang lain.
“Kunci dari silaturahmi di momentum lebaran adalah satu, tentang sukacita. Sekarang standarnya sudah beda. Sukacita menurut anak muda adalah mereka memanfaatkan waktu sebaiknya untuk mendalami dan mendapatkan manfaat sebanyaknya-banyaknya dari relasi sosial yang sudah ada. Jadi mereka gak terlalu pusing dengan ‘siapa kakek saya’ siapa tante saya’. Karena kakek dan tante saya kalau ketemu saya akan bertanya sesuatu yang saya nggak suka," katanya.
Kunci kedua adalah silaturahmi yang menumbuhkan kebanggaan. Jika generasi terdahulu mendapatkan kebanggaan dari bersilaturahmi karena merasa kekuatan dirinya dibentuk oleh keluarganya, generasi baru justru ingin merasakan kebanggaan yang berpijak pada kaki sendiri.
Ketika berkumpul bersama keluarga, generasi baru sejatinya ingin memperlihatkan dirinya yang penuh kebanggaan, bahwa dia sendiri sudah layak untuk dibanggakan.
“Ada fenomena, generasi yang tua-tua mengeluh bahwa Gen Z itu merasa tau semuanya, mereka itu nggak butuh orang lain. Ya nggak ada masalah seharusnya dengan itu. Tapi karena parameternya berhubungan dengan generasi yang lain, maka terjadilah ‘adu mekanik’ tuh dengan generasi lain,” paparnya.
Rissalwan mengetengahkan pandangan bahwa nilai kunci dari silaturahmi itu tetap ada pada generasi baru, yaitu soal sukacita dan kebanggaan.
Seperti generasi terdahulu, generasi baru pun mengharapkan nilai-nilai itu. Hanya saja, bentuk atau model silaturahmi pada generasi baru sudah berbeda dengan generasi sebelumnya. Model itu menurutnya akan terus berubah seiring pertumbuhan generasi, dari X ke Y, lalu ke Milenial hingga Z. Di masa depan, saat eranya Gen Alpha, entah akan seperti apa pula cara dan pemaknaan mereka terkait silaturahmi.
Lebaran Sebagai “Titik Temu”
Senada, dengan sudut pandang kebudayaan, Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, Aprinus Salam menjelaskan fenomena di atas merupakan wujud bergeraknya kebudayaan. Nilai dan konsep selalu bergerak mengikuti persepsi dan aspirasi generasi yang menjalaninya, sebagaimana hari ini Gen Z memaknai silaturahmi di momen Lebaran.
Aprinus justru memandang Lebaran sebagai momen untuk perspektif antar generasi tersebut untuk saling bertemu.
Pertemuan itu bisa bernilai baik ketika membawa semangat yang demokratis, tak menonjolkan perspektif satu generasi, misalnya perspektif generasi tua yang selama ini kerap menjadi momok bagi anak-anak muda saat momen pertemuan keluarga.
“Sebagai silaturahmi antar-generasi, perlu ditempatkan secara demokratis. Gen Z punya cara sendiri dalam bersilaturahmi. Gen Z adalah generasi yang dirinya telah ‘terpenuhi’ dengan gawai yang selalu menyertainya,” ujar Aprinus.
Menurut Aprinus, gejala ‘merasa telah terpenuhi’ itu sebenarnya sudah mulai diperlihatkan oleh Gen-Y, bahkan sebagian dari Gen X. Namun, maksimalisasi ‘pemenuhan diri itu ada di Gen Z. Sebagai generasi yang merasa telah terpenuhi dirinya itu (walaupun sebenarnya maya), Gen Z menurut Aprinus memang tidak terlalu tertarik dengan silaturahmi offline. Karena bagi Gen Z, batas itu tidak ada.
“Jadi, kebudayaan, budaya silaturahmi, perlu dilihat per generasi. Secara internal, tidak ada perubahan dalam setiap generasinya. Hal budaya silaturahmi bisa berbeda atau berubah karena sering dibandingkan ‘kok tidak sama dengan generasi-generasi yang lebih dulu’, apalagi ‘kok berbeda banget dengan generasi yang sudah tua’,” tutur Aprinus.
Jadi, semestinya generasi yang lebih tua tidak perlu menyesali perbedaan itu. Kebudayaan berjalan ke depan milik anak muda, milik Gen Z, milik generasi Alpha, dan seterusnya. Jika kita pernah muda, tentu kita bisa ingat lagi bagaimana dulu para orang tua pun keheranan dengan gaya hidup muda kita pada masa itu.